Tumbuhnya Kesadaran terhadap Ruang Pertahanan Kita
Selasa, 18 Mei 2021 - 05:05 WIB
Pada masanya kapal selam buatan Howaldtswerke Jerman ini memang menarik minat banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan jejak ketertarikan Indonesia terhadap produsen kapal selam, khususnya yang berasal dari Jerman, sudah terlihat ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda.
Jaap Anten dalam “Navalisme nekt onderzeeboot: de invloed van internationale zeestrategieën op de Nederlandse zeestrategie voor de defensie van Nederlands-Indië, 1912-1942” menjelaskan bahwa Belanda yang saat itu sebagai negeri induk koloni Hindia Belanda merencanakan untuk memperkuat Hindia Belanda di bidang pertahanan maritim dengan merencanakan pengadaan 16 unit kapal selam yang diimpor dari Jerman melalui perusahaan Friedrich Krupp Germaniawerft pada permulaan tahun 1920.
Rancangan mengenai kebutuhan dan desain kapal selam tersebut tertuang dalam draf Vlootwet-Commisie tahun 1923. Sebagai persiapan, setahun sebelumnya, tepatnya pada Juli 1922, Krupp Germaniawerft mendirikan perusahaan gabungan di Belanda untuk memuluskan rencana pengadaan kapal selam Hindia Belanda tersebut. Dari sini Belanda juga memanfaatkan transfer pengetahuan dalam pembuatan kapal selam sendiri dengan melibatkan empat insinyur dari Jerman di galangan kapal Wilton-Fijenoord.
Puluhan tahun kemudian Indonesia baru memiliki kapal selam dari Jerman pada 1981. Adalah suatu kebetulan jika KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402 dibuat oleh Howaldtswerke di galangan kapal yang dulunya milik Friedrich Krupp Germaniawerft.
Tantangan Pengadaan-Modernisasi
Sebagai alutsista yang penting dalam bidang pertahanan, keberadaan kapal selam mutlak diperlukan negara maritim sebesar Indonesia. Keriuhan di bawah laut atas temuan Seagllider awal tahun lalu dan perlintasan kapal selam Prancis di perairan kita seharusnya disikapi dengan dukungan pengadaan dan modernisasi alutsista, khususnya kapal selam dan kendaraan nirawak bawah laut. Jika kita cermati, saat ini negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara sedang memperlihatkan gairahnya dalam memperkuat pertahanan bawah laut.
Thailand misalnya mulai memperkuat alutsista matra laut dengan memesan empat unit kapal selam dari China. Kemudian Singapura yang sudah memiliki empat unit kapal selam yang salah satunya merupakan kapal selam RSS Invincible buatan Jerman kini tengah melakukan penambahan 3 unit kapal selam RSS Invincible secara bertahap yang direncanakan rampung 2024. Jika selesai dalam waktu yang ditentukan, Singapura akan menjadi negara Asia Tenggara dengan jumlah kapal selam terbanyak sekaligus terkuat. Adapun Vietnam masih tidak berubah dengan kepemilikan 6 unit kapal selam buatan Rusia dan Malaysia dengan dua unit kapal selam kelas scorpene buatan Prancis.
Sementara Indonesia kini memiliki 4 unit kapal selam terdiri atas satu unit kelas cakra, yakni KRI Cakra-401, dan tiga unit kelas nagapasa, yaitu KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405. Jumlah tersebut tentu jauh dari kata cukup untuk menjaga luas perairan Indonesia. Pemerintah menyadari hal itu. Karenanya di sela konferensi pers pencarian KRI Nanggala-402, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan akan menambah tiga kapal selam baru.
Tapi upaya modernisasi alutsista menghadapi tiga tantangan serius, yaitu pertama, kondisi anggaran untuk dukungan pengadan yang masih minim di mana alokasi untuk matra laut sebesar Rp8,03 triliun atau 6% dari total anggaran Kementerian Pertahanan, itu pun meliputi biaya perawatan serta pemeliharaan yang mencapai Rp4,281 triliun. Kedua, birokrasi yang panjang dalam proses pengadaan alutsista dianggap memperlambat program modernisasi. Padahal Indonesia juga dikejar waktu untuk menyelesaikan program modernisasi bidang pertahanan dalam kerangka minimum essential force (MEF) pada tahun 2024.
Ketiga, semua kementerian dan lembaga masih harus menyesuaikan dengan program prioritas penanganan Covid-19. Hal itu juga sebagaimana yang terlihat dalam Kebijakan Pokok Pertahanan Negara 2021 yang di antaranya melanjutkan penanganan Covid-19. Karenanya bukan pekerjaan yang mudah melakukan modernisasi alutsista di tengah refocusing anggaran akibat Covid-19.
Jaap Anten dalam “Navalisme nekt onderzeeboot: de invloed van internationale zeestrategieën op de Nederlandse zeestrategie voor de defensie van Nederlands-Indië, 1912-1942” menjelaskan bahwa Belanda yang saat itu sebagai negeri induk koloni Hindia Belanda merencanakan untuk memperkuat Hindia Belanda di bidang pertahanan maritim dengan merencanakan pengadaan 16 unit kapal selam yang diimpor dari Jerman melalui perusahaan Friedrich Krupp Germaniawerft pada permulaan tahun 1920.
Rancangan mengenai kebutuhan dan desain kapal selam tersebut tertuang dalam draf Vlootwet-Commisie tahun 1923. Sebagai persiapan, setahun sebelumnya, tepatnya pada Juli 1922, Krupp Germaniawerft mendirikan perusahaan gabungan di Belanda untuk memuluskan rencana pengadaan kapal selam Hindia Belanda tersebut. Dari sini Belanda juga memanfaatkan transfer pengetahuan dalam pembuatan kapal selam sendiri dengan melibatkan empat insinyur dari Jerman di galangan kapal Wilton-Fijenoord.
Puluhan tahun kemudian Indonesia baru memiliki kapal selam dari Jerman pada 1981. Adalah suatu kebetulan jika KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402 dibuat oleh Howaldtswerke di galangan kapal yang dulunya milik Friedrich Krupp Germaniawerft.
Tantangan Pengadaan-Modernisasi
Sebagai alutsista yang penting dalam bidang pertahanan, keberadaan kapal selam mutlak diperlukan negara maritim sebesar Indonesia. Keriuhan di bawah laut atas temuan Seagllider awal tahun lalu dan perlintasan kapal selam Prancis di perairan kita seharusnya disikapi dengan dukungan pengadaan dan modernisasi alutsista, khususnya kapal selam dan kendaraan nirawak bawah laut. Jika kita cermati, saat ini negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara sedang memperlihatkan gairahnya dalam memperkuat pertahanan bawah laut.
Thailand misalnya mulai memperkuat alutsista matra laut dengan memesan empat unit kapal selam dari China. Kemudian Singapura yang sudah memiliki empat unit kapal selam yang salah satunya merupakan kapal selam RSS Invincible buatan Jerman kini tengah melakukan penambahan 3 unit kapal selam RSS Invincible secara bertahap yang direncanakan rampung 2024. Jika selesai dalam waktu yang ditentukan, Singapura akan menjadi negara Asia Tenggara dengan jumlah kapal selam terbanyak sekaligus terkuat. Adapun Vietnam masih tidak berubah dengan kepemilikan 6 unit kapal selam buatan Rusia dan Malaysia dengan dua unit kapal selam kelas scorpene buatan Prancis.
Sementara Indonesia kini memiliki 4 unit kapal selam terdiri atas satu unit kelas cakra, yakni KRI Cakra-401, dan tiga unit kelas nagapasa, yaitu KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405. Jumlah tersebut tentu jauh dari kata cukup untuk menjaga luas perairan Indonesia. Pemerintah menyadari hal itu. Karenanya di sela konferensi pers pencarian KRI Nanggala-402, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan akan menambah tiga kapal selam baru.
Tapi upaya modernisasi alutsista menghadapi tiga tantangan serius, yaitu pertama, kondisi anggaran untuk dukungan pengadan yang masih minim di mana alokasi untuk matra laut sebesar Rp8,03 triliun atau 6% dari total anggaran Kementerian Pertahanan, itu pun meliputi biaya perawatan serta pemeliharaan yang mencapai Rp4,281 triliun. Kedua, birokrasi yang panjang dalam proses pengadaan alutsista dianggap memperlambat program modernisasi. Padahal Indonesia juga dikejar waktu untuk menyelesaikan program modernisasi bidang pertahanan dalam kerangka minimum essential force (MEF) pada tahun 2024.
Ketiga, semua kementerian dan lembaga masih harus menyesuaikan dengan program prioritas penanganan Covid-19. Hal itu juga sebagaimana yang terlihat dalam Kebijakan Pokok Pertahanan Negara 2021 yang di antaranya melanjutkan penanganan Covid-19. Karenanya bukan pekerjaan yang mudah melakukan modernisasi alutsista di tengah refocusing anggaran akibat Covid-19.
Lihat Juga :
tulis komentar anda