Menyoal Cap Teroris terhadap OPM-TPNPB
Selasa, 27 April 2021 - 05:30 WIB
Hal tersebut juga akan membawa hubungan pemerintah pusat dengan Papua “kembali” pada periode 1963-1998, di mana pemerintah menggunakan pendekatan keamanan “ekstrem” dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM).
Padahal, pendekatan tersebutlah yang telah menyebabkan kekerasan hadir dalam sejarah panjang Papua dan merupakan salah satu sumber konflik yang seharusnya tidak boleh lagi diadopsi ulang hari ini.
Persoalan Papua dan OPM-TPNPB haruslah dilihat secara bottom-up, yaitu mulai dengan melihat dan mengurai akar konfliknya dengan terus mengupayakan pendekatan yang humanis melalui dialog dan komunikasi secara terus-menerus.
Di waktu yang bersamaan, pendekatan sosial-kesejahteraan harus terus diberdayakan melalui penguatan dan perbaikan pelaksanaan otonomi khusus Papua. Otonomi khusus tersebut harus mampu membawa perubahan dan dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua.
Tantangan tersebut di atas harus mampu dijawab oleh Pemerintah Indonesia agar kemudian ketertinggalan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Papua tidak lagi dapat dijadikan alasan oleh OPM-TPNPB untuk membenarkan tindakan mereka. Dan, dengan sendirinya melemahkan posisi OPM-TPNPB di mata masyarakat Papua, sekaligus juga mengembalikan bangunan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia.
Walaupun Parson (1985) mengatakan bahwa gangguan keamanan dan gangguan stabilitas sosial dan politik akan sangat berkorelasi pada perkembangan pembangunan dan ekonomi suatu wilayah, akan tetapi pemerintah tidak boleh menghindari penanganan OPM-TPNPB melalui jalur “normal” dan menyederhanakan penanganannya dengan melabelkan mereka sebagai organisasi teroris.
Padahal, pendekatan tersebutlah yang telah menyebabkan kekerasan hadir dalam sejarah panjang Papua dan merupakan salah satu sumber konflik yang seharusnya tidak boleh lagi diadopsi ulang hari ini.
Persoalan Papua dan OPM-TPNPB haruslah dilihat secara bottom-up, yaitu mulai dengan melihat dan mengurai akar konfliknya dengan terus mengupayakan pendekatan yang humanis melalui dialog dan komunikasi secara terus-menerus.
Di waktu yang bersamaan, pendekatan sosial-kesejahteraan harus terus diberdayakan melalui penguatan dan perbaikan pelaksanaan otonomi khusus Papua. Otonomi khusus tersebut harus mampu membawa perubahan dan dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua.
Tantangan tersebut di atas harus mampu dijawab oleh Pemerintah Indonesia agar kemudian ketertinggalan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Papua tidak lagi dapat dijadikan alasan oleh OPM-TPNPB untuk membenarkan tindakan mereka. Dan, dengan sendirinya melemahkan posisi OPM-TPNPB di mata masyarakat Papua, sekaligus juga mengembalikan bangunan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia.
Walaupun Parson (1985) mengatakan bahwa gangguan keamanan dan gangguan stabilitas sosial dan politik akan sangat berkorelasi pada perkembangan pembangunan dan ekonomi suatu wilayah, akan tetapi pemerintah tidak boleh menghindari penanganan OPM-TPNPB melalui jalur “normal” dan menyederhanakan penanganannya dengan melabelkan mereka sebagai organisasi teroris.
(bmm)
tulis komentar anda