Soal Belanja Senjata, Ahli Pertahanan Heran Alpalhankam Rp1.760 T Jadi Polemik
Selasa, 08 Juni 2021 - 12:17 WIB
"(KPM) itu suatu konsep rencana strategis (renstra) yang dibagi tiga, yang berakhir tahun 2024. Ada KPM I, II, dan III. Saat ini, kita berada di KPM III. KPM III harus diselesaikan oleh Pak Prabowo," katanya.
Menurut dia, pengadaan alpalhankam senilai Rp1,7 kuadriliun itu bukan nilai fantastis. Angka tersebut dalam perhitungannya hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar persenjataan TNI yang sudah lama tertinggal.
"Rp1,7 kuadriliun itu bukan apa-apa. Kita butuh yang lebih besar, tapi realistis. Namun, ekonomi saat ini kan tidak mampu. Mumpung analisanya mengatakan kita belum ada perang, ya enggak apa-apa lah segitu dulu," tandasnya.
Dia juga menepis dugaan monopoli oleh PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang sebelumnya disebut pengamat militer Connie Bakrie. Menurut dia, swasta sekarang telah diperbolehkan ikut memeriahkan industri pertahanan di Indonesia seiring berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bahkan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Namun, hal tersebut belum dapat direalisasikan karena aturan turunan regulasi sapu jagat (omnibus law) ini belum terbit sampai sekarang. "Pemerintah tidak bisa jelaskan ini karena aturan turunannya (UU Ciptaker) belum ada dan Ranperpresnya masih rancangan. Apa yang perlu dilaporkan?" katanya.
Dia menilai mustahil PT TMI mampu memonopoli pengadaan tersebut sekalipun aturan turunan UU Ciptaker telah terbit. Sebab, memakai rumus bisnis yang lazim, butuh penyertaan modal besar sekitar Rp600 triliun atau 30% dari total nilai pengadaan Rp1,7 kuadriliun. "Itu terlalu besar. Enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," ujarnya.
Karena itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, diyakini bakal mempertimbangkan perusahaan negara dan swasta serta diatur secara saksama.
Menurut dia, pengadaan alpalhankam senilai Rp1,7 kuadriliun itu bukan nilai fantastis. Angka tersebut dalam perhitungannya hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar persenjataan TNI yang sudah lama tertinggal.
"Rp1,7 kuadriliun itu bukan apa-apa. Kita butuh yang lebih besar, tapi realistis. Namun, ekonomi saat ini kan tidak mampu. Mumpung analisanya mengatakan kita belum ada perang, ya enggak apa-apa lah segitu dulu," tandasnya.
Dia juga menepis dugaan monopoli oleh PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang sebelumnya disebut pengamat militer Connie Bakrie. Menurut dia, swasta sekarang telah diperbolehkan ikut memeriahkan industri pertahanan di Indonesia seiring berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bahkan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Namun, hal tersebut belum dapat direalisasikan karena aturan turunan regulasi sapu jagat (omnibus law) ini belum terbit sampai sekarang. "Pemerintah tidak bisa jelaskan ini karena aturan turunannya (UU Ciptaker) belum ada dan Ranperpresnya masih rancangan. Apa yang perlu dilaporkan?" katanya.
Dia menilai mustahil PT TMI mampu memonopoli pengadaan tersebut sekalipun aturan turunan UU Ciptaker telah terbit. Sebab, memakai rumus bisnis yang lazim, butuh penyertaan modal besar sekitar Rp600 triliun atau 30% dari total nilai pengadaan Rp1,7 kuadriliun. "Itu terlalu besar. Enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," ujarnya.
Karena itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, diyakini bakal mempertimbangkan perusahaan negara dan swasta serta diatur secara saksama.
(dam)
tulis komentar anda