Baliho, Pandemi, dan Mimpi Politisi
loading...
A
A
A
LelyArrianie
Dosen Komunikasi Politik Universitas Nasional, Presidium Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI) dan Dewan Pakar ISKI
RUANG publik Kota Jakarta dan hampir seluruh kota di Indonesia tiba-tiba dipenuhi baliho berukuran besar. Baliho tersebut memuat gambar orang-orang yang sebenarnya telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Akibat baliho tersebut terjadilah kekacauan persepsi seketika. Pertanyaan pun mengemuka, apa maksud di balik pemasangan baliho tersebut?
Di tengah situasi pandemi dan kepanikan rakyat yang kekurangan oksigen, kehilangan mata pencaharian, atau yang berduka karena kepergian orang-orang tercinta untuk selamanya, perhatian kita harus tersita ke baliho bergambar wajah orang-orang yang sebenarnya tidak begitu penting mempromosikan diri lagi karena sudah nyata dikenal dan punya kuasa.
Pertanyaan apa maksud dari pemasangan baliho tersebut tentu akan dengan mudah dijawab oleh elite partai yang wajah tokohnya terpampang di baliho. Mereka akan mengatakan bahwa ini sudah direncanakan sejak lama, sudah agenda yang tidak bisa diubah , atau dengan banyak alasan lain yang sebenarnya juga bisa dijawab masyarakat dengan membalikkan argumen yang mereka ketengahkan.
Namun, yang sulit dibantah adalah baliho tersebut adalah ajang promosi diri para elite untuk menuju panggung kekuasaan pada 2024. Persepsi itu melekat di benak hampir seluruh rakyat Indonesia saat ini. Lalu pertanyaannya, efektifkah baliho-baliho tersebut dalam upaya meraih dukungan atau suara publik?
Pandemi dan Promosi Diri
Baliho memang merupakan salah satu sarana komunikasi pemasaran dan "menjual diri" secara politik, di mana partai dan atau politisi berusaha untuk menginformasikan, mengingatkan, membujuk baik secara langsung maupun tidak langsung tentang produk politik yang mereka jual. Hal ini pernah diingatkan oleh Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2009) bahwa sebenarnya ada banyak strategi yang bisa dilakukan untuk mempromosikan diri, terutama dari segi push, pass, dan full marketing.
Anggaplah politisi yang ingin dijual merupakan produk unggulan partai. Jika demikian partai seharusnya lebih memilih posisi dominan pada kesadaran akan merek partai yang melekat pada politisi tersebut. Jadi yang hendak dibangun adalah loyalitas pada merek partai bukan politisinya. Artinya, di tengah situasi pandemi ini yang bergerak seharusnya adalahpartai dengan berbagai aktivitas kemanusiaan yang bersifat altruisme. Bukan malah menjejali benak masyarakat dan konstituen dengan gambar wajah politisi yang notabene tidak ada korelasi langsung dengan aktivitas kemanusiaan untuk menaikkan branding image partai.
Partai punya peran relevan jika ingin memfungsikan sistem push marketing ini di tengah pandemi. Caranya, dengan memaksimalkan konversi aktivitas sosial dan kemanusiaan partai untuk sampai pada audiens yang tidak terjangkau program bantuan pemerintah, baik pemberian sembako, vaksinasi gratis, maupun bantuan peralatan medis. Semua bantuan itu bisa dikemas dengan simbol bergambar “merek” partai maupun politisi yang akan dijual. Meski hal ini juga rawan kritik, namun jauh akan lebih terukur derajat keberpihakan partai dan politisinya pada masyarakat, ketimbang menghamburkan uang untuk membuat dan memajang wajah di baliho yang nilainya bisa digunakan dalam membantu ribuan orang yang terdampak pandemi.
Sedangkan jalur pemasaran politik yang pull, juga sangat penting dikelola partai, terutama terhadap konstituen lama yang sudah teruji kesetiaannya. Jadi, untuk daerah-daerah yang sebenarnya menjadi basis partai, justru baliho sangat tidak penting, apalagi jika daerah tersebut masuk daerah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4.
Ibarat promosi dagang, wajah politisi di baliho yang sudah terkenal tidak memberikan efek apapun jika yang dikejar adalah elektabilitas. Baliho hanya salah satu ajang promosi diri secara politik, sementara ajang promosi lain justru lebih dominan pengaruhnya untuk mengangkat elektabilitas politik dari politisi partai tersebut. Jangan karena ingin mendongkrak elektabilitas, lalu meniadakan empati dan simpati terhadap masyarakat, terutama yang terdampak pandemi, dengan memajang wajah gembira di baliho yang bertebaran di tepi jalanan. Baliho adalah produk politik bernilai mahal, padahal biaya itu bisa saja digunakan untuk menyumbang masyarakat yang terdampak pandemi.
Saran ketiga dari Khotler dan Kevin tentang pass marketing, yakni partai yang ingin menjual produk politiknya bisa saja melakukan upaya charity in community, misalnya. Mereka bisa memanfaatkan basis massa di ranting-ranting partai di berbagai pelosok sebagai ujung tombak dengan program-program sensitif pandemi. Sehingga, tanpa baliho pun nama-nama elite yang digaungkan dalam program itu bisa "dibisikkan" langsung ke masyarakat yang ingin diminta suaranya, terutama kelak jika hajat politik digelar di kemudian hari. Penggabungan national sponsorship dan local sponsorship akan jauh lebih efektif ketimbang memajang baliho yang akan lapuk diterpa hujan dan lekang diserang panas.
Mimpi Politisi
Meski tahun ini “baru” 2021 dan masih tersisa tiga tahun lagi sebelum digelarnya ajang pemilihan presiden (pilpres), tapi bagi partai dan politisinya tahun ini justru “sudah” 2021. Kata “baru” dan “sudah” memiliki arti yang berbeda dalam persepsi partai dan politisinya dibandingkan dengan persepsi masyarakat secara keseluruhan.
Karena bagi masyarakat ini “baru” 2021, maka seharusnya politisi mau mengubur mimpinya sejenak untuk mempersiapkan diri memasuki arena kontestasi Pilpres 2024. Mereka harus lebih peka pada kehidupan masyarakat, terutama yang terdampak pandemi. Naluri dan hasrat politik hendaknya menyingkir sejenak, beralih dengan tindakan altruisme dan kemanusiaan yang bisa mengangkat kehidupan rakyat yang kelak akan dibutuhkan suaranya oleh partai dan politisi itu.
Namun, kenyataan berbeda karena bagi partai dan politisi kata “sudah” juga berarti tibanya mimpi untuk meraih dan menduduki kekuasaan yang seolah tidak boleh beralih kesempatannya kepada orang lain. Ibatat teori peran, mengapa ia diributkan, karena ia diperebutkan.
Mimpi politisi akan kekuasaan ibarat mur dan baut, dua hal yang sulit dipisahkan. Jika dipisah akan membuat partai tidak berfungsi. Oleh karena itu kebanyakan partai dan politisinya tega-tega saja melupakan fenomena dan masalah sosial, ekonomi, bahkan politik di sekitarnya, yang penting mimpi politiknya terealisasikan.
Partai memang punya kuasa untuk mengatur, merencanakan, mengelola dan mengaplikasikan pesan politiknya kepada masyarakat. Tapi partai seharusnya juga punya kuasa untuk berperan memanusiakan calon pemilihnya yang kelak di kemudian hari dibutuhkan suaranya oleh partai, baik untuk pemilihan calon di legislatif maupun di eksekutif. Tapi sekali lagi, bukan karena baliho masyarakat memilihnya.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Nasional, Presidium Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI) dan Dewan Pakar ISKI
RUANG publik Kota Jakarta dan hampir seluruh kota di Indonesia tiba-tiba dipenuhi baliho berukuran besar. Baliho tersebut memuat gambar orang-orang yang sebenarnya telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Akibat baliho tersebut terjadilah kekacauan persepsi seketika. Pertanyaan pun mengemuka, apa maksud di balik pemasangan baliho tersebut?
Di tengah situasi pandemi dan kepanikan rakyat yang kekurangan oksigen, kehilangan mata pencaharian, atau yang berduka karena kepergian orang-orang tercinta untuk selamanya, perhatian kita harus tersita ke baliho bergambar wajah orang-orang yang sebenarnya tidak begitu penting mempromosikan diri lagi karena sudah nyata dikenal dan punya kuasa.
Pertanyaan apa maksud dari pemasangan baliho tersebut tentu akan dengan mudah dijawab oleh elite partai yang wajah tokohnya terpampang di baliho. Mereka akan mengatakan bahwa ini sudah direncanakan sejak lama, sudah agenda yang tidak bisa diubah , atau dengan banyak alasan lain yang sebenarnya juga bisa dijawab masyarakat dengan membalikkan argumen yang mereka ketengahkan.
Namun, yang sulit dibantah adalah baliho tersebut adalah ajang promosi diri para elite untuk menuju panggung kekuasaan pada 2024. Persepsi itu melekat di benak hampir seluruh rakyat Indonesia saat ini. Lalu pertanyaannya, efektifkah baliho-baliho tersebut dalam upaya meraih dukungan atau suara publik?
Pandemi dan Promosi Diri
Baliho memang merupakan salah satu sarana komunikasi pemasaran dan "menjual diri" secara politik, di mana partai dan atau politisi berusaha untuk menginformasikan, mengingatkan, membujuk baik secara langsung maupun tidak langsung tentang produk politik yang mereka jual. Hal ini pernah diingatkan oleh Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2009) bahwa sebenarnya ada banyak strategi yang bisa dilakukan untuk mempromosikan diri, terutama dari segi push, pass, dan full marketing.
Anggaplah politisi yang ingin dijual merupakan produk unggulan partai. Jika demikian partai seharusnya lebih memilih posisi dominan pada kesadaran akan merek partai yang melekat pada politisi tersebut. Jadi yang hendak dibangun adalah loyalitas pada merek partai bukan politisinya. Artinya, di tengah situasi pandemi ini yang bergerak seharusnya adalahpartai dengan berbagai aktivitas kemanusiaan yang bersifat altruisme. Bukan malah menjejali benak masyarakat dan konstituen dengan gambar wajah politisi yang notabene tidak ada korelasi langsung dengan aktivitas kemanusiaan untuk menaikkan branding image partai.
Partai punya peran relevan jika ingin memfungsikan sistem push marketing ini di tengah pandemi. Caranya, dengan memaksimalkan konversi aktivitas sosial dan kemanusiaan partai untuk sampai pada audiens yang tidak terjangkau program bantuan pemerintah, baik pemberian sembako, vaksinasi gratis, maupun bantuan peralatan medis. Semua bantuan itu bisa dikemas dengan simbol bergambar “merek” partai maupun politisi yang akan dijual. Meski hal ini juga rawan kritik, namun jauh akan lebih terukur derajat keberpihakan partai dan politisinya pada masyarakat, ketimbang menghamburkan uang untuk membuat dan memajang wajah di baliho yang nilainya bisa digunakan dalam membantu ribuan orang yang terdampak pandemi.
Sedangkan jalur pemasaran politik yang pull, juga sangat penting dikelola partai, terutama terhadap konstituen lama yang sudah teruji kesetiaannya. Jadi, untuk daerah-daerah yang sebenarnya menjadi basis partai, justru baliho sangat tidak penting, apalagi jika daerah tersebut masuk daerah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4.
Ibarat promosi dagang, wajah politisi di baliho yang sudah terkenal tidak memberikan efek apapun jika yang dikejar adalah elektabilitas. Baliho hanya salah satu ajang promosi diri secara politik, sementara ajang promosi lain justru lebih dominan pengaruhnya untuk mengangkat elektabilitas politik dari politisi partai tersebut. Jangan karena ingin mendongkrak elektabilitas, lalu meniadakan empati dan simpati terhadap masyarakat, terutama yang terdampak pandemi, dengan memajang wajah gembira di baliho yang bertebaran di tepi jalanan. Baliho adalah produk politik bernilai mahal, padahal biaya itu bisa saja digunakan untuk menyumbang masyarakat yang terdampak pandemi.
Saran ketiga dari Khotler dan Kevin tentang pass marketing, yakni partai yang ingin menjual produk politiknya bisa saja melakukan upaya charity in community, misalnya. Mereka bisa memanfaatkan basis massa di ranting-ranting partai di berbagai pelosok sebagai ujung tombak dengan program-program sensitif pandemi. Sehingga, tanpa baliho pun nama-nama elite yang digaungkan dalam program itu bisa "dibisikkan" langsung ke masyarakat yang ingin diminta suaranya, terutama kelak jika hajat politik digelar di kemudian hari. Penggabungan national sponsorship dan local sponsorship akan jauh lebih efektif ketimbang memajang baliho yang akan lapuk diterpa hujan dan lekang diserang panas.
Mimpi Politisi
Meski tahun ini “baru” 2021 dan masih tersisa tiga tahun lagi sebelum digelarnya ajang pemilihan presiden (pilpres), tapi bagi partai dan politisinya tahun ini justru “sudah” 2021. Kata “baru” dan “sudah” memiliki arti yang berbeda dalam persepsi partai dan politisinya dibandingkan dengan persepsi masyarakat secara keseluruhan.
Karena bagi masyarakat ini “baru” 2021, maka seharusnya politisi mau mengubur mimpinya sejenak untuk mempersiapkan diri memasuki arena kontestasi Pilpres 2024. Mereka harus lebih peka pada kehidupan masyarakat, terutama yang terdampak pandemi. Naluri dan hasrat politik hendaknya menyingkir sejenak, beralih dengan tindakan altruisme dan kemanusiaan yang bisa mengangkat kehidupan rakyat yang kelak akan dibutuhkan suaranya oleh partai dan politisi itu.
Namun, kenyataan berbeda karena bagi partai dan politisi kata “sudah” juga berarti tibanya mimpi untuk meraih dan menduduki kekuasaan yang seolah tidak boleh beralih kesempatannya kepada orang lain. Ibatat teori peran, mengapa ia diributkan, karena ia diperebutkan.
Mimpi politisi akan kekuasaan ibarat mur dan baut, dua hal yang sulit dipisahkan. Jika dipisah akan membuat partai tidak berfungsi. Oleh karena itu kebanyakan partai dan politisinya tega-tega saja melupakan fenomena dan masalah sosial, ekonomi, bahkan politik di sekitarnya, yang penting mimpi politiknya terealisasikan.
Partai memang punya kuasa untuk mengatur, merencanakan, mengelola dan mengaplikasikan pesan politiknya kepada masyarakat. Tapi partai seharusnya juga punya kuasa untuk berperan memanusiakan calon pemilihnya yang kelak di kemudian hari dibutuhkan suaranya oleh partai, baik untuk pemilihan calon di legislatif maupun di eksekutif. Tapi sekali lagi, bukan karena baliho masyarakat memilihnya.
(bmm)