Dampak Buruk Pandemi, Ini Bahaya yang Mengancam Masa Depan Anak
Senin, 09 Agustus 2021 - 19:22 WIB
Demi melindungi mereka, lanjut Mufida, hal pertama tentu saja memastikan usaha semaksimal mungkin melindungi anak terpapar dari Covid-19. Tingginya angka Covid-19 harus jadi peringatan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memperkuat perlindungan bagi anak.
Selanjutnya, secara bertahap menyelesaikan permasalahan anak, khususnya terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak serta lingkungan pembentuk psikomotorik anak. Kebijakan dan program penanganan stunting harus jelas dan dipimpin langsung oleh instansi yang menangani (BKKBN).
“Jangan lagi ada dualisme kelembagaan dalam penanganan stunting. Demikian pula dengan persoalan gizi buruk dan kekurangan nutrisi pada anak. Pemantauan pertumbuhan balita dan ibu hamil juga harus kembali diperkuat. Perlu dicari terobosan layanan posyandu di masa pandemi agar pemantauan tumbuh kembang dan kualitas gizi balita tetap terpantau. Anak Indonesia harus dilindungi, untuk masa depan negeri,” ujar dia.
Yulina Eva Riani mengakui masalah gizi anak di masa pandemi dapat menambah pekerjaan rumah pemerintah dan keluarga. Di saat perekonomian belum pulih, maka golongan keluarga ekonomi bawah yang paling sulit memenuhi cakupan gizi. Jangankan memberi gizi atau nutrisi yang baik, untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari saja sangat kesulitan.
“Sangat membingungkan karena kondisi pandemi begini, untuk memikirkan terpenuhi pangan masyarakat saja sudah agak berat. Jadi, saya pikir memang pemulihan ekonomi adalah hal yang utama,” tutur Yulina Minggu (8/8).
Dia mengingatkan, jika tidak ada solusi terhadap persoalan tersebut, dampak buruk akan menimpa anak di masa datang. Tidak hanya berpengaruh kepada kualitas kesehatan seperti tubuh kerdil, dampak panjang adalah memengaruhi tumbuh kembang anak hingga dewasa seperti perkembangan otak. Bisa diprediksi, kata dia, anak-anak Indonesia tidak akan mampu untuk mencapai kapasitas optimalnya di masa yang akan datang. Dijelaskan, stunting sebenarnya tidak sesepele hanya kondisi tubuh yang kerdil, namun lebih dari itu, berpengaruh pada aspek lainnya, terutama perkembangan otak anak akan terganggu.
“Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa kemunduran pertumbuhan dan perkembangan tidak akan bisa terkejar meskipun ketika anak yang telah mengalami stunting diberikan treatment sekali pun. Jika demikian, bisa dibayangkan bagaimana kualitas perkembangan masa depan anak-anak yang mengalami stunting ini,” jelas dia.
Yulina menegaskan bahwa bukan cuma kualitas kesehatan saja yang terganggu. Seluruh aspek tumbuh kembang anak, termasuk kecerdasan dan juga kualitas pendidikannya. Lantaran itu, pencegahan stunting dan masalah gizi anak tentunya harus ditopang juga dengan pemulihan ekonomi.
Sebagai solusi, menurut dia pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait harus mengoptimalkan program pencegahan stunting dan masalah gizi anak di berbagai daerah, hingga ke pelosok, daerah tertinggal. Bisa melalui program bantuan sosial, Program Keluarga Harapan (PKH) maupun kegiatan sosial lainnya. Jika tidak dioptimalkan, bukan tidak mungkin masalah kekurangan gizi di masa pandemi ini bisa semakin meningkatkan jumlah anak yang terkena stunting atau masalah kesehatan lainnya.
Sementara itu, Dhian Probhoyekti, Direktur Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI mengakui masalah gizi masih menjadi permasalahan utama di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak.
Selanjutnya, secara bertahap menyelesaikan permasalahan anak, khususnya terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak serta lingkungan pembentuk psikomotorik anak. Kebijakan dan program penanganan stunting harus jelas dan dipimpin langsung oleh instansi yang menangani (BKKBN).
“Jangan lagi ada dualisme kelembagaan dalam penanganan stunting. Demikian pula dengan persoalan gizi buruk dan kekurangan nutrisi pada anak. Pemantauan pertumbuhan balita dan ibu hamil juga harus kembali diperkuat. Perlu dicari terobosan layanan posyandu di masa pandemi agar pemantauan tumbuh kembang dan kualitas gizi balita tetap terpantau. Anak Indonesia harus dilindungi, untuk masa depan negeri,” ujar dia.
Yulina Eva Riani mengakui masalah gizi anak di masa pandemi dapat menambah pekerjaan rumah pemerintah dan keluarga. Di saat perekonomian belum pulih, maka golongan keluarga ekonomi bawah yang paling sulit memenuhi cakupan gizi. Jangankan memberi gizi atau nutrisi yang baik, untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari saja sangat kesulitan.
“Sangat membingungkan karena kondisi pandemi begini, untuk memikirkan terpenuhi pangan masyarakat saja sudah agak berat. Jadi, saya pikir memang pemulihan ekonomi adalah hal yang utama,” tutur Yulina Minggu (8/8).
Dia mengingatkan, jika tidak ada solusi terhadap persoalan tersebut, dampak buruk akan menimpa anak di masa datang. Tidak hanya berpengaruh kepada kualitas kesehatan seperti tubuh kerdil, dampak panjang adalah memengaruhi tumbuh kembang anak hingga dewasa seperti perkembangan otak. Bisa diprediksi, kata dia, anak-anak Indonesia tidak akan mampu untuk mencapai kapasitas optimalnya di masa yang akan datang. Dijelaskan, stunting sebenarnya tidak sesepele hanya kondisi tubuh yang kerdil, namun lebih dari itu, berpengaruh pada aspek lainnya, terutama perkembangan otak anak akan terganggu.
“Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa kemunduran pertumbuhan dan perkembangan tidak akan bisa terkejar meskipun ketika anak yang telah mengalami stunting diberikan treatment sekali pun. Jika demikian, bisa dibayangkan bagaimana kualitas perkembangan masa depan anak-anak yang mengalami stunting ini,” jelas dia.
Yulina menegaskan bahwa bukan cuma kualitas kesehatan saja yang terganggu. Seluruh aspek tumbuh kembang anak, termasuk kecerdasan dan juga kualitas pendidikannya. Lantaran itu, pencegahan stunting dan masalah gizi anak tentunya harus ditopang juga dengan pemulihan ekonomi.
Sebagai solusi, menurut dia pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait harus mengoptimalkan program pencegahan stunting dan masalah gizi anak di berbagai daerah, hingga ke pelosok, daerah tertinggal. Bisa melalui program bantuan sosial, Program Keluarga Harapan (PKH) maupun kegiatan sosial lainnya. Jika tidak dioptimalkan, bukan tidak mungkin masalah kekurangan gizi di masa pandemi ini bisa semakin meningkatkan jumlah anak yang terkena stunting atau masalah kesehatan lainnya.
Sementara itu, Dhian Probhoyekti, Direktur Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI mengakui masalah gizi masih menjadi permasalahan utama di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak.
tulis komentar anda