Fahri Bachmid: Rencana Amendemen UUD 1945 oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma
Sabtu, 04 September 2021 - 15:54 WIB
Hal tersebut, lanjut Fahri, tentunya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip amandemen itu sendiri. Secara konstitusional, Fahri mengatakan, mestinya ketentuan Pasal 37 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menjadi filter atas gagasan amandemen tersebut. Sebab, Pas 37 ayat 1 UUD NRI 1945 mengatur bahwa "Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat".
Sedangkan ayat (2) menegaskan "Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya".
Menurut Fahri, hal tersebut sekaligus untuk memitigasi jika konsep usulan itu ternyata menyasar pada bagian tertentu dari UUD yang bersifat melemahkan. Disebutkan Fahri, jika itu yang terjadi, maka secara paradigmatik keseluruhan struktur UUD 1945 tentu mengalami bergeseran yang sangat elementer.
Fahri Bachmid kemudian menjelaskan tentang pranata GBHN/PPHN yang tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini. Sebelum amandemen UUD 1945, GBHN merupakan mandat konstitusional MPR untuk presiden karena sistem yang berlaku ketika itu presiden dipilih oleh MPR.
Baca juga: Pakar Hukum UGM Nilai Tak Ada Urgensi Saat Ini Amendemen UUD
"Dan secara teoritik kita memang membangun supremasi parlemen dengan seluruh konsentrasi kekuasaan saat itu ada pada MPR. Konsekuensinya, adanya kewenangan MPR untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan dokumen hukum GBHN, sehingga dengan kewenangan tersebut, MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden," katanya.
Secara doktrinal, menurut Fahri Bachmid, sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amendemen sepanjang berkaitan dengan prinsip kedaulatan, menganut ajaran "distribution of power" yang secara konstitusional terdapat distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara yaitu dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara. Dengan pola distribusi kewenangan tersebut dari MPR selaku lembaga tertinggi negara (supremasi MPR) kepada lembaga-lembaga tinggi negara. Namun, katanya, sejak Pemilu 2004, presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat.
Hal tersebut, dijelaskan Fahri, merupakan konsekwensi dari amandemen konstitusi yang dilakukan pasca reformasi, yang mana menegaskan Indonesia menganut prinsip negara demokrasi (daulat rakyat) sekaligus nomokrasi (daulat hukum), sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
tulis komentar anda