Perlu Langkah Hukum, Regulasi Diskon Rokok Diminta Direvisi
Senin, 01 Juni 2020 - 22:49 WIB
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk merevisi aturan yang memperbolehkan diskon harga rokok. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Dr Abdillah Ahsan berpendapat, dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting.
(Baca juga: Jangan Bangga Jadi Taman Bermain Industri Tembakau)
Sebab semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya. "Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi," ujarnya dalam diskusi online Alinea.id bertajuk Melindungi Anak Dengan Menghapus Diskon Rokok, Senin (1/6/2020).
Selain itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012, khususnya pada Pasal 35 yang menyebutkan pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau, di antaranya tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.
Sementara itu, Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan bahwa kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal telah menegaskan akan mengutamakan kualitas sumber daya manusia. Hal itu kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 RI.
Pada saat itu, Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global. Apalagi Indonesia memiliki visi strategis, yakni Sumber daya manusia (SDM) yang unggul memiliki kreativitas, inovasi dan kecepatan unuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.
Adapun visi tersebut sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030. Di mana pada 2030, angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, lanjut dia, di tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.
Maka itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, Visi Misi Presiden, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau, khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok.
Di samping itu, kebijakan diskon rokok secara sosiologis juga dinilai memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat, sehingga ancaman bagi bonus demografi Indonesia. "Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amandemen, hingga judicial review," ujarnya.
Ketua Lentara Anak Lisda Sundari membeberkan dari tahun ke tahun jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional pada 2018, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1% atau sama dengan 7,8 juta anak.
(Baca juga: Jangan Bangga Jadi Taman Bermain Industri Tembakau)
Sebab semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya. "Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi," ujarnya dalam diskusi online Alinea.id bertajuk Melindungi Anak Dengan Menghapus Diskon Rokok, Senin (1/6/2020).
Selain itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012, khususnya pada Pasal 35 yang menyebutkan pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau, di antaranya tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.
Sementara itu, Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan bahwa kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal telah menegaskan akan mengutamakan kualitas sumber daya manusia. Hal itu kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 RI.
Pada saat itu, Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global. Apalagi Indonesia memiliki visi strategis, yakni Sumber daya manusia (SDM) yang unggul memiliki kreativitas, inovasi dan kecepatan unuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.
Adapun visi tersebut sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030. Di mana pada 2030, angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, lanjut dia, di tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.
Maka itu, dia menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, Visi Misi Presiden, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau, khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok.
Di samping itu, kebijakan diskon rokok secara sosiologis juga dinilai memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat, sehingga ancaman bagi bonus demografi Indonesia. "Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amandemen, hingga judicial review," ujarnya.
Ketua Lentara Anak Lisda Sundari membeberkan dari tahun ke tahun jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional pada 2018, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1% atau sama dengan 7,8 juta anak.
tulis komentar anda