Siaran Berbasis Internet Mendesak Ditertibkan
Selasa, 02 Juni 2020 - 06:30 WIB
JAKARTA - Maraknya aplikasi maupun platform media digital yang memberikan layanan siaran saat ini mendesak untuk ditertibkan. Pengaturan ini penting agar ada kepastian hukum dalam pengawasan siaran sehingga penayangan konten-konten yang berbau kekerasan, pornografi dan membahayakan keutuhan bangsa bisa dihindari.
Untuk memperkuat upaya penertiban ini, stasiun televisi RCTI telah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk materi gugatannya yang disampaikan pada Rabu (27/5), RCTI meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali termasuk melalui siaran internet untuk tunduk kepada UU Penyiaran.
Selaku pemohon, RCTI menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment). RCTI sebagai penyelenggara penyiaran konvensional selama ini menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan layanan over the top (OTT) memanfaatkan internet. (Baca: New Normal di Daerah Disesuaikan Dengan Hasil Epidimologi Covid-19)
Konten RCTI mendapatkan kontrol di bawah UU Penyiaran, sedang layanan OTT sedikit pun tak tersentuh lembaga pengawasan manapun. Selain pembedaan ini menimbulkan ketidakadilan hukum, dikhawatirkan tidak adanya pengawasan juga merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Oleh karena tidak adanya kepastian hukum apakah penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai dengan saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran,” demikian bunyi gugatan tersebut.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo mengakui bahwa UU No 32/2002 belum secara jelas mengamanatkan tentang keberadaan digital media. Oleh karena itu, jelasnya, maka KPI belum mengawasi ranah penyiaran terhadap digital media tersebut.
Menurut Mulyo, di dalam UU Penyiaran keberadaan media digital dan layanan OTT masih rancu. Pada satu sisi dimungkinkan masuk sebagai bagian dari penyiaran karena dilakukan dengan sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya. Internet bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk sarana penyaluran media lainnya. (Baca juga: Dukung RCTI Uji Materi UU Penyiaran, DPR Sejak Lama Kejar Pajak Youtube)
Tetapi pada sisi lain terdapat ketentuan lain bahwa kegiatan pemancarluasan siaran tersebut sifatnya diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. "Dua hal ini yang sering diperdebatkan," jelasnya.
Untuk itu, jika revisi UU Penyiaran dilakukan, maka definisi penyiaran perlu diubah seperti yang berlaku di Eropa di mana kegiatan pemancarluasan media audiovisual termasik sebagai bentuk penyiaran. “Jika judicial review dikabulkan, semua tayangan video berbasis internet termasuk media social, akan dapat diatur oleh pemerintah termasuk isi siaran atau konten di samping operator dapat diminta pertanggung jawabannya apabila melanggar ketentuan,” jelasnya.
Untuk memperkuat upaya penertiban ini, stasiun televisi RCTI telah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk materi gugatannya yang disampaikan pada Rabu (27/5), RCTI meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali termasuk melalui siaran internet untuk tunduk kepada UU Penyiaran.
Selaku pemohon, RCTI menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment). RCTI sebagai penyelenggara penyiaran konvensional selama ini menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan layanan over the top (OTT) memanfaatkan internet. (Baca: New Normal di Daerah Disesuaikan Dengan Hasil Epidimologi Covid-19)
Konten RCTI mendapatkan kontrol di bawah UU Penyiaran, sedang layanan OTT sedikit pun tak tersentuh lembaga pengawasan manapun. Selain pembedaan ini menimbulkan ketidakadilan hukum, dikhawatirkan tidak adanya pengawasan juga merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Oleh karena tidak adanya kepastian hukum apakah penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai dengan saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran,” demikian bunyi gugatan tersebut.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo mengakui bahwa UU No 32/2002 belum secara jelas mengamanatkan tentang keberadaan digital media. Oleh karena itu, jelasnya, maka KPI belum mengawasi ranah penyiaran terhadap digital media tersebut.
Menurut Mulyo, di dalam UU Penyiaran keberadaan media digital dan layanan OTT masih rancu. Pada satu sisi dimungkinkan masuk sebagai bagian dari penyiaran karena dilakukan dengan sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya. Internet bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk sarana penyaluran media lainnya. (Baca juga: Dukung RCTI Uji Materi UU Penyiaran, DPR Sejak Lama Kejar Pajak Youtube)
Tetapi pada sisi lain terdapat ketentuan lain bahwa kegiatan pemancarluasan siaran tersebut sifatnya diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. "Dua hal ini yang sering diperdebatkan," jelasnya.
Untuk itu, jika revisi UU Penyiaran dilakukan, maka definisi penyiaran perlu diubah seperti yang berlaku di Eropa di mana kegiatan pemancarluasan media audiovisual termasik sebagai bentuk penyiaran. “Jika judicial review dikabulkan, semua tayangan video berbasis internet termasuk media social, akan dapat diatur oleh pemerintah termasuk isi siaran atau konten di samping operator dapat diminta pertanggung jawabannya apabila melanggar ketentuan,” jelasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda