Perlu Langkah Hukum, Regulasi Diskon Rokok Diminta Direvisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk merevisi aturan yang memperbolehkan diskon harga rokok. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Dr Abdillah Ahsan berpendapat, dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting.
(Baca juga: Jangan Bangga Jadi Taman Bermain Industri Tembakau)
Sebab semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya. "Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi," ujarnya dalam diskusi online Alinea.id bertajuk Melindungi Anak Dengan Menghapus Diskon Rokok, Senin (1/6/2020).
Selain itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012, khususnya pada Pasal 35 yang menyebutkan pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau, di antaranya tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.
Sementara itu, Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan bahwa kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal telah menegaskan akan mengutamakan kualitas sumber daya manusia. Hal itu kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 RI.
Pada saat itu, Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global. Apalagi Indonesia memiliki visi strategis, yakni Sumber daya manusia (SDM) yang unggul memiliki kreativitas, inovasi dan kecepatan unuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.
Adapun visi tersebut sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030. Di mana pada 2030, angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, lanjut dia, di tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.
Maka itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, Visi Misi Presiden, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau, khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok.
Di samping itu, kebijakan diskon rokok secara sosiologis juga dinilai memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat, sehingga ancaman bagi bonus demografi Indonesia. "Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amandemen, hingga judicial review," ujarnya.
Ketua Lentara Anak Lisda Sundari membeberkan dari tahun ke tahun jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional pada 2018, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1% atau sama dengan 7,8 juta anak.
Padahal RPJMN menargetkan pada 2019, prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4%. Hal tersebut dinilai menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok, dan industri rokok berhasil merekrut perokok baru yaitu anak-anak pada tiap tahunnya.
Lisda menjelaskan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya, dan harga rokok yang relatif terjangkau dimana memudahkan anak-anak membeli rokok.
"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," katanya.
Maka itu, Lentera Anak mendesak pemerintah atau Ditjen Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.
Sementara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengklaim bahwa pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok. "Kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau di mana tarif cukai naik setiap tahun," katanya dalam kesempatan sama.
Dia melanjutkan, tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. "Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan," imbuhnya.
Dirinya mengatakan, terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Kata dia, apa yang disebut sebagai diskon rokok merupakan potongan harga di tingkat penjualan.
"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan bea cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail, makanya kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itu lah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi, sebagai diskon," ungkapnya.
Sedangkan HJE itu merupakan harga patokan bandrol untuk kepentingan fiskal, adapun HTP itu diserahkan pasar. Pengaturan HTP saat ini diatur dalam PMK 152 Tahun 2019 dimana ditetapkan HTP adalah minimal 85% dari HJE.
Pemerintah menerapkan Pengaturan HTP minimal 85%, untuk melindungi industri yang di bawah. Saat ini pengawasan HTP dilakukan 98 kantor bea cukai yang terdiri dari 97 KPPBC dan 1 KPUBC yang melakukan pengawasan berkala 4 kali dalam setahun. "Jadi sebenarnya enggak masalah kalau pemerintah mencabut aturan itu karena bagi pemerintah penerimaan kita dasarnya adalah HJE," pungkasnya.
(Baca juga: Jangan Bangga Jadi Taman Bermain Industri Tembakau)
Sebab semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya. "Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi," ujarnya dalam diskusi online Alinea.id bertajuk Melindungi Anak Dengan Menghapus Diskon Rokok, Senin (1/6/2020).
Selain itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012, khususnya pada Pasal 35 yang menyebutkan pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau, di antaranya tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.
Sementara itu, Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan bahwa kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal telah menegaskan akan mengutamakan kualitas sumber daya manusia. Hal itu kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 RI.
Pada saat itu, Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global. Apalagi Indonesia memiliki visi strategis, yakni Sumber daya manusia (SDM) yang unggul memiliki kreativitas, inovasi dan kecepatan unuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.
Adapun visi tersebut sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030. Di mana pada 2030, angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, lanjut dia, di tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.
Maka itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, Visi Misi Presiden, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau, khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok.
Di samping itu, kebijakan diskon rokok secara sosiologis juga dinilai memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat, sehingga ancaman bagi bonus demografi Indonesia. "Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amandemen, hingga judicial review," ujarnya.
Ketua Lentara Anak Lisda Sundari membeberkan dari tahun ke tahun jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional pada 2018, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1% atau sama dengan 7,8 juta anak.
Padahal RPJMN menargetkan pada 2019, prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4%. Hal tersebut dinilai menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok, dan industri rokok berhasil merekrut perokok baru yaitu anak-anak pada tiap tahunnya.
Lisda menjelaskan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya, dan harga rokok yang relatif terjangkau dimana memudahkan anak-anak membeli rokok.
"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," katanya.
Maka itu, Lentera Anak mendesak pemerintah atau Ditjen Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.
Sementara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengklaim bahwa pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok. "Kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau di mana tarif cukai naik setiap tahun," katanya dalam kesempatan sama.
Dia melanjutkan, tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. "Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan," imbuhnya.
Dirinya mengatakan, terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Kata dia, apa yang disebut sebagai diskon rokok merupakan potongan harga di tingkat penjualan.
"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan bea cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail, makanya kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itu lah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi, sebagai diskon," ungkapnya.
Sedangkan HJE itu merupakan harga patokan bandrol untuk kepentingan fiskal, adapun HTP itu diserahkan pasar. Pengaturan HTP saat ini diatur dalam PMK 152 Tahun 2019 dimana ditetapkan HTP adalah minimal 85% dari HJE.
Pemerintah menerapkan Pengaturan HTP minimal 85%, untuk melindungi industri yang di bawah. Saat ini pengawasan HTP dilakukan 98 kantor bea cukai yang terdiri dari 97 KPPBC dan 1 KPUBC yang melakukan pengawasan berkala 4 kali dalam setahun. "Jadi sebenarnya enggak masalah kalau pemerintah mencabut aturan itu karena bagi pemerintah penerimaan kita dasarnya adalah HJE," pungkasnya.
(maf)