Wakil Ketua MPR Ajak Satukan Persepsi untuk Sukseskan RUU PKS
Rabu, 21 Juli 2021 - 21:18 WIB
Menurut Taufik Basari, dalam empat kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panja RUU PKS dengan berbagai stakeholders, problem terbesar yang muncul adalah kekeliruan paradigma berpikir serta kesalahpahaman dalam melihat RUU tersebut.
"Kita harus membersihkan diri dari kubang kesalahpahaman itu agar RUU ini tidak menjadi korban dari pertarungan berbagai pemikiran dan tuduhan tak berdasar. Semua pihak hendaknya beradu argumentasi berlandaskan fakta, data, dan pengalaman empirik selama ini, jangan bersandar pada interpretasi dan tuduhan abstrak yang mengawang-awang," tegasnya.
Pembicara lainnya, Yuniyanti Chuzaifah, menyoroti tentang pentingnya aturan perundangan yang melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak-anak. "Anak laki-laki atau perempuan rentan terhadap kekerasan seksual, apalagi di era disrupsi teknologi digital dewasa ini, kekerasan seksual tidak hanya bisa terjadi secara konvensional tetapi juga bisa secara daring dalam bermacam bentuk," katanya.
Berdasarkan data KPAI, kata dia, kasus kekerasan seksual secara daring pertama kali dilaporkan ke KPAI pada 1986. Empat belas tahun kemudian, yakni pada 2000, sudah ratusan laporan tentang kekerasan seksual secara daring yang masuk ke KPAI, belum termasuk laporan ke kepolisian.
"Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual itu bukan ruang hampa, tapi sungguh nyata terjadi di depan mata kita. Temuan Komnas Perempuan, ada rongga hukum dalam kasus kekerasan seksual, di mana korban berjatuhan tapi tidak ada pelaku karena ketiadaan hukum. Jadi, sungguh aneh bila ada pihak yang menganggap RUU PKS tidak urgen," tukasnya.
Anggia Emarini menambahkan, jika berkaca pada realitas selama ini, RUU PKS sangat urgen untuk menjadi payung hukum guna melindungi kaum rentan, karena tren kasusnya terus meningkat dari waktu ke waktu. "Kita sejak awal mendukung RUU itu, dan selama ini Fatayat NU melalui jaringannya, baik dalam negeri maupun luar negeri selalu memberikan pendampingan terhadap para korban kekerasan seksual," katanya.
Pandangan serupa disampaikan oleh Khotimun Susanti. Menurutnya, melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, termasuk kekerasan seksual merupakan perintah agama. Korban kekerasan seksual adalah orang tertindas yang harus dilindungi, bukan dengan kata-kata atau perhatian saja, tetapi dengan perlindungan secara hukum. "Itu esensi perlindungan di sebuah negara hukum seperti Indonesia," paparnya.
Sementara itu, Saur Hutabarat, saat menyampaikan kata penutup dalam diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri itu, antara lain mengingatkan bahwa parlemen merupakan forum konsensus, bukan forum untuk memperlebar perbedaan pandapat tanpa solusi. "Parlemen itu forum untuk menyatukan beragam aspirasi publik," tegasnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, salah satu langkah konkret yang harus ditempuh untuk memperlancar pembahasan RUU PKS adalah segera memindahkan pembahasan RUU tersebut dari instrumen panja ke instrumen pansus. "Ini penting karena hasil kajian menunjukkan bahwa RUU yang dibahas panja lebih banyak gagal ketimbang yang dibahas oleh pansus," katanya.
tulis komentar anda