Ahli Hukum Tata Negara UGM Sebut Perpres TNI Atasi Terorisme Bermasalah
Sabtu, 30 Mei 2020 - 07:06 WIB
JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang memiliki multi interpretasi dinilai dapat merusak peran TNI dan Polri. (Baca juga: Jokowi Diminta Tak Tandatangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) UGM Zainal Arifin Mochtar menilai, saat ini pembagian peran antara TNI dan Polri sangat jelas dalam bidang pertahanan, keamanan dan sebagainya. Pelibatan militer ditegaskan Zainal seharusnya dilakukan dalam kondisi-kondisi khusus. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
“Ini enggak jelas kondisi-kondisi itu, apalagi dalam perpres ada penggunaan istilah-istilah yang berbeda dengan konsep undang-undangnya seperti penangkalan dan sebagainya. Itukan bisa menimbulkan multi interpretasi,” ucap, Zainal, Sabtu (29/5/2020). (Baca juga: Komnas HAM: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Teroris Harus Ditinjau Ulang)
Dia juga mempertanyakan alasan pembuatan rancangan perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu itu. Padahal, secara tata negara perpres tersebut bermasalah. “Kalau UU nya berbeda dengan konsep perpresnya ya memang jadi masalah. Karena tidak nyambung (UU Teroris dan UU TNI). Tidak tahu apa motivasi pembuatan rancangan perpres tersebut,” ucapnya.
Zainal mengingatkan DPR untuk turut mengkritisi alasan keluarnya rancangan perpres itu. Dia menegaskan, bakal melakukan gugatan judicial review bila perpres yang dinilainya berpotensi memunculkan berbagai persoalan itu diberlakukan. “Perpres inikan harus dikritisi, jadi DPR juga harusnya menanyakan ke pemerintah maksudnya dibalik itu melalui kewenangan pengawasan. Sementara masyarakat sipil barangkali akan melihat kemungkinan judicial review dan sebagainya terhadap perpres itu,” pesannya.
Zainal menyarankan, perpres tersebut sebaiknya direvisi dengan menyesuaikan poin-poin yang telah disampaikan sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat melalui petisi beberapa hari lalu. “Seperti ketidakjelasan konsepsi dan sebagainya karena tidak sama maksud membuat UU dan doktrin pembagian peran TNI dan Polri,” tegasnya.
Selain Zainal, tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid.
Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) UGM Zainal Arifin Mochtar menilai, saat ini pembagian peran antara TNI dan Polri sangat jelas dalam bidang pertahanan, keamanan dan sebagainya. Pelibatan militer ditegaskan Zainal seharusnya dilakukan dalam kondisi-kondisi khusus. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
“Ini enggak jelas kondisi-kondisi itu, apalagi dalam perpres ada penggunaan istilah-istilah yang berbeda dengan konsep undang-undangnya seperti penangkalan dan sebagainya. Itukan bisa menimbulkan multi interpretasi,” ucap, Zainal, Sabtu (29/5/2020). (Baca juga: Komnas HAM: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Teroris Harus Ditinjau Ulang)
Dia juga mempertanyakan alasan pembuatan rancangan perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu itu. Padahal, secara tata negara perpres tersebut bermasalah. “Kalau UU nya berbeda dengan konsep perpresnya ya memang jadi masalah. Karena tidak nyambung (UU Teroris dan UU TNI). Tidak tahu apa motivasi pembuatan rancangan perpres tersebut,” ucapnya.
Zainal mengingatkan DPR untuk turut mengkritisi alasan keluarnya rancangan perpres itu. Dia menegaskan, bakal melakukan gugatan judicial review bila perpres yang dinilainya berpotensi memunculkan berbagai persoalan itu diberlakukan. “Perpres inikan harus dikritisi, jadi DPR juga harusnya menanyakan ke pemerintah maksudnya dibalik itu melalui kewenangan pengawasan. Sementara masyarakat sipil barangkali akan melihat kemungkinan judicial review dan sebagainya terhadap perpres itu,” pesannya.
Zainal menyarankan, perpres tersebut sebaiknya direvisi dengan menyesuaikan poin-poin yang telah disampaikan sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat melalui petisi beberapa hari lalu. “Seperti ketidakjelasan konsepsi dan sebagainya karena tidak sama maksud membuat UU dan doktrin pembagian peran TNI dan Polri,” tegasnya.
Selain Zainal, tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid.
Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
tulis komentar anda