Lampaui Kewenangan Soal Pegawai KPK, Rekomendasi Ombudsman Tak Perlu Diikuti
Jum'at, 13 Agustus 2021 - 21:09 WIB
JAKARTA - Hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait adanya maladministrasi dalam proses peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai melanggar wewenang lembaga. Perlu adanya teguran bagi ORI karena telah melakukan tindakan melampaui wewenang.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Romli Atmasasmita menyarankan, sebaiknya rekomendasi dari Ombudsman tidak perlu diikuti. Dalam rekomendasi itu, ORI menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membina Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menkumham, dan Menpan RB selaku pelaksana asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Bahkan Ombudsman juga meminta Jokowi mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) KPK terkait alih status 75 pegawai menjadi ASN.
"Ombudsman RI tidak ada kewenangan, maka tidak ada gunanya harus diikuti rekomendasinya. Karena legal standingnya pun tidak ada," kata Prof Romli dalam diskusi publik bertajuk 'Membedah Dinamika KPK; Perspektif Hukum dan Ketatanegaraan' yang diselenggarakan Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK), Jumat (13/8/2021).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pun keberatan atas tiga hasil temuan pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman RI. Tindakan yang dilakukan ORI, ditegaskan Ghufron, sesungguhnya telah melanggar konstitusi. Ia menjelaskan pokok perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK nomor 1 tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung (MA) yang sedang dalam proses pemeriksaan.
"Keberatan kami adalah, mengenai temuan ORI yang menyebutkan ada penyelewangan prosedur, menurut KPK itu adalah pengujian keabsahan formil. Ini adalah wilayah Mahkamah Agung, jika ini dibiarkan artinya KPK sama dengan membiarkan pelanggaran terhadap konstitusi," terang Ghufron.
Menyinggung pelaksanaan asesmen TWK, Ghufron menegaskan tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman RI tidak memiliki hubungan sebab akibat bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LHAP. Ghufron pun menceritakan kronologis pelaksanaan TWK KPK yang melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dijelaskan Ghufron, kompetensi BKN sebaiknya tidak diragukan atau dianggap tidak kompeten. Ia menegaskan tindakan BKN sejauh ini sudah menunjukkan sikap sangat profesional serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurhasan, memiliki harapan tinggi agar KPK sebagai lembaga anti rasuah kedepannya semakin matang. Ia menekankan bahwa lembaga yang dipimpin Firli Bahuri ini jangan lagi menggantungkan dukungan-dukungan publik yang semu. "Kadang dukungan ke KPK ini sifatnya semu, itu yang terjadi sebelum-sebelumnya. Benar atau salah, KPK pokoknya harus maju. Kedepannya, hal ini tidak boleh terjadi lagi. KPK harus sensitif atas kritikan dan dorongan-dorongan publik," ujar Nurhasan.
Mengenai hasil temuan Ombudsman RI, Nurhasan menilai ORI tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hasil seleksi alih status pegawai KPK. Menurutnya lembaga yang seharusnya berhak mengawasi hasil asesmen tes TWK adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Romli Atmasasmita menyarankan, sebaiknya rekomendasi dari Ombudsman tidak perlu diikuti. Dalam rekomendasi itu, ORI menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membina Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menkumham, dan Menpan RB selaku pelaksana asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Bahkan Ombudsman juga meminta Jokowi mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) KPK terkait alih status 75 pegawai menjadi ASN.
"Ombudsman RI tidak ada kewenangan, maka tidak ada gunanya harus diikuti rekomendasinya. Karena legal standingnya pun tidak ada," kata Prof Romli dalam diskusi publik bertajuk 'Membedah Dinamika KPK; Perspektif Hukum dan Ketatanegaraan' yang diselenggarakan Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK), Jumat (13/8/2021).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pun keberatan atas tiga hasil temuan pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman RI. Tindakan yang dilakukan ORI, ditegaskan Ghufron, sesungguhnya telah melanggar konstitusi. Ia menjelaskan pokok perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK nomor 1 tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung (MA) yang sedang dalam proses pemeriksaan.
"Keberatan kami adalah, mengenai temuan ORI yang menyebutkan ada penyelewangan prosedur, menurut KPK itu adalah pengujian keabsahan formil. Ini adalah wilayah Mahkamah Agung, jika ini dibiarkan artinya KPK sama dengan membiarkan pelanggaran terhadap konstitusi," terang Ghufron.
Menyinggung pelaksanaan asesmen TWK, Ghufron menegaskan tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman RI tidak memiliki hubungan sebab akibat bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LHAP. Ghufron pun menceritakan kronologis pelaksanaan TWK KPK yang melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dijelaskan Ghufron, kompetensi BKN sebaiknya tidak diragukan atau dianggap tidak kompeten. Ia menegaskan tindakan BKN sejauh ini sudah menunjukkan sikap sangat profesional serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurhasan, memiliki harapan tinggi agar KPK sebagai lembaga anti rasuah kedepannya semakin matang. Ia menekankan bahwa lembaga yang dipimpin Firli Bahuri ini jangan lagi menggantungkan dukungan-dukungan publik yang semu. "Kadang dukungan ke KPK ini sifatnya semu, itu yang terjadi sebelum-sebelumnya. Benar atau salah, KPK pokoknya harus maju. Kedepannya, hal ini tidak boleh terjadi lagi. KPK harus sensitif atas kritikan dan dorongan-dorongan publik," ujar Nurhasan.
Mengenai hasil temuan Ombudsman RI, Nurhasan menilai ORI tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hasil seleksi alih status pegawai KPK. Menurutnya lembaga yang seharusnya berhak mengawasi hasil asesmen tes TWK adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
tulis komentar anda