Tumbuhnya Kesadaran terhadap Ruang Pertahanan Kita
loading...
A
A
A
Hasan Sadeli
Pemerhati Sejarah Maritim dan Kajian Pertahanan
KEJADIAN memilukan yang menimpa kapal selam Nanggala-402 di perairan utara Bali beberapa waktu lalu memantik perasaan duka bagi bangsa Indonesia. Kejadian ini juga membuka sejumlah fakta mengenai usia KRI Nanggala-402 dan minimnya anggaran untuk dukungan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Tak pelak kondisi ini membuat publik bersimpati dan tergerak untuk ambil bagian dalam gerakan donasi untuk membeli kapal selam baru pengganti KRI Nanggala-402.
Mereka mengajak rakyat Indonesia untuk nyicil kepedulian dan kesadaran terhadap realitas bahwa adakalanya urusan pertahanan tidak selalu bersifat eksklusif dan rakyat tidak dilarang untuk ikut ambil bagian meskipun dengan menempuh prosedur ketat.
Perhatian Publik
Pada kenyataannya tidak sedikit yang memandang skeptis gerakan iuran untuk kapal selam tersebut karena dianggap potensial ditunggangi untuk tujuan popularitas atau hal-hal lain semacamnya. Tapi penting kiranya bagi kita semua untuk mengambil jarak dari persangkaan dan mengarahkan penglihatan pada ruang kosong tentang pertahanan dan keamanan yang selama ini jarang didekati oleh masyarakat kita.
Sebab peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 dapat dikatakan sebagai magnet yang menarik kesadaran publik untuk lebih peduli dan perhatian terhadap hal-hal menyangkut urusan pertahanan negara. Sebelumnya masyarakat tampak tidak begitu akrab dengan tugas dan fungsi yang dimiliki kapal selam, bahkan mungkin dengan semua jenis alutsista matra laut lainnya. Rakyat juga mungkin tidak mengetahui bahwa kapal perang itu memiliki keragaman berdasarkan jenis dan fungsinya.
Ringkasnya hal-hal berkenaan dengan aspek pertahanan dan alutsista sedemikian berjarak dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita sampai ketika tenggelamnya KRI Nanggala-402 secara perlahan membuka mata publik akan pentingnya memiliki alutsista dalam bidang-bidang pertahanan. Kejadian ini juga menunjukkan kepada masyarakat bahwa pertahanan negara merupakan suatu tugas yang berat dan kompleks.
Tenggelamnya KRI Nanggala-402 juga menyadarkan kita semua bahwa KRI Nanggala-402 bersama dengan KRI Cakra-401 adalah kapal selam yang tidak lagi muda. Sebab keduanya sudah menjaga perairan Indonesia selama empat dekade (1981–2021). Dua “kakak-beradik” ini merupakan kapal selam kelas cakra tipe 209/1300 yang sebenarnya memiliki ketangguhan dan unggul dalam tugas operasi senyap (stealth), di antaranya ketika jelang jajak pendapat di Timor Leste.
Pada masanya kapal selam buatan Howaldtswerke Jerman ini memang menarik minat banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan jejak ketertarikan Indonesia terhadap produsen kapal selam, khususnya yang berasal dari Jerman, sudah terlihat ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda.
Jaap Anten dalam “Navalisme nekt onderzeeboot: de invloed van internationale zeestrategieën op de Nederlandse zeestrategie voor de defensie van Nederlands-Indië, 1912-1942” menjelaskan bahwa Belanda yang saat itu sebagai negeri induk koloni Hindia Belanda merencanakan untuk memperkuat Hindia Belanda di bidang pertahanan maritim dengan merencanakan pengadaan 16 unit kapal selam yang diimpor dari Jerman melalui perusahaan Friedrich Krupp Germaniawerft pada permulaan tahun 1920.
Rancangan mengenai kebutuhan dan desain kapal selam tersebut tertuang dalam draf Vlootwet-Commisie tahun 1923. Sebagai persiapan, setahun sebelumnya, tepatnya pada Juli 1922, Krupp Germaniawerft mendirikan perusahaan gabungan di Belanda untuk memuluskan rencana pengadaan kapal selam Hindia Belanda tersebut. Dari sini Belanda juga memanfaatkan transfer pengetahuan dalam pembuatan kapal selam sendiri dengan melibatkan empat insinyur dari Jerman di galangan kapal Wilton-Fijenoord.
Puluhan tahun kemudian Indonesia baru memiliki kapal selam dari Jerman pada 1981. Adalah suatu kebetulan jika KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402 dibuat oleh Howaldtswerke di galangan kapal yang dulunya milik Friedrich Krupp Germaniawerft.
Tantangan Pengadaan-Modernisasi
Sebagai alutsista yang penting dalam bidang pertahanan, keberadaan kapal selam mutlak diperlukan negara maritim sebesar Indonesia. Keriuhan di bawah laut atas temuan Seagllider awal tahun lalu dan perlintasan kapal selam Prancis di perairan kita seharusnya disikapi dengan dukungan pengadaan dan modernisasi alutsista, khususnya kapal selam dan kendaraan nirawak bawah laut. Jika kita cermati, saat ini negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara sedang memperlihatkan gairahnya dalam memperkuat pertahanan bawah laut.
Thailand misalnya mulai memperkuat alutsista matra laut dengan memesan empat unit kapal selam dari China. Kemudian Singapura yang sudah memiliki empat unit kapal selam yang salah satunya merupakan kapal selam RSS Invincible buatan Jerman kini tengah melakukan penambahan 3 unit kapal selam RSS Invincible secara bertahap yang direncanakan rampung 2024. Jika selesai dalam waktu yang ditentukan, Singapura akan menjadi negara Asia Tenggara dengan jumlah kapal selam terbanyak sekaligus terkuat. Adapun Vietnam masih tidak berubah dengan kepemilikan 6 unit kapal selam buatan Rusia dan Malaysia dengan dua unit kapal selam kelas scorpene buatan Prancis.
Sementara Indonesia kini memiliki 4 unit kapal selam terdiri atas satu unit kelas cakra, yakni KRI Cakra-401, dan tiga unit kelas nagapasa, yaitu KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405. Jumlah tersebut tentu jauh dari kata cukup untuk menjaga luas perairan Indonesia. Pemerintah menyadari hal itu. Karenanya di sela konferensi pers pencarian KRI Nanggala-402, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan akan menambah tiga kapal selam baru.
Tapi upaya modernisasi alutsista menghadapi tiga tantangan serius, yaitu pertama, kondisi anggaran untuk dukungan pengadan yang masih minim di mana alokasi untuk matra laut sebesar Rp8,03 triliun atau 6% dari total anggaran Kementerian Pertahanan, itu pun meliputi biaya perawatan serta pemeliharaan yang mencapai Rp4,281 triliun. Kedua, birokrasi yang panjang dalam proses pengadaan alutsista dianggap memperlambat program modernisasi. Padahal Indonesia juga dikejar waktu untuk menyelesaikan program modernisasi bidang pertahanan dalam kerangka minimum essential force (MEF) pada tahun 2024.
Ketiga, semua kementerian dan lembaga masih harus menyesuaikan dengan program prioritas penanganan Covid-19. Hal itu juga sebagaimana yang terlihat dalam Kebijakan Pokok Pertahanan Negara 2021 yang di antaranya melanjutkan penanganan Covid-19. Karenanya bukan pekerjaan yang mudah melakukan modernisasi alutsista di tengah refocusing anggaran akibat Covid-19.
Sejumlah tantangan tersebut mungkin pada kenyataannya jauh lebih banyak dan kompleks, karenanya diperlukan solusi alternatif untuk mengatasi persoalan ini. Terakhir, berkaitan dengan gerakan iuran membeli kapal selam, hendaknya itu tidak dianggap sebagai satire atau anggapan tidak perlu lainnya. Pandanglah gerakan tersebut sebagai upaya nyicil kepedulian dan peningkatan kesadaran rakyat Indonesia atas lingkungan geografis dan kondisi pertahanannya.
Rasanya baru kemarin kita merayakan peresmian KRI Alugoro-405 sebagai kapal selam asli karya anak bangsa, kini kita kehilangan salah satu harta terbesar kita, yaitu KRI Nanggala-402. Indonesia juga kehilangan 53 pahlawan yang menjaga perairan kita. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menempatkan 53 kru yang gugur dalam tugas di tempat terbaik di sisi-Nya.
Pemerhati Sejarah Maritim dan Kajian Pertahanan
KEJADIAN memilukan yang menimpa kapal selam Nanggala-402 di perairan utara Bali beberapa waktu lalu memantik perasaan duka bagi bangsa Indonesia. Kejadian ini juga membuka sejumlah fakta mengenai usia KRI Nanggala-402 dan minimnya anggaran untuk dukungan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Tak pelak kondisi ini membuat publik bersimpati dan tergerak untuk ambil bagian dalam gerakan donasi untuk membeli kapal selam baru pengganti KRI Nanggala-402.
Mereka mengajak rakyat Indonesia untuk nyicil kepedulian dan kesadaran terhadap realitas bahwa adakalanya urusan pertahanan tidak selalu bersifat eksklusif dan rakyat tidak dilarang untuk ikut ambil bagian meskipun dengan menempuh prosedur ketat.
Perhatian Publik
Pada kenyataannya tidak sedikit yang memandang skeptis gerakan iuran untuk kapal selam tersebut karena dianggap potensial ditunggangi untuk tujuan popularitas atau hal-hal lain semacamnya. Tapi penting kiranya bagi kita semua untuk mengambil jarak dari persangkaan dan mengarahkan penglihatan pada ruang kosong tentang pertahanan dan keamanan yang selama ini jarang didekati oleh masyarakat kita.
Sebab peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 dapat dikatakan sebagai magnet yang menarik kesadaran publik untuk lebih peduli dan perhatian terhadap hal-hal menyangkut urusan pertahanan negara. Sebelumnya masyarakat tampak tidak begitu akrab dengan tugas dan fungsi yang dimiliki kapal selam, bahkan mungkin dengan semua jenis alutsista matra laut lainnya. Rakyat juga mungkin tidak mengetahui bahwa kapal perang itu memiliki keragaman berdasarkan jenis dan fungsinya.
Ringkasnya hal-hal berkenaan dengan aspek pertahanan dan alutsista sedemikian berjarak dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita sampai ketika tenggelamnya KRI Nanggala-402 secara perlahan membuka mata publik akan pentingnya memiliki alutsista dalam bidang-bidang pertahanan. Kejadian ini juga menunjukkan kepada masyarakat bahwa pertahanan negara merupakan suatu tugas yang berat dan kompleks.
Tenggelamnya KRI Nanggala-402 juga menyadarkan kita semua bahwa KRI Nanggala-402 bersama dengan KRI Cakra-401 adalah kapal selam yang tidak lagi muda. Sebab keduanya sudah menjaga perairan Indonesia selama empat dekade (1981–2021). Dua “kakak-beradik” ini merupakan kapal selam kelas cakra tipe 209/1300 yang sebenarnya memiliki ketangguhan dan unggul dalam tugas operasi senyap (stealth), di antaranya ketika jelang jajak pendapat di Timor Leste.
Pada masanya kapal selam buatan Howaldtswerke Jerman ini memang menarik minat banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan jejak ketertarikan Indonesia terhadap produsen kapal selam, khususnya yang berasal dari Jerman, sudah terlihat ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda.
Jaap Anten dalam “Navalisme nekt onderzeeboot: de invloed van internationale zeestrategieën op de Nederlandse zeestrategie voor de defensie van Nederlands-Indië, 1912-1942” menjelaskan bahwa Belanda yang saat itu sebagai negeri induk koloni Hindia Belanda merencanakan untuk memperkuat Hindia Belanda di bidang pertahanan maritim dengan merencanakan pengadaan 16 unit kapal selam yang diimpor dari Jerman melalui perusahaan Friedrich Krupp Germaniawerft pada permulaan tahun 1920.
Rancangan mengenai kebutuhan dan desain kapal selam tersebut tertuang dalam draf Vlootwet-Commisie tahun 1923. Sebagai persiapan, setahun sebelumnya, tepatnya pada Juli 1922, Krupp Germaniawerft mendirikan perusahaan gabungan di Belanda untuk memuluskan rencana pengadaan kapal selam Hindia Belanda tersebut. Dari sini Belanda juga memanfaatkan transfer pengetahuan dalam pembuatan kapal selam sendiri dengan melibatkan empat insinyur dari Jerman di galangan kapal Wilton-Fijenoord.
Puluhan tahun kemudian Indonesia baru memiliki kapal selam dari Jerman pada 1981. Adalah suatu kebetulan jika KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402 dibuat oleh Howaldtswerke di galangan kapal yang dulunya milik Friedrich Krupp Germaniawerft.
Tantangan Pengadaan-Modernisasi
Sebagai alutsista yang penting dalam bidang pertahanan, keberadaan kapal selam mutlak diperlukan negara maritim sebesar Indonesia. Keriuhan di bawah laut atas temuan Seagllider awal tahun lalu dan perlintasan kapal selam Prancis di perairan kita seharusnya disikapi dengan dukungan pengadaan dan modernisasi alutsista, khususnya kapal selam dan kendaraan nirawak bawah laut. Jika kita cermati, saat ini negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara sedang memperlihatkan gairahnya dalam memperkuat pertahanan bawah laut.
Thailand misalnya mulai memperkuat alutsista matra laut dengan memesan empat unit kapal selam dari China. Kemudian Singapura yang sudah memiliki empat unit kapal selam yang salah satunya merupakan kapal selam RSS Invincible buatan Jerman kini tengah melakukan penambahan 3 unit kapal selam RSS Invincible secara bertahap yang direncanakan rampung 2024. Jika selesai dalam waktu yang ditentukan, Singapura akan menjadi negara Asia Tenggara dengan jumlah kapal selam terbanyak sekaligus terkuat. Adapun Vietnam masih tidak berubah dengan kepemilikan 6 unit kapal selam buatan Rusia dan Malaysia dengan dua unit kapal selam kelas scorpene buatan Prancis.
Sementara Indonesia kini memiliki 4 unit kapal selam terdiri atas satu unit kelas cakra, yakni KRI Cakra-401, dan tiga unit kelas nagapasa, yaitu KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405. Jumlah tersebut tentu jauh dari kata cukup untuk menjaga luas perairan Indonesia. Pemerintah menyadari hal itu. Karenanya di sela konferensi pers pencarian KRI Nanggala-402, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan akan menambah tiga kapal selam baru.
Tapi upaya modernisasi alutsista menghadapi tiga tantangan serius, yaitu pertama, kondisi anggaran untuk dukungan pengadan yang masih minim di mana alokasi untuk matra laut sebesar Rp8,03 triliun atau 6% dari total anggaran Kementerian Pertahanan, itu pun meliputi biaya perawatan serta pemeliharaan yang mencapai Rp4,281 triliun. Kedua, birokrasi yang panjang dalam proses pengadaan alutsista dianggap memperlambat program modernisasi. Padahal Indonesia juga dikejar waktu untuk menyelesaikan program modernisasi bidang pertahanan dalam kerangka minimum essential force (MEF) pada tahun 2024.
Ketiga, semua kementerian dan lembaga masih harus menyesuaikan dengan program prioritas penanganan Covid-19. Hal itu juga sebagaimana yang terlihat dalam Kebijakan Pokok Pertahanan Negara 2021 yang di antaranya melanjutkan penanganan Covid-19. Karenanya bukan pekerjaan yang mudah melakukan modernisasi alutsista di tengah refocusing anggaran akibat Covid-19.
Sejumlah tantangan tersebut mungkin pada kenyataannya jauh lebih banyak dan kompleks, karenanya diperlukan solusi alternatif untuk mengatasi persoalan ini. Terakhir, berkaitan dengan gerakan iuran membeli kapal selam, hendaknya itu tidak dianggap sebagai satire atau anggapan tidak perlu lainnya. Pandanglah gerakan tersebut sebagai upaya nyicil kepedulian dan peningkatan kesadaran rakyat Indonesia atas lingkungan geografis dan kondisi pertahanannya.
Rasanya baru kemarin kita merayakan peresmian KRI Alugoro-405 sebagai kapal selam asli karya anak bangsa, kini kita kehilangan salah satu harta terbesar kita, yaitu KRI Nanggala-402. Indonesia juga kehilangan 53 pahlawan yang menjaga perairan kita. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menempatkan 53 kru yang gugur dalam tugas di tempat terbaik di sisi-Nya.
(bmm)