Perlu Langkah Hukum, Regulasi Diskon Rokok Diminta Direvisi
Senin, 01 Juni 2020 - 22:49 WIB
Padahal RPJMN menargetkan pada 2019, prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4%. Hal tersebut dinilai menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok, dan industri rokok berhasil merekrut perokok baru yaitu anak-anak pada tiap tahunnya.
Lisda menjelaskan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya, dan harga rokok yang relatif terjangkau dimana memudahkan anak-anak membeli rokok.
"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," katanya.
Maka itu, Lentera Anak mendesak pemerintah atau Ditjen Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.
Sementara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengklaim bahwa pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok. "Kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau di mana tarif cukai naik setiap tahun," katanya dalam kesempatan sama.
Dia melanjutkan, tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. "Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan," imbuhnya.
Dirinya mengatakan, terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Kata dia, apa yang disebut sebagai diskon rokok merupakan potongan harga di tingkat penjualan.
"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan bea cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail, makanya kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itu lah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi, sebagai diskon," ungkapnya.
Sedangkan HJE itu merupakan harga patokan bandrol untuk kepentingan fiskal, adapun HTP itu diserahkan pasar. Pengaturan HTP saat ini diatur dalam PMK 152 Tahun 2019 dimana ditetapkan HTP adalah minimal 85% dari HJE.
Pemerintah menerapkan Pengaturan HTP minimal 85%, untuk melindungi industri yang di bawah. Saat ini pengawasan HTP dilakukan 98 kantor bea cukai yang terdiri dari 97 KPPBC dan 1 KPUBC yang melakukan pengawasan berkala 4 kali dalam setahun. "Jadi sebenarnya enggak masalah kalau pemerintah mencabut aturan itu karena bagi pemerintah penerimaan kita dasarnya adalah HJE," pungkasnya.
Lisda menjelaskan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya, dan harga rokok yang relatif terjangkau dimana memudahkan anak-anak membeli rokok.
"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," katanya.
Maka itu, Lentera Anak mendesak pemerintah atau Ditjen Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.
Sementara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengklaim bahwa pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok. "Kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau di mana tarif cukai naik setiap tahun," katanya dalam kesempatan sama.
Dia melanjutkan, tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. "Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan," imbuhnya.
Dirinya mengatakan, terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Kata dia, apa yang disebut sebagai diskon rokok merupakan potongan harga di tingkat penjualan.
"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan bea cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail, makanya kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itu lah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi, sebagai diskon," ungkapnya.
Sedangkan HJE itu merupakan harga patokan bandrol untuk kepentingan fiskal, adapun HTP itu diserahkan pasar. Pengaturan HTP saat ini diatur dalam PMK 152 Tahun 2019 dimana ditetapkan HTP adalah minimal 85% dari HJE.
Pemerintah menerapkan Pengaturan HTP minimal 85%, untuk melindungi industri yang di bawah. Saat ini pengawasan HTP dilakukan 98 kantor bea cukai yang terdiri dari 97 KPPBC dan 1 KPUBC yang melakukan pengawasan berkala 4 kali dalam setahun. "Jadi sebenarnya enggak masalah kalau pemerintah mencabut aturan itu karena bagi pemerintah penerimaan kita dasarnya adalah HJE," pungkasnya.
tulis komentar anda