Jokowi Diminta Tak Tandatangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme

Jum'at, 29 Mei 2020 - 07:29 WIB
Presiden Jokowi diminta tidak menandatangani rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta tidak menandatangani rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah diserahkan kepada DPR pada awal Mei 2020. Sebab, perpres tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di antaranya, dalam hal penyadapan hingga penangkapan.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut, ada beberapa alasan mengapa perpres tersebut tidak harus ditandatangani di antaranya, perpres tersebut akan menyeret presiden untuk bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukan oleh TNI dalam konteks terorisme. "Secara subtansi, perpres itu berbahaya karena potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” jelas Choirul, Jumat (29/5/2020). (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)

Menurut Choirul, perpres tersebut bertentangan dengan undang-undang (UU) pokoknya yakni, UU No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Teroris dan UU TNI itu sendiri. Dalam UU Terorisme, sambung Choirul, skemanya adalah penegakkan hukum atau criminal justice system. (Baca juga: Setara Institute Kritik Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Atasi Terorisme)

“Dalam perpres itu tidak ada dasar criminal justice system. Contoh paling simpel, kita melakukan penyadapan kepada teroris. Dalam UU No 5 Tahun 2018 harus seizin pengadilan. Begitu juga dengan penangkapan harus ada izin dan sesuai prinsip-prinsip asas manusia. Itu tidak diatur di perpres karena pendekatannya bukan criminal justice system. Menurut saya perpres Itu sebaiknya tidak disahkan oleh presiden,” tegasnya.



Sedangkan dalam UU TNI, kata dia, pengerahan TNI harus didasarkan atas politik negara. Artinya, presiden mengetahui dan disetujui oleh DPR. Sedangkan perpres tersebut tidak mengatur hal itu. Begitu juga dalam penggunaan anggaran. "Perpres itu menarik dan mengembalikan lagi fungsi TNI seperti zaman Orde Baru yang potensial melakukan pelanggaran HAM. Ini tidak sesuai amanat Reformasi. Jadi kenapa harus (ditolak) prepres itu karena melampaui batas,” paparnya.

Dalam perpres tersebut, diatur juga soal pendekatan teritorial, intelijen dan pendekatan operasi-operasi lainnya oleh TNI. Hal itu, kata Choirul, mengancam demokrasi, negara hukum dan potensial melakukan pelanggaran HAM. Atas dasar itu, Choirul menyarankan agar DPR menolak rancangan yang diajukan pemerintah dan meminta presiden tidak menandatangani perpres tersebut. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)

“DPR kan sebatas konsultasi, saya rekomendasi menolak saja karena tidak sesuai dengan UU Terorisme dan UU TNI. Ada baiknya jalan keluarnya membuka usulan ke presiden soal rancangan UU Perbantuan TNI. Itu jauh lebih penting karena itu bisa diatur. Sebab di perpres ini menjadikan TNI aktor utama bukan perbantuan,” Choirul.

Dikatakan aktor utama karena perpres tersebut memberikan kewenangan bagi TNI mulai dari pencegahan hingga pemulihan. Padahal skemanya, TNI adalah perbantuan. "Jadi peran TNI dalam penanganan terorisme sebatas pada penindakan saja. Kapan ancaman paling berat itu ada dan bagaimana TNI itu terlibat. Itu saja," ucapnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More