Baliho, Pandemi, dan Mimpi Politisi
Kamis, 19 Agustus 2021 - 11:10 WIB
Partai punya peran relevan jika ingin memfungsikan sistem push marketing ini di tengah pandemi. Caranya, dengan memaksimalkan konversi aktivitas sosial dan kemanusiaan partai untuk sampai pada audiens yang tidak terjangkau program bantuan pemerintah, baik pemberian sembako, vaksinasi gratis, maupun bantuan peralatan medis. Semua bantuan itu bisa dikemas dengan simbol bergambar “merek” partai maupun politisi yang akan dijual. Meski hal ini juga rawan kritik, namun jauh akan lebih terukur derajat keberpihakan partai dan politisinya pada masyarakat, ketimbang menghamburkan uang untuk membuat dan memajang wajah di baliho yang nilainya bisa digunakan dalam membantu ribuan orang yang terdampak pandemi.
Sedangkan jalur pemasaran politik yang pull, juga sangat penting dikelola partai, terutama terhadap konstituen lama yang sudah teruji kesetiaannya. Jadi, untuk daerah-daerah yang sebenarnya menjadi basis partai, justru baliho sangat tidak penting, apalagi jika daerah tersebut masuk daerah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4.
Ibarat promosi dagang, wajah politisi di baliho yang sudah terkenal tidak memberikan efek apapun jika yang dikejar adalah elektabilitas. Baliho hanya salah satu ajang promosi diri secara politik, sementara ajang promosi lain justru lebih dominan pengaruhnya untuk mengangkat elektabilitas politik dari politisi partai tersebut. Jangan karena ingin mendongkrak elektabilitas, lalu meniadakan empati dan simpati terhadap masyarakat, terutama yang terdampak pandemi, dengan memajang wajah gembira di baliho yang bertebaran di tepi jalanan. Baliho adalah produk politik bernilai mahal, padahal biaya itu bisa saja digunakan untuk menyumbang masyarakat yang terdampak pandemi.
Saran ketiga dari Khotler dan Kevin tentang pass marketing, yakni partai yang ingin menjual produk politiknya bisa saja melakukan upaya charity in community, misalnya. Mereka bisa memanfaatkan basis massa di ranting-ranting partai di berbagai pelosok sebagai ujung tombak dengan program-program sensitif pandemi. Sehingga, tanpa baliho pun nama-nama elite yang digaungkan dalam program itu bisa "dibisikkan" langsung ke masyarakat yang ingin diminta suaranya, terutama kelak jika hajat politik digelar di kemudian hari. Penggabungan national sponsorship dan local sponsorship akan jauh lebih efektif ketimbang memajang baliho yang akan lapuk diterpa hujan dan lekang diserang panas.
Mimpi Politisi
Meski tahun ini “baru” 2021 dan masih tersisa tiga tahun lagi sebelum digelarnya ajang pemilihan presiden (pilpres), tapi bagi partai dan politisinya tahun ini justru “sudah” 2021. Kata “baru” dan “sudah” memiliki arti yang berbeda dalam persepsi partai dan politisinya dibandingkan dengan persepsi masyarakat secara keseluruhan.
Karena bagi masyarakat ini “baru” 2021, maka seharusnya politisi mau mengubur mimpinya sejenak untuk mempersiapkan diri memasuki arena kontestasi Pilpres 2024. Mereka harus lebih peka pada kehidupan masyarakat, terutama yang terdampak pandemi. Naluri dan hasrat politik hendaknya menyingkir sejenak, beralih dengan tindakan altruisme dan kemanusiaan yang bisa mengangkat kehidupan rakyat yang kelak akan dibutuhkan suaranya oleh partai dan politisi itu.
Namun, kenyataan berbeda karena bagi partai dan politisi kata “sudah” juga berarti tibanya mimpi untuk meraih dan menduduki kekuasaan yang seolah tidak boleh beralih kesempatannya kepada orang lain. Ibatat teori peran, mengapa ia diributkan, karena ia diperebutkan.
Mimpi politisi akan kekuasaan ibarat mur dan baut, dua hal yang sulit dipisahkan. Jika dipisah akan membuat partai tidak berfungsi. Oleh karena itu kebanyakan partai dan politisinya tega-tega saja melupakan fenomena dan masalah sosial, ekonomi, bahkan politik di sekitarnya, yang penting mimpi politiknya terealisasikan.
Partai memang punya kuasa untuk mengatur, merencanakan, mengelola dan mengaplikasikan pesan politiknya kepada masyarakat. Tapi partai seharusnya juga punya kuasa untuk berperan memanusiakan calon pemilihnya yang kelak di kemudian hari dibutuhkan suaranya oleh partai, baik untuk pemilihan calon di legislatif maupun di eksekutif. Tapi sekali lagi, bukan karena baliho masyarakat memilihnya.
Sedangkan jalur pemasaran politik yang pull, juga sangat penting dikelola partai, terutama terhadap konstituen lama yang sudah teruji kesetiaannya. Jadi, untuk daerah-daerah yang sebenarnya menjadi basis partai, justru baliho sangat tidak penting, apalagi jika daerah tersebut masuk daerah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4.
Ibarat promosi dagang, wajah politisi di baliho yang sudah terkenal tidak memberikan efek apapun jika yang dikejar adalah elektabilitas. Baliho hanya salah satu ajang promosi diri secara politik, sementara ajang promosi lain justru lebih dominan pengaruhnya untuk mengangkat elektabilitas politik dari politisi partai tersebut. Jangan karena ingin mendongkrak elektabilitas, lalu meniadakan empati dan simpati terhadap masyarakat, terutama yang terdampak pandemi, dengan memajang wajah gembira di baliho yang bertebaran di tepi jalanan. Baliho adalah produk politik bernilai mahal, padahal biaya itu bisa saja digunakan untuk menyumbang masyarakat yang terdampak pandemi.
Saran ketiga dari Khotler dan Kevin tentang pass marketing, yakni partai yang ingin menjual produk politiknya bisa saja melakukan upaya charity in community, misalnya. Mereka bisa memanfaatkan basis massa di ranting-ranting partai di berbagai pelosok sebagai ujung tombak dengan program-program sensitif pandemi. Sehingga, tanpa baliho pun nama-nama elite yang digaungkan dalam program itu bisa "dibisikkan" langsung ke masyarakat yang ingin diminta suaranya, terutama kelak jika hajat politik digelar di kemudian hari. Penggabungan national sponsorship dan local sponsorship akan jauh lebih efektif ketimbang memajang baliho yang akan lapuk diterpa hujan dan lekang diserang panas.
Mimpi Politisi
Meski tahun ini “baru” 2021 dan masih tersisa tiga tahun lagi sebelum digelarnya ajang pemilihan presiden (pilpres), tapi bagi partai dan politisinya tahun ini justru “sudah” 2021. Kata “baru” dan “sudah” memiliki arti yang berbeda dalam persepsi partai dan politisinya dibandingkan dengan persepsi masyarakat secara keseluruhan.
Karena bagi masyarakat ini “baru” 2021, maka seharusnya politisi mau mengubur mimpinya sejenak untuk mempersiapkan diri memasuki arena kontestasi Pilpres 2024. Mereka harus lebih peka pada kehidupan masyarakat, terutama yang terdampak pandemi. Naluri dan hasrat politik hendaknya menyingkir sejenak, beralih dengan tindakan altruisme dan kemanusiaan yang bisa mengangkat kehidupan rakyat yang kelak akan dibutuhkan suaranya oleh partai dan politisi itu.
Namun, kenyataan berbeda karena bagi partai dan politisi kata “sudah” juga berarti tibanya mimpi untuk meraih dan menduduki kekuasaan yang seolah tidak boleh beralih kesempatannya kepada orang lain. Ibatat teori peran, mengapa ia diributkan, karena ia diperebutkan.
Mimpi politisi akan kekuasaan ibarat mur dan baut, dua hal yang sulit dipisahkan. Jika dipisah akan membuat partai tidak berfungsi. Oleh karena itu kebanyakan partai dan politisinya tega-tega saja melupakan fenomena dan masalah sosial, ekonomi, bahkan politik di sekitarnya, yang penting mimpi politiknya terealisasikan.
Partai memang punya kuasa untuk mengatur, merencanakan, mengelola dan mengaplikasikan pesan politiknya kepada masyarakat. Tapi partai seharusnya juga punya kuasa untuk berperan memanusiakan calon pemilihnya yang kelak di kemudian hari dibutuhkan suaranya oleh partai, baik untuk pemilihan calon di legislatif maupun di eksekutif. Tapi sekali lagi, bukan karena baliho masyarakat memilihnya.
tulis komentar anda