Siaran Berbasis Internet Mendesak Ditertibkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maraknya aplikasi maupun platform media digital yang memberikan layanan siaran saat ini mendesak untuk ditertibkan. Pengaturan ini penting agar ada kepastian hukum dalam pengawasan siaran sehingga penayangan konten-konten yang berbau kekerasan, pornografi dan membahayakan keutuhan bangsa bisa dihindari.
Untuk memperkuat upaya penertiban ini, stasiun televisi RCTI telah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk materi gugatannya yang disampaikan pada Rabu (27/5), RCTI meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali termasuk melalui siaran internet untuk tunduk kepada UU Penyiaran.
Selaku pemohon, RCTI menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment). RCTI sebagai penyelenggara penyiaran konvensional selama ini menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan layanan over the top (OTT) memanfaatkan internet. (Baca: New Normal di Daerah Disesuaikan Dengan Hasil Epidimologi Covid-19)
Konten RCTI mendapatkan kontrol di bawah UU Penyiaran, sedang layanan OTT sedikit pun tak tersentuh lembaga pengawasan manapun. Selain pembedaan ini menimbulkan ketidakadilan hukum, dikhawatirkan tidak adanya pengawasan juga merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Oleh karena tidak adanya kepastian hukum apakah penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai dengan saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran,” demikian bunyi gugatan tersebut.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo mengakui bahwa UU No 32/2002 belum secara jelas mengamanatkan tentang keberadaan digital media. Oleh karena itu, jelasnya, maka KPI belum mengawasi ranah penyiaran terhadap digital media tersebut.
Menurut Mulyo, di dalam UU Penyiaran keberadaan media digital dan layanan OTT masih rancu. Pada satu sisi dimungkinkan masuk sebagai bagian dari penyiaran karena dilakukan dengan sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya. Internet bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk sarana penyaluran media lainnya. (Baca juga: Dukung RCTI Uji Materi UU Penyiaran, DPR Sejak Lama Kejar Pajak Youtube)
Tetapi pada sisi lain terdapat ketentuan lain bahwa kegiatan pemancarluasan siaran tersebut sifatnya diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. "Dua hal ini yang sering diperdebatkan," jelasnya.
Untuk itu, jika revisi UU Penyiaran dilakukan, maka definisi penyiaran perlu diubah seperti yang berlaku di Eropa di mana kegiatan pemancarluasan media audiovisual termasik sebagai bentuk penyiaran. “Jika judicial review dikabulkan, semua tayangan video berbasis internet termasuk media social, akan dapat diatur oleh pemerintah termasuk isi siaran atau konten di samping operator dapat diminta pertanggung jawabannya apabila melanggar ketentuan,” jelasnya.
DPR Dukung Langkah RCTI
Anggota Komisi I DPR Abdul Kadir Karding mendukung langkah yang ditempuh RCTI yang mengajukan uji materi UU Penyiaran ke MK. Karding menilai, siapapun pelaksana penyiaran baik itu lokal maupun asing yang melakukan siaran di wilayah NKRI harus mengikuti aturan hukum yang berlaku karena penontonnya adalah juga orang Indonesia. "Secara argumentatif patut kita dukung karena memang kita harus mengantisipasi semua konten-konten yang tidak mengadaptasi dengan kultur budaya dan kehidupan sosial di negara kita," ujar Karding.
Politikus PKB ini menilai, memang dalam tayangan-tayangan video atau film berbasis internet, konten seperti pornografi selama ini agak berlebihan sehingga tidak sesuai dengan norma, budaya, serta agama yang dianut masyarakat Indonesia. Karding menilai, uji materi yang diajukan RCTI harus dimaksnai dan dihargai, serta didukung sebagai aspirasi dan upaya mengingatkan bahwa boleh saja kita sebagai bangsa menerima masukan budaya-budaya luar, tetapi harus yang sesuai dengan kebudaaan kita. "Lebih spesifik lagi, ini masukan untuk lembaga penyiaran kita agar lebih komprehensif dalam mengawasi dengan menjadikan objek hukum yang berlaku sama," terangnya. (Baca juga: Deny Indrayana: Kebebasan Pers dan Berpendapat di Ujung Tanduk)
Dukungan juga disampaikan Dave Laksono, anggota Komisi I DPR lainnya. Dave berharap dengan uji materi ini maka semua platform penyiaran patuh terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di negeri ini, baik secara konten maupun pajak. Komisi I DPR pun sudah lama mendorong pemerintah agar mengejar pajak dari berbagai aplikasi OTT seperti Youtube, Netflix, Facebook, Instagram dan aplikasi lainnya yang selama ini meraup keuntungan sangat banyak dari warga Indonesia.
“Saya menilainya bilamana diajukan uji materi itu ada baiknya juga dari awal yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar bisa dikoreksi. Kalau memang semuanya sudah sesuai, tidak ada alasan lagi orang untuk tidak mematuhi,” tandas Dave.
Namun menurut Dave, sebenarnya dalam waktu dekat DPR bersama pemerintah juga akan merampungkan revisi RUU Penyiaran. Dengan demikian, publik bisa melihat apakah revisi ini nanti sudah mencakup materi yang diujimaterikan oleh RCTI atau belum. “Kalau belum bisa segera dimasukkan,” imbuh Dave.
Dave menjelaskan, karena selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang jelas untuk mengatur aplikasi-aplikasi tersebut, pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Namun, dalam UU Penyiaran yang baru nanti, adendumnya ditambahkan dan akan dipertegas lagi dengan peraturan Menteri (Permen) dan peraturan pemerintah (PP) agar membuat mereka patuh terhadap UU yang ada di Indonesia khususnya di bawah UU Perpajakan. “Jadi, harus ada aturan-aturan yang jelas untuk menutup segala macam look hole agar mereka berkewajiban melaksanakan pembayaran pajak itu,” ujar Dave.
Soal pengejaran pajak, Dave menilai langkah pemerintah beralasan. Sebab platform OTT itu juga menjual iklan dalam jumlah yang besar dan menikmati keuntungan dari warga Indonesia. Dengan demikian sudah sepatutnya mereka memberi manfaat bagi bangsa Indonesia dengan ikut membayar pajak. “Saya melihat revenue pajak ini on top dan mereka menikmati market di Indonesia tetapi, masyarakat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa,” sesal politikus Partai Golkar ini. (Lihat Video: Jelang New Normal, Penumpang KRL Dilarang Mengobrol)
Pengamat Informasi Komunikasi dan Teknologi, Canny Watae berpandangan, tanpa judicial review ke MK, pasal 1 angka 2 UU Penyiaran sebenarnya tidak hanya diperuntukkan pada penyelenggara penyiaran, namun juga mencakup platform OTT. Menurut dia, selama berupa konten siar seharusnya undang undang ini, pengawasannya mencakup dua konten digital tersebut.
Platform digital memang tidak secara langsung disebut sebagai pengguna spektrum frekuensi dan atau jaringan transmisi dalam bentuk kabel/optik. Tetapi untuk peregulasian terhadap konten yang disalurkan melalui spektrum tersebut, menurut dia semestinya juga menjadi ranah kewenangan KPI. Judicial review akan mempertegas posisi UU Penyiaran sehingga dalam implementasinya diharapkan bisa ditetapkan tidak hanya kepada lembaga penyiaran namun juga platform digital lain yang mencakupinya. (Neneng Zubaidah/Abdul Rochim/Kiswondari/Ichsan Amin)
Untuk memperkuat upaya penertiban ini, stasiun televisi RCTI telah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk materi gugatannya yang disampaikan pada Rabu (27/5), RCTI meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali termasuk melalui siaran internet untuk tunduk kepada UU Penyiaran.
Selaku pemohon, RCTI menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment). RCTI sebagai penyelenggara penyiaran konvensional selama ini menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan layanan over the top (OTT) memanfaatkan internet. (Baca: New Normal di Daerah Disesuaikan Dengan Hasil Epidimologi Covid-19)
Konten RCTI mendapatkan kontrol di bawah UU Penyiaran, sedang layanan OTT sedikit pun tak tersentuh lembaga pengawasan manapun. Selain pembedaan ini menimbulkan ketidakadilan hukum, dikhawatirkan tidak adanya pengawasan juga merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Oleh karena tidak adanya kepastian hukum apakah penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai dengan saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran,” demikian bunyi gugatan tersebut.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo mengakui bahwa UU No 32/2002 belum secara jelas mengamanatkan tentang keberadaan digital media. Oleh karena itu, jelasnya, maka KPI belum mengawasi ranah penyiaran terhadap digital media tersebut.
Menurut Mulyo, di dalam UU Penyiaran keberadaan media digital dan layanan OTT masih rancu. Pada satu sisi dimungkinkan masuk sebagai bagian dari penyiaran karena dilakukan dengan sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya. Internet bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk sarana penyaluran media lainnya. (Baca juga: Dukung RCTI Uji Materi UU Penyiaran, DPR Sejak Lama Kejar Pajak Youtube)
Tetapi pada sisi lain terdapat ketentuan lain bahwa kegiatan pemancarluasan siaran tersebut sifatnya diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. "Dua hal ini yang sering diperdebatkan," jelasnya.
Untuk itu, jika revisi UU Penyiaran dilakukan, maka definisi penyiaran perlu diubah seperti yang berlaku di Eropa di mana kegiatan pemancarluasan media audiovisual termasik sebagai bentuk penyiaran. “Jika judicial review dikabulkan, semua tayangan video berbasis internet termasuk media social, akan dapat diatur oleh pemerintah termasuk isi siaran atau konten di samping operator dapat diminta pertanggung jawabannya apabila melanggar ketentuan,” jelasnya.
DPR Dukung Langkah RCTI
Anggota Komisi I DPR Abdul Kadir Karding mendukung langkah yang ditempuh RCTI yang mengajukan uji materi UU Penyiaran ke MK. Karding menilai, siapapun pelaksana penyiaran baik itu lokal maupun asing yang melakukan siaran di wilayah NKRI harus mengikuti aturan hukum yang berlaku karena penontonnya adalah juga orang Indonesia. "Secara argumentatif patut kita dukung karena memang kita harus mengantisipasi semua konten-konten yang tidak mengadaptasi dengan kultur budaya dan kehidupan sosial di negara kita," ujar Karding.
Politikus PKB ini menilai, memang dalam tayangan-tayangan video atau film berbasis internet, konten seperti pornografi selama ini agak berlebihan sehingga tidak sesuai dengan norma, budaya, serta agama yang dianut masyarakat Indonesia. Karding menilai, uji materi yang diajukan RCTI harus dimaksnai dan dihargai, serta didukung sebagai aspirasi dan upaya mengingatkan bahwa boleh saja kita sebagai bangsa menerima masukan budaya-budaya luar, tetapi harus yang sesuai dengan kebudaaan kita. "Lebih spesifik lagi, ini masukan untuk lembaga penyiaran kita agar lebih komprehensif dalam mengawasi dengan menjadikan objek hukum yang berlaku sama," terangnya. (Baca juga: Deny Indrayana: Kebebasan Pers dan Berpendapat di Ujung Tanduk)
Dukungan juga disampaikan Dave Laksono, anggota Komisi I DPR lainnya. Dave berharap dengan uji materi ini maka semua platform penyiaran patuh terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di negeri ini, baik secara konten maupun pajak. Komisi I DPR pun sudah lama mendorong pemerintah agar mengejar pajak dari berbagai aplikasi OTT seperti Youtube, Netflix, Facebook, Instagram dan aplikasi lainnya yang selama ini meraup keuntungan sangat banyak dari warga Indonesia.
“Saya menilainya bilamana diajukan uji materi itu ada baiknya juga dari awal yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar bisa dikoreksi. Kalau memang semuanya sudah sesuai, tidak ada alasan lagi orang untuk tidak mematuhi,” tandas Dave.
Namun menurut Dave, sebenarnya dalam waktu dekat DPR bersama pemerintah juga akan merampungkan revisi RUU Penyiaran. Dengan demikian, publik bisa melihat apakah revisi ini nanti sudah mencakup materi yang diujimaterikan oleh RCTI atau belum. “Kalau belum bisa segera dimasukkan,” imbuh Dave.
Dave menjelaskan, karena selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang jelas untuk mengatur aplikasi-aplikasi tersebut, pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Namun, dalam UU Penyiaran yang baru nanti, adendumnya ditambahkan dan akan dipertegas lagi dengan peraturan Menteri (Permen) dan peraturan pemerintah (PP) agar membuat mereka patuh terhadap UU yang ada di Indonesia khususnya di bawah UU Perpajakan. “Jadi, harus ada aturan-aturan yang jelas untuk menutup segala macam look hole agar mereka berkewajiban melaksanakan pembayaran pajak itu,” ujar Dave.
Soal pengejaran pajak, Dave menilai langkah pemerintah beralasan. Sebab platform OTT itu juga menjual iklan dalam jumlah yang besar dan menikmati keuntungan dari warga Indonesia. Dengan demikian sudah sepatutnya mereka memberi manfaat bagi bangsa Indonesia dengan ikut membayar pajak. “Saya melihat revenue pajak ini on top dan mereka menikmati market di Indonesia tetapi, masyarakat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa,” sesal politikus Partai Golkar ini. (Lihat Video: Jelang New Normal, Penumpang KRL Dilarang Mengobrol)
Pengamat Informasi Komunikasi dan Teknologi, Canny Watae berpandangan, tanpa judicial review ke MK, pasal 1 angka 2 UU Penyiaran sebenarnya tidak hanya diperuntukkan pada penyelenggara penyiaran, namun juga mencakup platform OTT. Menurut dia, selama berupa konten siar seharusnya undang undang ini, pengawasannya mencakup dua konten digital tersebut.
Platform digital memang tidak secara langsung disebut sebagai pengguna spektrum frekuensi dan atau jaringan transmisi dalam bentuk kabel/optik. Tetapi untuk peregulasian terhadap konten yang disalurkan melalui spektrum tersebut, menurut dia semestinya juga menjadi ranah kewenangan KPI. Judicial review akan mempertegas posisi UU Penyiaran sehingga dalam implementasinya diharapkan bisa ditetapkan tidak hanya kepada lembaga penyiaran namun juga platform digital lain yang mencakupinya. (Neneng Zubaidah/Abdul Rochim/Kiswondari/Ichsan Amin)
(ysw)