PDIP Minta PP Nomor 23 Tahun 2021 Dievaluasi Demi Kelestarian Hutan

Kamis, 15 Juli 2021 - 14:06 WIB
“Pada PP Nomor 23 Tahun 2021 ada pengecualian yang terdapat pada pasal 92: Larangan tambang terbuka di hutan lindung dikecualikan bagi kegiatan pertambangan yang dalam dokumen lingkungannya telah dikaji bahwa akan berdampak pada penurunan permukaan tanah, perubahan fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, atau gangguan akuifer air tanah yang dilengkapi dengan upaya yang akan dilakukan untuk meminimalisir dampak dimaksud. Dan pada Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pada Kawasan Hutan Lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka,” jelasnya.

Menurut Guru Besar Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB ini, terdapat kelemahan teks maupun konteks pelaksanaan PP Nomor 23 Tahun 2021. Ditambah dengan buruknya tatakelola dan lemahnya kelembagaan dalam pelaksanaannya dapat membelokkan arah tujuan dari UU No.11 Tahun 2020 (Omnibus Law) Tentang Cipta Kerja itu sendiri.

Lebih lanjut dikatakan Hariadi, lahan pengganti berperan mengganti fungsi lingkungan hidup yang hilang. Fungsi lingkungan hidup dalam ekosistem semestinya tidak dapat diganti dengan uang, dalam hal ini dengan PNBP. Hukum alam adalah hukum besi. “Selain harus dilakukan perbaikan, pelaksanaan regulasi ini perlu disertai keterbukaan informasi bagi publik. Publik, misalnya, perlu tahu apakah kuota penggunaan kawasan hutan telah dicapai atau belum. Selain itu, tinjauan CRA menunjukkan bahwa pelaksanaan regulasi ini berpotensi menjadi penyebab korupsi dan konflik kepentingan. Ini harus benar-benar diawasi oleh publik,” tegas Hariadi.

Sedangkan, Raynaldo G. Sembiring menilai implikasi perubahan kompensasi dalam PP Nomor 23 Tahun 2021 dan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021 akan berdampak pada deforestasi. Ia menegaskan, hal tersebut terjadi karena tidak ada kriteria yang jelas atau batasan yang ketat untuk frasa "Melampaui kecukupan luas kawasan hutan dan tutupan hutan”.

“PNBP Kompensasi hanya dimaknai sebagai setoran ke kas negara. Sebaiknya ada mekanisme earmarking untuk memastikan bahwa dana ini dapat dialokasikan kepada restorasi ekosistem termasuk tindakan konservasi. Konsekuensinya, perlu ada perubahan mendasar atau penyusunan regulasi tambahan yang mengatur secara ketat kepentingan ekologis dan penyelenggaraan kehutanan,” ujar Reynaldo.

Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin menjelaskan bahwa perbandingan Kewajiban Lahan Kompensasi terhadap PNBP Kompensasi, di antaranya, IPPKH dengan Lahan Kompensasi, ada penambahan kawasan hutan dan penutupan hutan, meningkatkan ekonomi dan pendapatan masyarakat dari pembelian lahan dan kegiatan penanaman hutan. “Negara tidak mengeluarkan biaya rehabilitasi hutan karena lahan diserahkan dalam bentuk hutan. negara mendapatkan nilai tambah dan manfaat lingkungan,” kata politisi PDIP tersebut.

Di lain hal, tambahnya, perubahan aturan penggunaan kawasan hutan dari kewajiban lahan kompensasi menjadi PNBP mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat. “Penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari. Jika hutan terus berkurang, banteng akan kehilangan habitatnya. Jadi, hutan harus tetap lestari dengan regulasi yang benar,” kata Sudin.

Selanjutnya, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga selaku penanggap dari para narasumber mengatakan, pengelolaan hutan harus sebisa mungkin mempertimbangkan kelestarian hutan dan aspek penegakan HAM. “Sejarah kelam kehutanan Indonesia dimulai dengan penetapan “Kawasan hutan” secara sepihak pada 1970-an sampai dengan 1980-an dengan menegasikan keberadaan hak-hak individu dan komunal masyarakat yang diakui oleh UUPA karya besar Presiden Soekarno, yang kemudian dengan penegasian keberadaan hak-hak individu dan komunal masyarakat tersebut berimbas pada hampir 70% wilayah Indonesia dinyatakan sebagai kawasan hutan dan dikelola sebagai “hutan negara” tanpa proses tata batas yang semestinya,” ungkapnya.

Di lain hal, masih sangat tingginya pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan seperti hak hidup, hak atas lingkungan hidup yang baik dan bersih, hak atas rasa aman, hak atas kekayaan, hak atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pangan, dan lain-lain. “Minimnya pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat mereka, paska Putusan MK No. 35/PUU-X-2012: upaya percepatan oleh Menteri LHK tetapi terkendala persyaratan administratif dan belum tersedianya mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif,” tandas Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI tersebut.

Sandrayati juga mendorong agar, saatnya Pimpinan Pusat dan Daerah seluruh jajaran kader dan pengurus PDIP bersama-sama pemerintah dan masyarakat, khususnya para korban, untuk melihat kembali pengelolaan sumber daya alam secara menyeluruh secara ekonomis, ekologis dan sosial, tidak cukup hanya berkutat pada PP Nomor 23 Tahun 2021 ini saja. “Kita juga perlu mendorong agar dilaksanakannya Ketetapan MPR No. IX/2001 dengan menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini,” tutupnya
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More