Kubu Moeldoko Tuding Sejarah Keterpurukan Demokrat Ketika Dipimpin SBY dan AHY
Kamis, 20 Mei 2021 - 08:02 WIB
Kedua, lanjut dia, periode kepemimpinan SBY dan dilanjutkan AHY nampaknya mulai mempraktikkan pungutan ke DPC, DPD dan kader-kader di DPRD dan di pemerintahan. "Setiap bulan, mereka harus setor dalam jumlah besar ke pusat, padahal mereka juga harus membiayai operasional partai di daerah dan dapil. Jika dihitung-hitung, perkiraan jumlah pungutan itu sampai sekarang lebih Rp200 miliar yang dinikmati DPP. Hitung-hitung membesarkan partai di grassroot, ternyata yang makin gendut adalah DPP-nya, bukan grassrootnya," paparnya.
Ketiga, katanya, hilangnya sistem demokrasi dalam pengelolaan partai. AHY dan kelompoknya hanya main pecat tanpa prosedur. "'Dikit dikit Plt' padahal, yang dipecat, yang di PLT adalah kader-kader utama yang membesarkan partai di grassroot. Partai kemudian dikelola oleh orang orang yang tidak mengakar, yang tidak memiliki basis massa," jelas dia.
Keempat, sambung dia, miskinnya dukungan logistik ke partai di daerah. Dia menyebutkan setelah DPP kenyang menikmati pungutan, lalu partai di daerah dibiarkan hidup sendiri. Bahkan jika AHY dan elite partai ke daerah maka daerah harus pula melayani dan menyiapkan akomodasi AHY dan kelompoknya.
Menurut Rahmad, di saat perolehan suara partai terendah sepanjang sejarah Demokrat dan di saat pengelolaan partai di internal terburuk sepanjang sejarah, sulit diterima akal sehat jika Demokrat saat ini paling solid di bawah AHY dan kelompoknya.
"Inilah akumulasi krisis internal yang kemudian melahirkan Kongres Luar Biasa yang dijamin undang-undang keberadaannya. KLB adalah mewakili jeritan hati ribuan kader se-Indonesia melawan Tirani AHY dan gerombolannya. Bagaimana bisa dikatakan AHY pro rakyat, pro demokrasi jika garis dasar bergeraknya yakni AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 itu bertentangan dengan demokrasi dan bertentangan dengan semangat Reformasi 1998," kata Rahmad.
"Lalu, siapa yang frustasi? Siapa yang putus asa? Siapa yang takut kekuasaannya berakhir? Yang takut itu, tak lain adalah AHY dan gerombolannya yang selama ini hidup dan menikmati keringat dari kader kader di daerah," sambung dia.
Ketiga, katanya, hilangnya sistem demokrasi dalam pengelolaan partai. AHY dan kelompoknya hanya main pecat tanpa prosedur. "'Dikit dikit Plt' padahal, yang dipecat, yang di PLT adalah kader-kader utama yang membesarkan partai di grassroot. Partai kemudian dikelola oleh orang orang yang tidak mengakar, yang tidak memiliki basis massa," jelas dia.
Keempat, sambung dia, miskinnya dukungan logistik ke partai di daerah. Dia menyebutkan setelah DPP kenyang menikmati pungutan, lalu partai di daerah dibiarkan hidup sendiri. Bahkan jika AHY dan elite partai ke daerah maka daerah harus pula melayani dan menyiapkan akomodasi AHY dan kelompoknya.
Menurut Rahmad, di saat perolehan suara partai terendah sepanjang sejarah Demokrat dan di saat pengelolaan partai di internal terburuk sepanjang sejarah, sulit diterima akal sehat jika Demokrat saat ini paling solid di bawah AHY dan kelompoknya.
"Inilah akumulasi krisis internal yang kemudian melahirkan Kongres Luar Biasa yang dijamin undang-undang keberadaannya. KLB adalah mewakili jeritan hati ribuan kader se-Indonesia melawan Tirani AHY dan gerombolannya. Bagaimana bisa dikatakan AHY pro rakyat, pro demokrasi jika garis dasar bergeraknya yakni AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 itu bertentangan dengan demokrasi dan bertentangan dengan semangat Reformasi 1998," kata Rahmad.
"Lalu, siapa yang frustasi? Siapa yang putus asa? Siapa yang takut kekuasaannya berakhir? Yang takut itu, tak lain adalah AHY dan gerombolannya yang selama ini hidup dan menikmati keringat dari kader kader di daerah," sambung dia.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda