Refleksi Satu Dekade UU Nomor 12 Tahun 2011
Rabu, 25 Agustus 2021 - 14:02 WIB
Penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dari pembenahan kebijakan perencanaan legislasi. Perencanaan legislasi selama ini masih belum sinkron dan harmonis dengan perencanaan pembangunan akibatnya masih ditemukan produk legislasi yang sebenarnya tidak mendukung perencanaan pembangunan. Dalam Program Penyusunan (Progsun) Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) memerlukan penataan kewenangan dan bisnis proses sehingga proses pengusulan, klarifikasi dan verifikasi RPP dan RPerpres menjadi lebih efektif dan efisien. Keterlibatan beberapa lembaga pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), termasuk Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet dalam hal memerlukan izin prakarsa memperlihatkan begitu banyaknya instansi pemerintah yang terlibat dalam proses pengusulan RPP dan RPerpres.
Pengharmonisasian
Berdasarkan kewenangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan merupakan leading sector dalam melakukan proses pengharmonisasian. Namun dalam praktik, upaya sinkronisasi juga dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah lain.
Pada tingkat peraturan menteri misalnya pernah diterbitkan Inpres No. 7/2017 dan surat Sekretaris Kabinet Nomor B-0144/Seskab/Polhukam/04/2020 yang memerintahkan peraturan menteri/kepala lembaga perlu mendapat persetujuan Presiden terlebih dahulu yakni yang memiliki kriteria berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, bersifat strategis, lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga. Hingga pada akhirnya kebijakan tersebut diperkuat dengan Perpres No. 68/2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Ke depan penataan proses pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan akan lebih efektif jika dilakukan dalam sistem satu atap (one roof system). Pembentukan badan/pusat legislasi nasional yang diamanatkan UU No. 12/2011 dapat mengakomodasi kebutuhan one roof system tidak saja dalam upaya pengharmonisasian namun secara keseluruhan dari perencanaan hingga evaluasi.
Tenaga Perancang
Tenaga perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran yang utama mengingat dalam UU No. 12/2011 disebutkan bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam PP No. 59/2015 juga disebutkan bahwa perancang peraturan perundang-undangan wajib bersikap profesional sesuai dengan disiplin ilmu hukum, ilmu perundang-undangan, dan disiplin ilmu lain yang dibutuhkan. Makna “disiplin ilmu lain yang dibutuhkan” mengharuskan perancang peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan interdisipliner dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk memastikan suatu peraturan perundang-undangan memenuhi kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat atau Eugen Ehrlich menyebutnya sebagai living law.
Selain itu, perancang peraturan perundang-undangan harus mampu mengetahui dengan utuh dan mendalam apa yang menjadi politik hukum dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Oleh karena itu, sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan perlu lebih menjamin kedudukan dan peran perancang peraturan perundang-undangan dalam rangka mengawal politik hukum suatu peraturan perundang-undangan.
Penataan Bisnis Proses
Salah satu konsekuensi dari penerapan metode omnibus law adalah perlunya penataan kembali bisnis proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU yang disusun dengan metode omnibus law memiliki kompleksitas tersendiri karena mencakup berbagai sektor dengan berbagai bidang hukum. Untuk itu, bisnis proses penyusunan dan pembahasan perlu diatur kembali agar memiliki ruang deliberasi yang cukup untuk membedah dan menelaah pasal demi pasal termasuk melakukan konsultasi publik terutama dengan pihak-pihak terdampak.
Pengharmonisasian
Berdasarkan kewenangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan merupakan leading sector dalam melakukan proses pengharmonisasian. Namun dalam praktik, upaya sinkronisasi juga dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah lain.
Pada tingkat peraturan menteri misalnya pernah diterbitkan Inpres No. 7/2017 dan surat Sekretaris Kabinet Nomor B-0144/Seskab/Polhukam/04/2020 yang memerintahkan peraturan menteri/kepala lembaga perlu mendapat persetujuan Presiden terlebih dahulu yakni yang memiliki kriteria berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, bersifat strategis, lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga. Hingga pada akhirnya kebijakan tersebut diperkuat dengan Perpres No. 68/2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Ke depan penataan proses pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan akan lebih efektif jika dilakukan dalam sistem satu atap (one roof system). Pembentukan badan/pusat legislasi nasional yang diamanatkan UU No. 12/2011 dapat mengakomodasi kebutuhan one roof system tidak saja dalam upaya pengharmonisasian namun secara keseluruhan dari perencanaan hingga evaluasi.
Tenaga Perancang
Tenaga perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran yang utama mengingat dalam UU No. 12/2011 disebutkan bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam PP No. 59/2015 juga disebutkan bahwa perancang peraturan perundang-undangan wajib bersikap profesional sesuai dengan disiplin ilmu hukum, ilmu perundang-undangan, dan disiplin ilmu lain yang dibutuhkan. Makna “disiplin ilmu lain yang dibutuhkan” mengharuskan perancang peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan interdisipliner dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk memastikan suatu peraturan perundang-undangan memenuhi kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat atau Eugen Ehrlich menyebutnya sebagai living law.
Selain itu, perancang peraturan perundang-undangan harus mampu mengetahui dengan utuh dan mendalam apa yang menjadi politik hukum dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Oleh karena itu, sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan perlu lebih menjamin kedudukan dan peran perancang peraturan perundang-undangan dalam rangka mengawal politik hukum suatu peraturan perundang-undangan.
Penataan Bisnis Proses
Salah satu konsekuensi dari penerapan metode omnibus law adalah perlunya penataan kembali bisnis proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU yang disusun dengan metode omnibus law memiliki kompleksitas tersendiri karena mencakup berbagai sektor dengan berbagai bidang hukum. Untuk itu, bisnis proses penyusunan dan pembahasan perlu diatur kembali agar memiliki ruang deliberasi yang cukup untuk membedah dan menelaah pasal demi pasal termasuk melakukan konsultasi publik terutama dengan pihak-pihak terdampak.
tulis komentar anda