Soal Belanja Senjata, Ahli Pertahanan Heran Alpalhankam Rp1.760 T Jadi Polemik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ahli pertahanan, Andi Widjajanto heran rencana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tengah digodok oleh Kementerian Pertahanan menjadi polemik.
Andi bisa memaklumi jika pemerintah belum terbuka secara gamblang tentang rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) sebesar Rp1.760 triliun karena masih berupa rancangan.
“Sebagian besar dokumen adalah dokumen rahasia. Jadi, ketika saya coba cari tahu Rp1,7 kuadriliun itu hitungnya bagaimana, saya tidak gunakan data Kementerian Pertahanan,” ujar Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Selasa (8/6/2021).
“Saya tidak mau masuk dan cari itu, tapi saya cari data publik, misalnya data dari military balance, SIPRI (Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm - red), Janes,” lanjut analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) ini.
Dia menepis tudingan yang menyebutkan pemerintah tertutup dalam penyusunan aturan tersebut. Andi pun menyesalkan adanya yang membuka dokumen itu ke publik.
"Kalau Ranperpres itu bocor, kita berurusan dengan data sensitif. Kita harus bersama-sama jaga agar data itu tidak keluar ke publik dan dimanfaatkan oleh lawan kita," tuturnya.
Menurut dia, munculnya angka Rp1,7 kuadriliun dalam draf itu sudah melalui prosedur yang ditetapkan, seperti dalam UU Pertahanan, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan. Terlebih, sambung dia, proses kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista di Indonesia telah diatur secara sistematis dan sejak 2006.
Dia menjelaskan, pada 2005-2006 telah terbit dokumen perencanaan Alutsista jangka panjang yang disebut Kekuatan Pokok Minimum atau KPM (Minimum Essential Force/MEF). Hal tersebut memang disusun untuk memenuhi kebutuhan hingga 2024.
"(KPM) itu suatu konsep rencana strategis (renstra) yang dibagi tiga, yang berakhir tahun 2024. Ada KPM I, II, dan III. Saat ini, kita berada di KPM III. KPM III harus diselesaikan oleh Pak Prabowo," katanya.
Menurut dia, pengadaan alpalhankam senilai Rp1,7 kuadriliun itu bukan nilai fantastis. Angka tersebut dalam perhitungannya hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar persenjataan TNI yang sudah lama tertinggal.
"Rp1,7 kuadriliun itu bukan apa-apa. Kita butuh yang lebih besar, tapi realistis. Namun, ekonomi saat ini kan tidak mampu. Mumpung analisanya mengatakan kita belum ada perang, ya enggak apa-apa lah segitu dulu," tandasnya.
Dia juga menepis dugaan monopoli oleh PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang sebelumnya disebut pengamat militer Connie Bakrie. Menurut dia, swasta sekarang telah diperbolehkan ikut memeriahkan industri pertahanan di Indonesia seiring berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bahkan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Namun, hal tersebut belum dapat direalisasikan karena aturan turunan regulasi sapu jagat (omnibus law) ini belum terbit sampai sekarang. "Pemerintah tidak bisa jelaskan ini karena aturan turunannya (UU Ciptaker) belum ada dan Ranperpresnya masih rancangan. Apa yang perlu dilaporkan?" katanya.
Dia menilai mustahil PT TMI mampu memonopoli pengadaan tersebut sekalipun aturan turunan UU Ciptaker telah terbit. Sebab, memakai rumus bisnis yang lazim, butuh penyertaan modal besar sekitar Rp600 triliun atau 30% dari total nilai pengadaan Rp1,7 kuadriliun. "Itu terlalu besar. Enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," ujarnya.
Karena itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, diyakini bakal mempertimbangkan perusahaan negara dan swasta serta diatur secara saksama.
Andi bisa memaklumi jika pemerintah belum terbuka secara gamblang tentang rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) sebesar Rp1.760 triliun karena masih berupa rancangan.
“Sebagian besar dokumen adalah dokumen rahasia. Jadi, ketika saya coba cari tahu Rp1,7 kuadriliun itu hitungnya bagaimana, saya tidak gunakan data Kementerian Pertahanan,” ujar Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Selasa (8/6/2021).
“Saya tidak mau masuk dan cari itu, tapi saya cari data publik, misalnya data dari military balance, SIPRI (Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm - red), Janes,” lanjut analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) ini.
Dia menepis tudingan yang menyebutkan pemerintah tertutup dalam penyusunan aturan tersebut. Andi pun menyesalkan adanya yang membuka dokumen itu ke publik.
"Kalau Ranperpres itu bocor, kita berurusan dengan data sensitif. Kita harus bersama-sama jaga agar data itu tidak keluar ke publik dan dimanfaatkan oleh lawan kita," tuturnya.
Menurut dia, munculnya angka Rp1,7 kuadriliun dalam draf itu sudah melalui prosedur yang ditetapkan, seperti dalam UU Pertahanan, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan. Terlebih, sambung dia, proses kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista di Indonesia telah diatur secara sistematis dan sejak 2006.
Dia menjelaskan, pada 2005-2006 telah terbit dokumen perencanaan Alutsista jangka panjang yang disebut Kekuatan Pokok Minimum atau KPM (Minimum Essential Force/MEF). Hal tersebut memang disusun untuk memenuhi kebutuhan hingga 2024.
"(KPM) itu suatu konsep rencana strategis (renstra) yang dibagi tiga, yang berakhir tahun 2024. Ada KPM I, II, dan III. Saat ini, kita berada di KPM III. KPM III harus diselesaikan oleh Pak Prabowo," katanya.
Menurut dia, pengadaan alpalhankam senilai Rp1,7 kuadriliun itu bukan nilai fantastis. Angka tersebut dalam perhitungannya hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar persenjataan TNI yang sudah lama tertinggal.
"Rp1,7 kuadriliun itu bukan apa-apa. Kita butuh yang lebih besar, tapi realistis. Namun, ekonomi saat ini kan tidak mampu. Mumpung analisanya mengatakan kita belum ada perang, ya enggak apa-apa lah segitu dulu," tandasnya.
Dia juga menepis dugaan monopoli oleh PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang sebelumnya disebut pengamat militer Connie Bakrie. Menurut dia, swasta sekarang telah diperbolehkan ikut memeriahkan industri pertahanan di Indonesia seiring berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bahkan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Namun, hal tersebut belum dapat direalisasikan karena aturan turunan regulasi sapu jagat (omnibus law) ini belum terbit sampai sekarang. "Pemerintah tidak bisa jelaskan ini karena aturan turunannya (UU Ciptaker) belum ada dan Ranperpresnya masih rancangan. Apa yang perlu dilaporkan?" katanya.
Dia menilai mustahil PT TMI mampu memonopoli pengadaan tersebut sekalipun aturan turunan UU Ciptaker telah terbit. Sebab, memakai rumus bisnis yang lazim, butuh penyertaan modal besar sekitar Rp600 triliun atau 30% dari total nilai pengadaan Rp1,7 kuadriliun. "Itu terlalu besar. Enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," ujarnya.
Karena itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, diyakini bakal mempertimbangkan perusahaan negara dan swasta serta diatur secara saksama.
(dam)