Rancangan Perpres TNI Atasi Terorisme Tak Gunakan Kajian Ilmiah Akademisi
Minggu, 31 Mei 2020 - 07:26 WIB
JAKARTA - Pemerintah ditengarai tak melibatkan akademisi dalam pembuatan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme .
Dosen Fakultas Hukum Univeritas Airlangga (Unair) R. Herlambang Perdana Wiratman, mengungkapkan kemungkinan tidak adanya kajian ilmiah atas rancangan perpres tersebut. “Sejauh ini tidak ada kejelasan akademisi mana yang dilibatkan,” tegasnya, Minggu (31/5/2020). (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Herlambang merupakan salah satu akademisi yang menolak kemunculan Perpres TNI. Saat mengetahui perpres tersebut telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei lalu, dirinya merupakan salah satu akademisi yang menandatangani Petisi Bersama Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Sipil untuk menolak disahkannya pemberian kewenangan TNI menangani terorisme melalui perpres. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid. Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Sejumlah poin disebutkan dalam petisi itu salah satunya, hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Caranya dengan menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power. Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap ”security of person” pada titik lain.
“Kami menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan peraturan presiden tersebut terlalu berlebihan sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri,” papar Herlambang.
Dia menilai, pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan perpres tersebut sangat luas. Seperti dalam Pasal 3 draf perppres itu yakni, dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya. Sementara itu, perpres tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”. Dengan pasal ini, kata dia, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.
Begitu juga istilah penangkalan. Secara konseptual, menurut dia, tidak dikenal dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 43 UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan yakni sebagai tugas pemerintah yang kewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)
Dosen Fakultas Hukum Univeritas Airlangga (Unair) R. Herlambang Perdana Wiratman, mengungkapkan kemungkinan tidak adanya kajian ilmiah atas rancangan perpres tersebut. “Sejauh ini tidak ada kejelasan akademisi mana yang dilibatkan,” tegasnya, Minggu (31/5/2020). (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Herlambang merupakan salah satu akademisi yang menolak kemunculan Perpres TNI. Saat mengetahui perpres tersebut telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei lalu, dirinya merupakan salah satu akademisi yang menandatangani Petisi Bersama Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Sipil untuk menolak disahkannya pemberian kewenangan TNI menangani terorisme melalui perpres. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid. Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Sejumlah poin disebutkan dalam petisi itu salah satunya, hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Caranya dengan menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power. Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap ”security of person” pada titik lain.
“Kami menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan peraturan presiden tersebut terlalu berlebihan sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri,” papar Herlambang.
Dia menilai, pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan perpres tersebut sangat luas. Seperti dalam Pasal 3 draf perppres itu yakni, dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya. Sementara itu, perpres tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”. Dengan pasal ini, kata dia, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.
Begitu juga istilah penangkalan. Secara konseptual, menurut dia, tidak dikenal dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 43 UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan yakni sebagai tugas pemerintah yang kewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)
tulis komentar anda