RUU EBT Dikhawatirkan Tidak Dorong Kemandirian Energi Nasional

Senin, 02 Agustus 2021 - 19:08 WIB
Ketiga, klausul itu mirip ketentuan Take of Pay (ToP) yang kini diberlakukan untuk IPP swasta. Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung.

Di RUU EBT, kewajiban membeli listrik dari IPP EBT tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak. Padahal, sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30%.

Keempat, RUU EBT tidak menunjukkan keberpihakan jelas pada pelaku EBT skala kecil dan menengah yang lazimnya berasal dari dalam negeri. RUU itu malah condong mendorong impor.

Di luar negeri, memang ada aturan feed-in tariff. Akan tetapi, aturan itu diiringi dengan dorongan membangun industri nasional pada sektor EBT. Di RUU EBT, alih-alih mendorong industri nasional, malah condong memfasilitasi asing.

“Penetapan tarif saja dalam dollar, bukan rupiah,” kata Mukhtasor.

Perintis Pembangkit Berbasis Komunitas, Tri Mumpuni menyebutkan potensi Indonesia (untuk membuat panel surya) amat besar. Indonesia dinilai begitu tergantung pada impor solar panel. Sementara di negara lain, upaya pengembangan panel surya terus didukung. “Kita hanya berpikir beli, impor,” kata dia.

Dia juga mengatakan kedaulatan energi hanya bisa dicapai jika semua potensi lokal dimanfaatkan. Pembangkit mikro yang dikelola komunitas hingga ke pembangkit besar harus dimanfaatkan. Pembangkit mikro bisa dibuat dan digunakan oleh komunitas.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(kri)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More