Mengantisipasi Efek Taliban di Tanah Air
Senin, 23 Agustus 2021 - 07:33 WIB
Dia juga melihat sejauh ini bahwa belum ada indikasi masyarakat tertarik ke Afghanistan dan bergabung ke Taliban sebagaimana pernah terjadi pada sebagian WNI yang bergabung ke ISIS di Suriah. Ditegaskan, tidak serta merta Afghanistan akan dijadikan sebagai Bumi Hijrah Baru bagi warga Indonesia. Soal orang tertarik bergabung, menurut dia, itu sangat tergantung argumen-argumen yang dibuat Taliban.
“Taliban beda dengan ISIS, yang memakai argumen teologis bahwa (tempatnya berdiri) itu wilayah yang terpilih, Imam Mahdi akan turun di sana. Jadi ada justifikasi yang cukup kuat. Kalau Taliban, pendorongnya karena faktor ketidakadilan saja,” ujarnya.
Meski kemungkinan ada orang Indonesia yang bersimpati dan bergabung ke Taliban tetap ada, namun itu peluangnya dinilai kecil. Kalau pun ada, mereka tidak untuk datang jadi warga negara Afghanistan dan melepas status WNI-nya.
“Paling fenomenanya mereka datang untuk berlatih di sana. Makanya terlalu prematur bahwa ada orang yang ini dan itu,” katanya.
Selain itu, dia menyebut unsur keteroran Taliban sesungguhnya tidak sedalam secara ideologis seperti misalnya dengan Al-Qaida. Taliban hanya kelompok konservatif saja yang menegakkan hukum syariah dengan ketat, misalnya melakukan potong tangan bagi orang yang terbukti mencuri. Unsur keterorannya muncul karena dikaitkan dengan Al-Qaida. Namun, kata dia, sikap Taliban mempertahankan Al-Qaida pun lebih karena prinsip-prinsip konservatifnya.
“Misalkan, dulu menolak saat Osama akan diekstradisi, itu karena alasan konservatif. Katanya, hewan terangga saja masuk ke rumah harus dilindungi, apalagi mujahid seperti Osama. Ini kan sebenarnya narasi konservatif, beda jauh dibanding ISIS atau Osama sendiri yang perjuangannya secara ideologis,” tandasnya.
“Taliban beda dengan ISIS, yang memakai argumen teologis bahwa (tempatnya berdiri) itu wilayah yang terpilih, Imam Mahdi akan turun di sana. Jadi ada justifikasi yang cukup kuat. Kalau Taliban, pendorongnya karena faktor ketidakadilan saja,” ujarnya.
Meski kemungkinan ada orang Indonesia yang bersimpati dan bergabung ke Taliban tetap ada, namun itu peluangnya dinilai kecil. Kalau pun ada, mereka tidak untuk datang jadi warga negara Afghanistan dan melepas status WNI-nya.
“Paling fenomenanya mereka datang untuk berlatih di sana. Makanya terlalu prematur bahwa ada orang yang ini dan itu,” katanya.
Selain itu, dia menyebut unsur keteroran Taliban sesungguhnya tidak sedalam secara ideologis seperti misalnya dengan Al-Qaida. Taliban hanya kelompok konservatif saja yang menegakkan hukum syariah dengan ketat, misalnya melakukan potong tangan bagi orang yang terbukti mencuri. Unsur keterorannya muncul karena dikaitkan dengan Al-Qaida. Namun, kata dia, sikap Taliban mempertahankan Al-Qaida pun lebih karena prinsip-prinsip konservatifnya.
“Misalkan, dulu menolak saat Osama akan diekstradisi, itu karena alasan konservatif. Katanya, hewan terangga saja masuk ke rumah harus dilindungi, apalagi mujahid seperti Osama. Ini kan sebenarnya narasi konservatif, beda jauh dibanding ISIS atau Osama sendiri yang perjuangannya secara ideologis,” tandasnya.
(ynt)
Lihat Juga :
tulis komentar anda