Kubu Moeldoko Tuding Sejarah Keterpurukan Demokrat Ketika Dipimpin SBY dan AHY
loading...
A
A
A
JAKARTA - Juru Bicara Partai Demokrat hasil KLB pimpinan Moeldok o, Muhammad Rahmad menanggapi pernyataan Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) , Kamhar Lakumani yang menyebut Demokrat KLB Deli Serdang menempuh jalan sesat politk.
Rahmad menganggap yang menempuh jalan sesat adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY dan para pendukungnya karena telah membawa Partai Demokrat yang awalnya sangat demokratis, merakyat dan milik rakyat, kini berubah menjadi partai tirani keluargais, otoriter, sewenang-wenang dan pura pura merakyat.
"Inti dari kesuksesan sebuah partai politik adalah menang pemilu dan jumlah perolehan kursinya di DPR RI meningkat. Maka Pemilu 2019 adalah titik nadir terendah bagi Partai Demokrat. Partai Demokrat paling terpuruk sepanjang sejarah, ketika dipimpin SBY dan AHY," ujarnya, Kamis (20/5/2021).
Dia menuturkan Partai Demokrat berdiri tahun 2001 dan pada 2004 ikut Pemilu pertama kali dan memperoleh 57 kursi di DPR RI. Saat itu, Ketua umumnya adalah Prof Subur Budhisantoso. Berikutnya pada 2019, Demokrat mengikuti pemilu ke empat kalinya dan perolehanan kursi di DPR RI hanya 54 kursi. Artinya, lebih rendah dari perolehan kursi saat Demokrat pertama kali ikut Pemilu.
"Padahal, pengelola Partai pada Pemilu 2019 adalah SBY sebagai Ketua Umum dan AHY sebagai Ketua Kogasma (Komando Satuan Tugas Bersama) dan Ibas sebagai Ketua Pemenangan Pemilu," ungkap dia.
Bahkan menurut Rahmad, perolehan kursi Demokrat pada Pemilu 2019 lebih rendah lagi dari Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014, Demokrat masih dapat 61 kursi di DPR, lantaran waktu itu Ketua Umumnya adalah Anas Urbaningrum yang dikudeta oleh SBY.
"Logika sehat politik siapapun akan berkata bahwa semestinya titik nadir itu terjadi pada Pemilu 2014 dan rebound atau naik pada Pemilu 2019 ketika SBY dan anak-anaknya full team mengelola Demokrat. Ternyata faktanya terbalik. Justru ketika ditangani keluargais Cikeas, perolehan suara Demokrat terendah sepanjang sejarah," tandasnya.
Lebih lanjut Rahmad mengatakan, jika dievaluasi kenapa terendah sepanjang sejarah? Dia menengarai ternyata banyak ditemukan faktor internal yang membuat Demokrat makin lemah, bukan makin kuat. Dia mengungkapkan yang membuat Demokrat makin lemah ketika dikelola SBY dan AHY itu antara lain, pertama pengelolaan Demokrat mulai otoriter dan mengkhianati semangat Reformasi 1998.
"Demokrat tidak lagi demokratis. AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 mencerminkan anti demokrasi dan sudah terjerumus kedalam pengelolaan partai tirani," beber dia.
Kedua, lanjut dia, periode kepemimpinan SBY dan dilanjutkan AHY nampaknya mulai mempraktikkan pungutan ke DPC, DPD dan kader-kader di DPRD dan di pemerintahan. "Setiap bulan, mereka harus setor dalam jumlah besar ke pusat, padahal mereka juga harus membiayai operasional partai di daerah dan dapil. Jika dihitung-hitung, perkiraan jumlah pungutan itu sampai sekarang lebih Rp200 miliar yang dinikmati DPP. Hitung-hitung membesarkan partai di grassroot, ternyata yang makin gendut adalah DPP-nya, bukan grassrootnya," paparnya.
Ketiga, katanya, hilangnya sistem demokrasi dalam pengelolaan partai. AHY dan kelompoknya hanya main pecat tanpa prosedur. "'Dikit dikit Plt' padahal, yang dipecat, yang di PLT adalah kader-kader utama yang membesarkan partai di grassroot. Partai kemudian dikelola oleh orang orang yang tidak mengakar, yang tidak memiliki basis massa," jelas dia.
Keempat, sambung dia, miskinnya dukungan logistik ke partai di daerah. Dia menyebutkan setelah DPP kenyang menikmati pungutan, lalu partai di daerah dibiarkan hidup sendiri. Bahkan jika AHY dan elite partai ke daerah maka daerah harus pula melayani dan menyiapkan akomodasi AHY dan kelompoknya.
Menurut Rahmad, di saat perolehan suara partai terendah sepanjang sejarah Demokrat dan di saat pengelolaan partai di internal terburuk sepanjang sejarah, sulit diterima akal sehat jika Demokrat saat ini paling solid di bawah AHY dan kelompoknya.
"Inilah akumulasi krisis internal yang kemudian melahirkan Kongres Luar Biasa yang dijamin undang-undang keberadaannya. KLB adalah mewakili jeritan hati ribuan kader se-Indonesia melawan Tirani AHY dan gerombolannya. Bagaimana bisa dikatakan AHY pro rakyat, pro demokrasi jika garis dasar bergeraknya yakni AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 itu bertentangan dengan demokrasi dan bertentangan dengan semangat Reformasi 1998," kata Rahmad.
"Lalu, siapa yang frustasi? Siapa yang putus asa? Siapa yang takut kekuasaannya berakhir? Yang takut itu, tak lain adalah AHY dan gerombolannya yang selama ini hidup dan menikmati keringat dari kader kader di daerah," sambung dia.
Rahmad menganggap yang menempuh jalan sesat adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY dan para pendukungnya karena telah membawa Partai Demokrat yang awalnya sangat demokratis, merakyat dan milik rakyat, kini berubah menjadi partai tirani keluargais, otoriter, sewenang-wenang dan pura pura merakyat.
"Inti dari kesuksesan sebuah partai politik adalah menang pemilu dan jumlah perolehan kursinya di DPR RI meningkat. Maka Pemilu 2019 adalah titik nadir terendah bagi Partai Demokrat. Partai Demokrat paling terpuruk sepanjang sejarah, ketika dipimpin SBY dan AHY," ujarnya, Kamis (20/5/2021).
Dia menuturkan Partai Demokrat berdiri tahun 2001 dan pada 2004 ikut Pemilu pertama kali dan memperoleh 57 kursi di DPR RI. Saat itu, Ketua umumnya adalah Prof Subur Budhisantoso. Berikutnya pada 2019, Demokrat mengikuti pemilu ke empat kalinya dan perolehanan kursi di DPR RI hanya 54 kursi. Artinya, lebih rendah dari perolehan kursi saat Demokrat pertama kali ikut Pemilu.
"Padahal, pengelola Partai pada Pemilu 2019 adalah SBY sebagai Ketua Umum dan AHY sebagai Ketua Kogasma (Komando Satuan Tugas Bersama) dan Ibas sebagai Ketua Pemenangan Pemilu," ungkap dia.
Bahkan menurut Rahmad, perolehan kursi Demokrat pada Pemilu 2019 lebih rendah lagi dari Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014, Demokrat masih dapat 61 kursi di DPR, lantaran waktu itu Ketua Umumnya adalah Anas Urbaningrum yang dikudeta oleh SBY.
"Logika sehat politik siapapun akan berkata bahwa semestinya titik nadir itu terjadi pada Pemilu 2014 dan rebound atau naik pada Pemilu 2019 ketika SBY dan anak-anaknya full team mengelola Demokrat. Ternyata faktanya terbalik. Justru ketika ditangani keluargais Cikeas, perolehan suara Demokrat terendah sepanjang sejarah," tandasnya.
Lebih lanjut Rahmad mengatakan, jika dievaluasi kenapa terendah sepanjang sejarah? Dia menengarai ternyata banyak ditemukan faktor internal yang membuat Demokrat makin lemah, bukan makin kuat. Dia mengungkapkan yang membuat Demokrat makin lemah ketika dikelola SBY dan AHY itu antara lain, pertama pengelolaan Demokrat mulai otoriter dan mengkhianati semangat Reformasi 1998.
"Demokrat tidak lagi demokratis. AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 mencerminkan anti demokrasi dan sudah terjerumus kedalam pengelolaan partai tirani," beber dia.
Kedua, lanjut dia, periode kepemimpinan SBY dan dilanjutkan AHY nampaknya mulai mempraktikkan pungutan ke DPC, DPD dan kader-kader di DPRD dan di pemerintahan. "Setiap bulan, mereka harus setor dalam jumlah besar ke pusat, padahal mereka juga harus membiayai operasional partai di daerah dan dapil. Jika dihitung-hitung, perkiraan jumlah pungutan itu sampai sekarang lebih Rp200 miliar yang dinikmati DPP. Hitung-hitung membesarkan partai di grassroot, ternyata yang makin gendut adalah DPP-nya, bukan grassrootnya," paparnya.
Ketiga, katanya, hilangnya sistem demokrasi dalam pengelolaan partai. AHY dan kelompoknya hanya main pecat tanpa prosedur. "'Dikit dikit Plt' padahal, yang dipecat, yang di PLT adalah kader-kader utama yang membesarkan partai di grassroot. Partai kemudian dikelola oleh orang orang yang tidak mengakar, yang tidak memiliki basis massa," jelas dia.
Keempat, sambung dia, miskinnya dukungan logistik ke partai di daerah. Dia menyebutkan setelah DPP kenyang menikmati pungutan, lalu partai di daerah dibiarkan hidup sendiri. Bahkan jika AHY dan elite partai ke daerah maka daerah harus pula melayani dan menyiapkan akomodasi AHY dan kelompoknya.
Menurut Rahmad, di saat perolehan suara partai terendah sepanjang sejarah Demokrat dan di saat pengelolaan partai di internal terburuk sepanjang sejarah, sulit diterima akal sehat jika Demokrat saat ini paling solid di bawah AHY dan kelompoknya.
"Inilah akumulasi krisis internal yang kemudian melahirkan Kongres Luar Biasa yang dijamin undang-undang keberadaannya. KLB adalah mewakili jeritan hati ribuan kader se-Indonesia melawan Tirani AHY dan gerombolannya. Bagaimana bisa dikatakan AHY pro rakyat, pro demokrasi jika garis dasar bergeraknya yakni AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 itu bertentangan dengan demokrasi dan bertentangan dengan semangat Reformasi 1998," kata Rahmad.
"Lalu, siapa yang frustasi? Siapa yang putus asa? Siapa yang takut kekuasaannya berakhir? Yang takut itu, tak lain adalah AHY dan gerombolannya yang selama ini hidup dan menikmati keringat dari kader kader di daerah," sambung dia.
(kri)