KKB: Separatis atau Teroris?
Senin, 10 Mei 2021 - 10:21 WIB
Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Internasional Unpad Bandung
PERTANYAAN ini muncul di kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehubungan adanya label teroris yang dinyatakan oleh pemerintah secara lisan. Dua kosa kata tersebut memiliki pengertian berbeda dengan dampak hukum berbeda pula.
Di dalam hukum internasional, separatisme diartikan gerakan memisahkan diri suatu masyarakat di dalam suatu negara dengan alasan ketidakadilan sosial yan terjadi terhadap masyarakat setempat. Separatisme atau gerakan separatis ini dikaitkan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self- determination/TRSd) ketika pasca Perang Dunia I, di mana banyak negara jajahan yang belum merdeka akan tetapi dalam Piagam PBB masih dicantumkan (Pasal 1 (2) dan Pasal 55) dan dalam ICCPR.
Pencantuman TRSd dalam pasal-pasal tersebut dihubungkan dengan hukum untuk menciptakan keadaan yang lebih tertib dan makmur, konsep yang relevan pada masa kolonialisme dan sudah tidak relevan lagi untuk abad ini. Tidak tepat dan menyesatkan jika KKB Papua dilabel sebagai separatisme karena sama dengan "menghidupkan zombie". Lagipula sama dengan membenarkan kedua alasan separatisme dan seolah-olah pemerintahan NKRI kolonial.
Baca juga: Konflik dengan Kelompok Teroris KKB Ciptakan Stagnasi di Papua
Label separatisme untuk KKB dalam hukum internasional, termasuk konflik bersenjata non-internasional, diatur dan dilindungi Protokol Tambahan Bagian Kedua Konvensi Djenewa 1949 yang tidak pernah diratifikasi pemerintah sampai dengan saat ini. Terorisme, baik dari aspek hukum nasional dan hukum internasional telah sejalan dengan prinsip state-sovereignty yang diakui secara universal. Daya jangkauan hukum pemberlakuan UU No 5 thn 2018 Pemberantasan Terorisme lebih luas dan jangka lama daripada label separatisme karena secara universal telah diakui (recognized) sebagai kejahatan transnasional, bahkan dalam praktik telah diterapkan prinsip yurisdiksi universal.
Penerapan UU No 5 Tahun 2018 harus dilakukan dengan hati-hati sekali pun per definisi sangat luas: terorisme adalah setiap perbuatan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vigal yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. UU ini sekaligus juga melindungi korban yang merupakan tanggung jawab negara dalam bentuk bantuan medis, rehabilitasi psiko-sosial dan psikologis, santunan keluarga.
UU 5 Tahun 2018 sekali pun menggunakan strategi represif akan tetapi digunakan juga strategi post- factum syndrome, sehingga menguatkan dan mememastikan bahwa UU ini bertujuan memanusiakan manusia melalui strategi deradikalisasi.
Baca juga: KKB Ditetapkan Teroris, Pemerintah Diminta Lakukan Pemetaan
Guru Besar Hukum Internasional Unpad Bandung
PERTANYAAN ini muncul di kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehubungan adanya label teroris yang dinyatakan oleh pemerintah secara lisan. Dua kosa kata tersebut memiliki pengertian berbeda dengan dampak hukum berbeda pula.
Di dalam hukum internasional, separatisme diartikan gerakan memisahkan diri suatu masyarakat di dalam suatu negara dengan alasan ketidakadilan sosial yan terjadi terhadap masyarakat setempat. Separatisme atau gerakan separatis ini dikaitkan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self- determination/TRSd) ketika pasca Perang Dunia I, di mana banyak negara jajahan yang belum merdeka akan tetapi dalam Piagam PBB masih dicantumkan (Pasal 1 (2) dan Pasal 55) dan dalam ICCPR.
Pencantuman TRSd dalam pasal-pasal tersebut dihubungkan dengan hukum untuk menciptakan keadaan yang lebih tertib dan makmur, konsep yang relevan pada masa kolonialisme dan sudah tidak relevan lagi untuk abad ini. Tidak tepat dan menyesatkan jika KKB Papua dilabel sebagai separatisme karena sama dengan "menghidupkan zombie". Lagipula sama dengan membenarkan kedua alasan separatisme dan seolah-olah pemerintahan NKRI kolonial.
Baca juga: Konflik dengan Kelompok Teroris KKB Ciptakan Stagnasi di Papua
Label separatisme untuk KKB dalam hukum internasional, termasuk konflik bersenjata non-internasional, diatur dan dilindungi Protokol Tambahan Bagian Kedua Konvensi Djenewa 1949 yang tidak pernah diratifikasi pemerintah sampai dengan saat ini. Terorisme, baik dari aspek hukum nasional dan hukum internasional telah sejalan dengan prinsip state-sovereignty yang diakui secara universal. Daya jangkauan hukum pemberlakuan UU No 5 thn 2018 Pemberantasan Terorisme lebih luas dan jangka lama daripada label separatisme karena secara universal telah diakui (recognized) sebagai kejahatan transnasional, bahkan dalam praktik telah diterapkan prinsip yurisdiksi universal.
Penerapan UU No 5 Tahun 2018 harus dilakukan dengan hati-hati sekali pun per definisi sangat luas: terorisme adalah setiap perbuatan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vigal yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. UU ini sekaligus juga melindungi korban yang merupakan tanggung jawab negara dalam bentuk bantuan medis, rehabilitasi psiko-sosial dan psikologis, santunan keluarga.
UU 5 Tahun 2018 sekali pun menggunakan strategi represif akan tetapi digunakan juga strategi post- factum syndrome, sehingga menguatkan dan mememastikan bahwa UU ini bertujuan memanusiakan manusia melalui strategi deradikalisasi.
Baca juga: KKB Ditetapkan Teroris, Pemerintah Diminta Lakukan Pemetaan
(abd)
tulis komentar anda