Menlu Sampaikan Kekhawatiran Tren Diskriminasi Vaksin ke WHO
Jum'at, 01 Oktober 2021 - 03:49 WIB
JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengutarakan kekhawatiran adanya tren diskriminasi vaksin saat pertemuan dengan Gavi Board dan para co-chairs COVAX Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group.
“Saya sebutkan beberapa negara melarang pelaku perjalanan lintas batas meskipun telah divaksin dengan jenis yang mendapatkan EUL dari WHO, tetapi masih tetap dilarang untuk masuk ke negara tersebut. Atau mereka boleh masuk namun harus mendapatkan booster dari vaksin yang telah diakui oleh otoritas mereka,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/9/2021).
Dalam pertemuan tersebut, Retno meminta agar WHO, GAVI, COVAX Facility melakukan joint effort untuk mencegah diskriminasi vaksin ini terus terjadi. Selain itu, GAVI Council juga sangat mengkhawatirkan diskriminasi ini dan akan berupaya untuk menangani bersama dengan WHO.
Retno juga menyampaikan masukan kepada Dewan GAVI mengenai kendala ketersediaan pasokan vaksin. Isu ini menjadi perhatian hampir seluruh pemimpin dunia selama berlangsungnya SMU PBB.
Dia mengatakan diperlukan 11 miliar dosis untuk memenuhi target vaksinasi 70% penduduk dunia pada pertengahan 2022. “Ini adalah sebenarnya target yang disampaikan oleh Dirjen WHO beberapa kali. Dan untuk memenuhi target itu diperlukan 11 miliar dosis vaksin,” terangnya.
Untuk memenuhi target angka ini, maka dari itu harus meningkatkan produksi/pasokan vaksin dan dose sharing (berbagi dosis). Menurut Retno, produsen vaksin harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya. Dia berpandangan sudah saatnya negara berkembang dimasukkan dalam rantai pasokan vaksin global.
Selain itu, Retno juga meminta negara yang memiliki kelebihan vaksin untuk melakukan dose sharing mechanism atau berbagi vaksin kepada negara yang membutuhkan.
“Untuk dose sharing, saya sekali lagi menekankan negara-negara dengan kelebihan pasokan dosis harus berbagi dosisnya dengan lebih transparan, menyampaikan waktu pengiriman, dan menghindari berbagi dosis vaksin yang sudah akan habis masa berlakunya,” jelasnya.
Dia menambahkan Ia mengatakan pembentukan pusat manufaktur vaksin mRNA yang sudah dilakukan di Afrika Selatan harusnya direplikasi di wilayah lain untuk mempercepat peningkatan produksi vaksin. Menurutnya, Indonesia siap menjadi pusat produksi vaksin Asia Pasifik.
“Saya sampaikan untuk kawasan Asia Pasifik Indonesia siap untuk menjadi hub,” tandasnya.
“Saya sebutkan beberapa negara melarang pelaku perjalanan lintas batas meskipun telah divaksin dengan jenis yang mendapatkan EUL dari WHO, tetapi masih tetap dilarang untuk masuk ke negara tersebut. Atau mereka boleh masuk namun harus mendapatkan booster dari vaksin yang telah diakui oleh otoritas mereka,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/9/2021).
Baca Juga
Dalam pertemuan tersebut, Retno meminta agar WHO, GAVI, COVAX Facility melakukan joint effort untuk mencegah diskriminasi vaksin ini terus terjadi. Selain itu, GAVI Council juga sangat mengkhawatirkan diskriminasi ini dan akan berupaya untuk menangani bersama dengan WHO.
Retno juga menyampaikan masukan kepada Dewan GAVI mengenai kendala ketersediaan pasokan vaksin. Isu ini menjadi perhatian hampir seluruh pemimpin dunia selama berlangsungnya SMU PBB.
Dia mengatakan diperlukan 11 miliar dosis untuk memenuhi target vaksinasi 70% penduduk dunia pada pertengahan 2022. “Ini adalah sebenarnya target yang disampaikan oleh Dirjen WHO beberapa kali. Dan untuk memenuhi target itu diperlukan 11 miliar dosis vaksin,” terangnya.
Untuk memenuhi target angka ini, maka dari itu harus meningkatkan produksi/pasokan vaksin dan dose sharing (berbagi dosis). Menurut Retno, produsen vaksin harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya. Dia berpandangan sudah saatnya negara berkembang dimasukkan dalam rantai pasokan vaksin global.
Selain itu, Retno juga meminta negara yang memiliki kelebihan vaksin untuk melakukan dose sharing mechanism atau berbagi vaksin kepada negara yang membutuhkan.
“Untuk dose sharing, saya sekali lagi menekankan negara-negara dengan kelebihan pasokan dosis harus berbagi dosisnya dengan lebih transparan, menyampaikan waktu pengiriman, dan menghindari berbagi dosis vaksin yang sudah akan habis masa berlakunya,” jelasnya.
Dia menambahkan Ia mengatakan pembentukan pusat manufaktur vaksin mRNA yang sudah dilakukan di Afrika Selatan harusnya direplikasi di wilayah lain untuk mempercepat peningkatan produksi vaksin. Menurutnya, Indonesia siap menjadi pusat produksi vaksin Asia Pasifik.
“Saya sampaikan untuk kawasan Asia Pasifik Indonesia siap untuk menjadi hub,” tandasnya.
(kri)
tulis komentar anda