Pemberhentian Pegawai KPK lewat TWK Disebut Gejala Regresi Demokrasi
Senin, 21 Juni 2021 - 05:30 WIB
JAKARTA - Public Virtue Research Institute (PVRI) menyesalkan belum dibatalkannya keputusan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang memberhentikan 51 pegawainya karena tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)
PVRI pun mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemberhentian tersebut. PVRI juga mendesak Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar membuka dokumen TWK yang dijadikan dalih menyingkirkan 51 pegawai KPK .
“Pemberhentian pegawai KPK merupakan gejala regresi demokrasi yang menumpulkan institusi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibatnya, kekuasaan pusat maupundaerah semakin sulit dikontrol. Kami mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan keputusan tersebut," ujar Deputi Direktur PVRI, Anita Wahid dalam keterangannya, Minggu (20/6/2021).
"Kami juga mendesak BKN agar membuka dokumen TWK. Presiden harus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak pegawai KPK dalam proses TWK," tambahnya.
Anita merujuk kajian akademisi dari University of Sydney Thomas Power yang mengemukakan bahwa pelemahan KPK tak hanya dilakukan lewat metode kekerasan saja.
Cara lainnya meliputi penempatan elite politik di luar jangkauan KPK, delegitimasi diskursif berupa labelisasi “taliban” terhadap penyidik-penyidiknya, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, dan pelemahan struktural serta agensial.
Di saat bersamaan, peneliti PVRI Naufal Rofi menyesalkan sikap diam kepolisian terhadap serangan-serangan teror terhadap pegawai KPK dan aktivis anti korupsi.
“PVRI mencatat, sejak 2015 sampai 2019, terdapat delapan kasus kekerasan dan ancaman yang dialami pegawai KPK,mulai dari ancaman pembunuhan, penangkapan, pencurian peralatan penyidik, ancaman bom, serangan fisik, sampai percobaan penculikan. Baru-baru ini, ancaman terjadi melalui peretasan hingga doxing,” kata Naufal.
Yang terbaru, 51 pegawai KPK diberhentikan akibat tak lolos Tes Wawasan Kebangasaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tiga lembagainternasional seperti Transparency International, Greenpeace, dan Amnesty International menyurati Presiden karena menilai pemberhentian ini tidak memiliki dasar hukum, menyalahi asas-asas good governance, dan merupakan diskriminasi sistematis, dan melanggar hak-hak asasi khususnya hak parapekerja.
PVRI pun mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemberhentian tersebut. PVRI juga mendesak Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar membuka dokumen TWK yang dijadikan dalih menyingkirkan 51 pegawai KPK .
“Pemberhentian pegawai KPK merupakan gejala regresi demokrasi yang menumpulkan institusi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibatnya, kekuasaan pusat maupundaerah semakin sulit dikontrol. Kami mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan keputusan tersebut," ujar Deputi Direktur PVRI, Anita Wahid dalam keterangannya, Minggu (20/6/2021).
"Kami juga mendesak BKN agar membuka dokumen TWK. Presiden harus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak pegawai KPK dalam proses TWK," tambahnya.
Anita merujuk kajian akademisi dari University of Sydney Thomas Power yang mengemukakan bahwa pelemahan KPK tak hanya dilakukan lewat metode kekerasan saja.
Cara lainnya meliputi penempatan elite politik di luar jangkauan KPK, delegitimasi diskursif berupa labelisasi “taliban” terhadap penyidik-penyidiknya, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, dan pelemahan struktural serta agensial.
Di saat bersamaan, peneliti PVRI Naufal Rofi menyesalkan sikap diam kepolisian terhadap serangan-serangan teror terhadap pegawai KPK dan aktivis anti korupsi.
“PVRI mencatat, sejak 2015 sampai 2019, terdapat delapan kasus kekerasan dan ancaman yang dialami pegawai KPK,mulai dari ancaman pembunuhan, penangkapan, pencurian peralatan penyidik, ancaman bom, serangan fisik, sampai percobaan penculikan. Baru-baru ini, ancaman terjadi melalui peretasan hingga doxing,” kata Naufal.
Yang terbaru, 51 pegawai KPK diberhentikan akibat tak lolos Tes Wawasan Kebangasaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tiga lembagainternasional seperti Transparency International, Greenpeace, dan Amnesty International menyurati Presiden karena menilai pemberhentian ini tidak memiliki dasar hukum, menyalahi asas-asas good governance, dan merupakan diskriminasi sistematis, dan melanggar hak-hak asasi khususnya hak parapekerja.
(muh)
tulis komentar anda