Mengejar Reformasi Perpajakan
Rabu, 13 Oktober 2021 - 05:55 WIB
UU HPP memuat ketentuan baru pajak yang akan segera diterapkan, di antaranya adalah menjadikan NIK sebagai NPWP. UU HPP menambah fungsi KTP yang mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) bagi wajib pajak orang pribadi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Meski demikian, NIK sebagai pengganti NPWP bukan berarti masyarakat yang etlah berhak memiliki KTP diwajibkan membayar pajak. U HPP juga mengubah tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang akan naik perlahan mulai tahun depan. Mengutip Bab IV Pasal 7 RUU HPP, tarif PPN yang saat ini sebesar 10 persen akan naik jadi 11 persen pada 1 April 2022. Selanjutnya, tarif PPN yang ditetapkan 11 persen akan kembali naik jadi 12 persen di tahun berikutnya. Ketetapan ini paling lambat akan berlaku pada 1 Januari 2025. Meski demikian, kenaikan tarif PPN ini masih sesuai ambang batas dari aturan yang berlaku saat ini. Adapun perubahan tarif PPN bisa terjadi paling rendah sebesar 5%, dan paling tinggi 15%.
Semangat reformasi pajak untuk menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak juga tertuang dalam UU HPP yang menyasar pajak bagi orang berpendatan tinggi. Pasal 17 UU HPP turut mengatur pemungutan tarif pajak yang lebih besar pada kelas ekonomi atas. Aturan ini memuat perubahan pengenaan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Perubahan pertama terjadi pada kategori wajib pajak orang pribadi tingkat terkecil, yang batas penghasilan per tahunnya dinaikan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Selain itu, terdapat satu penambahan kategori wajib pajak orang pribadi, yakni berpenghasilan di atas Rp5 miliar dan akan terkena pungutan pajak sebesar 35%.
Selain pungutan pajak, UU HPP juga turut membahas soal program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II dan juga pajak karbon. Misi pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca turut diimplementasikan melalui UU HPP melalui pengenaan pajak karbon sebesar Rp30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Semangat pemerintah dalam pelaksanaan UU HPP ini tak lain adalah untuk menggapai azas keadilan dan tranparasi dalam pemungutan dan pengelolaan dana pajak berjalan bersama. Pemerintah memiliki harapan besar melalui undang-undang ini untuk mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, serta kebijakan perpajakan yang kian harmonis dan konsolidatif untuk memperluas juga basis perpajakan kita di era globalisasi dan teknologi digital yang begitu sangat mendominasi.
Menuju Fiskal yang Lebih Baik
UU HPP adalah jalan bagi pemerintah menuju disiplin fiskal yang lebih baik. Pemerintah memiliki komitmen untuk kembali mewujudkan APBN yang sehat dengan defisit di bawah tiga persen pada 2023. Upaya ini sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Guna mewujudkan hal tersebut, di samping terus melakukan perbaikan dari sisi belanja dengan spending better, pemerintah juga terus berupaya mengoptimalkan penerimaan negara, sehingga tujuan dan target pembangunan tak terkorbankan.
Kehidupan yang dinamis akan memaksa setiap manusia untuk dapat bertransformasi menjadi lebih baik dalam setiap perjalananya hidupnya. Begitu pula dalam setiap kebijakan, tak ada kebijakan yang bersifat kekal tanpa perubahan. Tranformasi kebijakan perlu terus diupayakan mengikuti dinamisnya perilaku masyarakat. Terkait hal ini, reformasi perpajakan adalah sebuah keharusan yang menjadi bagian dari proses berkelanjutan upaya percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional melalui penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi dan dinamika masa depan yang harus terus diantisipasi.
Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah salah satu tonggak bersejarah reformasi perpajakan yang menjadi bagian dari reformasi struktural untuk mencapai Indonesia maju melalui fondasi sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Semoga.
Semangat reformasi pajak untuk menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak juga tertuang dalam UU HPP yang menyasar pajak bagi orang berpendatan tinggi. Pasal 17 UU HPP turut mengatur pemungutan tarif pajak yang lebih besar pada kelas ekonomi atas. Aturan ini memuat perubahan pengenaan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Perubahan pertama terjadi pada kategori wajib pajak orang pribadi tingkat terkecil, yang batas penghasilan per tahunnya dinaikan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Selain itu, terdapat satu penambahan kategori wajib pajak orang pribadi, yakni berpenghasilan di atas Rp5 miliar dan akan terkena pungutan pajak sebesar 35%.
Selain pungutan pajak, UU HPP juga turut membahas soal program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II dan juga pajak karbon. Misi pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca turut diimplementasikan melalui UU HPP melalui pengenaan pajak karbon sebesar Rp30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Semangat pemerintah dalam pelaksanaan UU HPP ini tak lain adalah untuk menggapai azas keadilan dan tranparasi dalam pemungutan dan pengelolaan dana pajak berjalan bersama. Pemerintah memiliki harapan besar melalui undang-undang ini untuk mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, serta kebijakan perpajakan yang kian harmonis dan konsolidatif untuk memperluas juga basis perpajakan kita di era globalisasi dan teknologi digital yang begitu sangat mendominasi.
Menuju Fiskal yang Lebih Baik
UU HPP adalah jalan bagi pemerintah menuju disiplin fiskal yang lebih baik. Pemerintah memiliki komitmen untuk kembali mewujudkan APBN yang sehat dengan defisit di bawah tiga persen pada 2023. Upaya ini sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Guna mewujudkan hal tersebut, di samping terus melakukan perbaikan dari sisi belanja dengan spending better, pemerintah juga terus berupaya mengoptimalkan penerimaan negara, sehingga tujuan dan target pembangunan tak terkorbankan.
Kehidupan yang dinamis akan memaksa setiap manusia untuk dapat bertransformasi menjadi lebih baik dalam setiap perjalananya hidupnya. Begitu pula dalam setiap kebijakan, tak ada kebijakan yang bersifat kekal tanpa perubahan. Tranformasi kebijakan perlu terus diupayakan mengikuti dinamisnya perilaku masyarakat. Terkait hal ini, reformasi perpajakan adalah sebuah keharusan yang menjadi bagian dari proses berkelanjutan upaya percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional melalui penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi dan dinamika masa depan yang harus terus diantisipasi.
Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah salah satu tonggak bersejarah reformasi perpajakan yang menjadi bagian dari reformasi struktural untuk mencapai Indonesia maju melalui fondasi sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Semoga.
(cip)
tulis komentar anda