Menjaga Keseimbangan di Antara Hegemoni AS-China
Rabu, 04 Agustus 2021 - 05:55 WIB
“Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” katanya. Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir sebesar 1 juta triliun. Berdasarkan program BRI China dengan agresif menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI. Dikatakannya, Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka, Pakistan dan Kamboja.
Kini China mulai secara terbuka menyatakan bahwa dengan kekuatan ekonominya, ia akan berupaya mendapatkan status sebagai great power. China berhasil membuktikan bahwa pemerintahannya sangat stabil dengan jaringan diplomatik dan ekonomi globalnya yang menjelajah dunia.
Paradoks
Terdapat paradoks menarik dalam hubungan rivalitas antara AS dan China selama ini. Apabila dibandingkan dengan masa Perang Dingin, kontestasi politik dan ideologi antara AS dan Uni Soviet dahulu berlangsung secara transparan. Artinya masing-masing negara memang secara terbuka menyatakan terdapat “benturan kepentingan” satu sama lain.
Hal yang berbeda justru terjadi dengan China. AS selalu menempatkan China dalam posisi “mitra strategis” perdagangan dan kerja sama ekonomi internasional sekaligus juga di sisi yang lain dianggap menjadi “ancaman” dalam kepentingan keamanan. Paradoks ini bisa terlihat sejak kebijakan Asia Pivot pada masa pemerintahan Obama.Obama berulang kali menyatakan bahwa Asia Pivot akan merupakan strategi untuk menahan pengaruh China di kawasan. Di sisi lain, para pejabat China juga menyatakan berulang kali bahwa mereka tidak punya niat untuk menghalangi kepentingan AS di Asia (Bendini 2016).
Kedua negara bagaimanapun tentu memiliki starategi politik yang berbeda dan tampaknya cenderung “menyembunyikan”adanya kepentingan yang berbeda tersebut.
Beberapa contoh kebijakan AS lain juga mencerminkan paradoks ini. Pengerahan pasukan militer AS secara permanen di Australia serta upaya AS untuk mendiskusikan masalah Laut China Selatan dalam forum multilateral ASEAN Summit dianggap merupakan upaya untuk “membendung” China. Selain itu penguatan kapabilitas militer lima negara aliansi di kawasan Asia-Pasifik serta penyesuaian posisi pangkalan militer di sekitar wilayah China untuk menyangkal bahwa kebijakan ini tidak mengarah kepada upaya pembendungan kekuatan China.
Dengan kebangkitan China, hubungan Sino-AS telah menjadi semakin penting dan mungkin berbahaya bagi stabilitas keamanan kawasan. Kontestasi politik dan keamanan yang sudah usai dengan berakhirnya Perang Dingin, secara langsung belum mampu – secara lama – menjadikan AS sebagai negara adi daya yang selalu bisa mangatur dunia secara “tunggal”. Hadinya China memberikan alternatif dalam interaksi keamanan regional. Akibatnya pergeseran ini memicu perdebatan kontemporer bagaimana mengelola konflik dan hegemoni antar dua kekuatan tersebut (Al Syahrin, 2018).
Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University, Dr Jason Young mengatakan dalam webinar CSEAS, karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar. Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan.
"Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” kata Young.
Kini China mulai secara terbuka menyatakan bahwa dengan kekuatan ekonominya, ia akan berupaya mendapatkan status sebagai great power. China berhasil membuktikan bahwa pemerintahannya sangat stabil dengan jaringan diplomatik dan ekonomi globalnya yang menjelajah dunia.
Paradoks
Terdapat paradoks menarik dalam hubungan rivalitas antara AS dan China selama ini. Apabila dibandingkan dengan masa Perang Dingin, kontestasi politik dan ideologi antara AS dan Uni Soviet dahulu berlangsung secara transparan. Artinya masing-masing negara memang secara terbuka menyatakan terdapat “benturan kepentingan” satu sama lain.
Hal yang berbeda justru terjadi dengan China. AS selalu menempatkan China dalam posisi “mitra strategis” perdagangan dan kerja sama ekonomi internasional sekaligus juga di sisi yang lain dianggap menjadi “ancaman” dalam kepentingan keamanan. Paradoks ini bisa terlihat sejak kebijakan Asia Pivot pada masa pemerintahan Obama.Obama berulang kali menyatakan bahwa Asia Pivot akan merupakan strategi untuk menahan pengaruh China di kawasan. Di sisi lain, para pejabat China juga menyatakan berulang kali bahwa mereka tidak punya niat untuk menghalangi kepentingan AS di Asia (Bendini 2016).
Kedua negara bagaimanapun tentu memiliki starategi politik yang berbeda dan tampaknya cenderung “menyembunyikan”adanya kepentingan yang berbeda tersebut.
Beberapa contoh kebijakan AS lain juga mencerminkan paradoks ini. Pengerahan pasukan militer AS secara permanen di Australia serta upaya AS untuk mendiskusikan masalah Laut China Selatan dalam forum multilateral ASEAN Summit dianggap merupakan upaya untuk “membendung” China. Selain itu penguatan kapabilitas militer lima negara aliansi di kawasan Asia-Pasifik serta penyesuaian posisi pangkalan militer di sekitar wilayah China untuk menyangkal bahwa kebijakan ini tidak mengarah kepada upaya pembendungan kekuatan China.
Dengan kebangkitan China, hubungan Sino-AS telah menjadi semakin penting dan mungkin berbahaya bagi stabilitas keamanan kawasan. Kontestasi politik dan keamanan yang sudah usai dengan berakhirnya Perang Dingin, secara langsung belum mampu – secara lama – menjadikan AS sebagai negara adi daya yang selalu bisa mangatur dunia secara “tunggal”. Hadinya China memberikan alternatif dalam interaksi keamanan regional. Akibatnya pergeseran ini memicu perdebatan kontemporer bagaimana mengelola konflik dan hegemoni antar dua kekuatan tersebut (Al Syahrin, 2018).
Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University, Dr Jason Young mengatakan dalam webinar CSEAS, karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar. Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan.
"Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” kata Young.
tulis komentar anda