Wakil Ketua MPR: UU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Jadi Perjuangan Bersama

Rabu, 28 Juli 2021 - 18:54 WIB
"KUPI meyakini anggota DPR, dengan kearifan dan kenegarawanannya mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural)," ujar Nur Rofiah.

Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia/Pemerhati Isu Gender, Endah Triastuti mengungkapkan dalam proses mewujudkan UU PKS diwarnai gerakan penolakan yang masif.

Gerakan penolakan RUU PKS itu, jelas Endah, ditopang adanya framing sejumlah media digital dan gerakan sejumlah institusi yang gencar menyuarakan penolakan RUU PKS. Media digital, menurut Endah, dengan segala proses sosial yang mengikutinya membentuk persepsi banyak orang. Sehingga gerakan-gerakan tersebut, jelasnya, menjadi kontraproduktif terhadap berbagai upaya dalam pengesahan RUU PKS hingga saat ini. Aktivis dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Sekar, Jepara, Khomsanah menceritakan pengalamannya dalam mendampingi korban kekerasan seksual di daerahnya.

Menurut Khomsanah, karena keterbatasan jangkauan hukum dari undang-undang yang ada saat ini, aparat di lapangan hanya menangani kasus kekerasan seksual sekadar memenuhi legal formal saja, tanpa mampu menuntaskan kasus tersebut. Kondisi tersebut, jelas Khomsanah, menuntut segera pengesahan UU PKS agar para korban kekerasan seksual mendapatkan hak perlindungan dari tindak kekerasan dan rasa aman sebagai warga negara.

Hakim Pengadilan Tinggi Bali, Ihat Subihat menilai makna frase kekerasan adalah dilakukan sepihak dengan pemaksaan, jadi upaya kriminalisasi terhadap rumusan delik yang diurai dalam definisi RUU tentang kekerasan seksual memudahkan hakim dalam merumuskan fakta persidangan. Karena seringkali terjadi, jelas Ihat, kasus kekerasan seksual bila dianggap tidak dilakukan dengan kekerasan, tidak bisa dijatuhi pidana dan bukan perbuatan melawan hukum.

Menurut Ihat, pada kondisi saat ini sejumlah fakta persidangan perlu diidentifikasi dengan benar seperti antara lain ketidaksetaraan status sosial para pihak yang berperkara, adanya diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban, dan relasi kuasa yang menyebabkan korban/saksi tidak berdaya.
(cip)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More