Darurat Kekerasan Seksual, Baleg DPR: RUU PKS Penting Segera Diselesaikan
Rabu, 08 September 2021 - 07:02 WIB
JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI , Neng Eem Marhamah menilai terminologi gender dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak selalu berkaitan dengan perempuan. Paradigma atau cara pandang seperti ini yang membuat banyak pihak salah persepsi mengenai pengarusutamaan gender.
Hal tersebut disampaikan Neng Eem dalam Forum Legislasi bertema ‘Membedah Draf Terkini RUU PKS’ di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/9/2021).
“Jadi apalagi yang bapak-bapak juga tidak semua memahami tentang pengarusutamaan (mainstreaming) gender. Bahkan ada juga yang menganggap mainstreaming gender sebagai suatu hal yang pasti dianggapnya sebagai perempuan,” ujar Neng Eem.
Menurutnya, terdapat perbedaan terminologi antara Gender dan Seks. Seks berarti jenis kelamin definitif yang bersifat terberi (given) dari Tuhan, yaitu lelaki (penis) dan perempuan (vagina). Sedangkan, gender jenis kelamin yang sifatnya dapat berubah karena ada struktur sosial yang membentuknya.
“Misalnya perempuan dianggap lebih ramah, laki-laki dianggap tegas, itu bisa berubah. Jadi, gender tidak hanya perempuan,” kata Neng Eem.
Karena itu, Politikus Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut mengakui perbedaan cara pandangan seperti ini yang akhirnya membuat dinamika pembahasan RUU PKS tersebut menjadi alot di internal Baleg DPR RI.
Oleh karena, jika pembahasan tidak didasarkan pada paradigma sensitif gender akan lebih sulit perumusan redaksi dalam tiap pasal-pasal yang dihadirkan. Padahal, undang-undang harus mengatur secara rigid sehingga mewakili setiap persoalan kekerasan seksual di masyarakat.
“Hal ini beda dengan relasi kuasa, kita lebih mudah mengidentifikasi. Misalkan buruh dengan pemilik modal, pekerja dengan bosnya, dan sebagainya, itu lebih bisa diredaksionalkan di RUU,” jelas Neng Eem.
Meskipun terjadi dinamika yang alot di internal Baleg DPR RI, Neng Eem berharap pihak organisasi masyarakat sipil, khususnya para aktivis gender tetap mengawal setiap pembahasan RUU tersebut.
“Tapi yang jelas bahwa (kekerasan seksual, red) ini sudah penting dan urgen, itu sudah pasti untuk segera diselesaikan, saya ingin masa sidang ini tuntas. Cuma kita masih masalah dalam paradigma yang berbeda akhirnya seperti itu,” terang Neng Eem.
Diketahui, sejauh ini Baleg DPR RI sudah mengadakan lima kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait RUU PKS dengan mengundang stakeholder, termasuk Komnas Perempuan.
Hasil dari RDPU tersebut, Tim Ahli Baleg DPR RI telah merumuskan draf RUU versi Baleg. Sejak 30 Agustus 2021 hasil dari rumusan draf tersebut dipresentasikan kepada Anggota Baleg DPR RI untuk mendapatkan masukan dari setiap fraksi.
Hal tersebut disampaikan Neng Eem dalam Forum Legislasi bertema ‘Membedah Draf Terkini RUU PKS’ di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/9/2021).
“Jadi apalagi yang bapak-bapak juga tidak semua memahami tentang pengarusutamaan (mainstreaming) gender. Bahkan ada juga yang menganggap mainstreaming gender sebagai suatu hal yang pasti dianggapnya sebagai perempuan,” ujar Neng Eem.
Menurutnya, terdapat perbedaan terminologi antara Gender dan Seks. Seks berarti jenis kelamin definitif yang bersifat terberi (given) dari Tuhan, yaitu lelaki (penis) dan perempuan (vagina). Sedangkan, gender jenis kelamin yang sifatnya dapat berubah karena ada struktur sosial yang membentuknya.
“Misalnya perempuan dianggap lebih ramah, laki-laki dianggap tegas, itu bisa berubah. Jadi, gender tidak hanya perempuan,” kata Neng Eem.
Karena itu, Politikus Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut mengakui perbedaan cara pandangan seperti ini yang akhirnya membuat dinamika pembahasan RUU PKS tersebut menjadi alot di internal Baleg DPR RI.
Oleh karena, jika pembahasan tidak didasarkan pada paradigma sensitif gender akan lebih sulit perumusan redaksi dalam tiap pasal-pasal yang dihadirkan. Padahal, undang-undang harus mengatur secara rigid sehingga mewakili setiap persoalan kekerasan seksual di masyarakat.
“Hal ini beda dengan relasi kuasa, kita lebih mudah mengidentifikasi. Misalkan buruh dengan pemilik modal, pekerja dengan bosnya, dan sebagainya, itu lebih bisa diredaksionalkan di RUU,” jelas Neng Eem.
Meskipun terjadi dinamika yang alot di internal Baleg DPR RI, Neng Eem berharap pihak organisasi masyarakat sipil, khususnya para aktivis gender tetap mengawal setiap pembahasan RUU tersebut.
“Tapi yang jelas bahwa (kekerasan seksual, red) ini sudah penting dan urgen, itu sudah pasti untuk segera diselesaikan, saya ingin masa sidang ini tuntas. Cuma kita masih masalah dalam paradigma yang berbeda akhirnya seperti itu,” terang Neng Eem.
Diketahui, sejauh ini Baleg DPR RI sudah mengadakan lima kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait RUU PKS dengan mengundang stakeholder, termasuk Komnas Perempuan.
Baca Juga
Hasil dari RDPU tersebut, Tim Ahli Baleg DPR RI telah merumuskan draf RUU versi Baleg. Sejak 30 Agustus 2021 hasil dari rumusan draf tersebut dipresentasikan kepada Anggota Baleg DPR RI untuk mendapatkan masukan dari setiap fraksi.
(kri)
tulis komentar anda