Menyoal Cap Teroris terhadap OPM-TPNPB
Selasa, 27 April 2021 - 05:30 WIB
Bahwa di tengah heterogennya definisi terorisme di dalam masyarakat internasional, tidak ada penyangkalan di antara masyarakat internasional bahwa terorisme “mainstream” itu berkaitan sangat erat dengan ideologi yang lahir dari pemahaman atau tafsiran keagamaan yang menyimpang. Dan, merupakan ekses dari intoleransi dan ekstremisme.
Sebagai contoh aksi terorisme yang diakui oleh masyarakat internasional dapat merujuk pada peristiwa di beberapa tempat seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Belgia yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi bernama ISIS dan al-Qaeda.
Di Indonesia sendiri, teroris merujuk kepada kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang semuanya mengadopsi tafsiran agama tertentu sebagai landasan ideologis untuk dapat membenarkan (menjustifikasi) kekerasan.
Perbedaan ideologi yang signifikan antara OPM-TPNPB dengan organisasi yang memang sudah diakui sebagai organisasi teroris oleh masyarakat internasional dan Indonesia sendiri menjadi titik yang krusial dan secara tidak langsung juga menjawab bahwa OPM-TPNPB tidak tepat disebut sebagai organisasi teroris. Karena sekali lagi, gerakan OPM-TPNPB tidak didasarkan pada ideologi yang serupa dengan aksi terorisme mainstream, tetapi lebih disebabkan oleh faktor primer yang telah penulis sebutkan tadi.
Dengan begitu, penulis menilai bahwa perbedaan perspektif dalam melihat inti masalah yaitu sejarah integrasi dan status politik Papua harus terus diupayakan melalui pendekatan dialog, komunikasi, dan sosialisasi yang intensif dalam rangka meluruskan perbedaan perspektif tersebut.
Secara Yuridis
Menjadikan OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris justru akan menegaskan bagaimana luasnya definisi tersebut dapat diterapkan. Dan, itu tentu saja berseberangan dengan prinsip hukum Lex Stricta dan juga Lex Certa yang mengharuskan perumusan delik dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan dapat dimaknai sangat luas.
Kalau kemudian definisi terorisme tersebut secara terus menerus dipahami secara tekstual, maka akan menimbulkan implikasi dan konsekuensi secara teoritis dan praktis di kemudian hari, yaitu akan membuka peluang bahwa tidak hanya OPM-TPNPB saja yang bisa disebut sebagai organisasi teroris. Karena sangat potensial definisi tersebut bisa ditafsirkan lagi berdasarkan keinginan atau subjektivitas negara yang memiliki kewenangan dan instrumen hukum pidana di kemudian hari.
Selanjutnya kalau kemudian OPM-TPNPB ditetapkan sebagai organisasi teroris, maka warga sipil yang memiliki pemahaman dan pandangan serta tuntutan yang serupa dengan OPM-TPNPB bisa dianggap sebagai bagian dari teroris atau bahkan menjadi terduga teroris.
Padahal, bisa saja pandangan atau tuntutan tersebut merupakan tuntutan objektif yang didasarkan pada realitas dan kondisi faktual di lapangan dan merupakan aspirasi politik dan keinginan murni (genuine will) masyarakat Papua. Sehingga, hal tersebut justru dapat mereduksi kebebasan berpendapat masyarakat Papua.
Sebagai contoh aksi terorisme yang diakui oleh masyarakat internasional dapat merujuk pada peristiwa di beberapa tempat seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Belgia yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi bernama ISIS dan al-Qaeda.
Di Indonesia sendiri, teroris merujuk kepada kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang semuanya mengadopsi tafsiran agama tertentu sebagai landasan ideologis untuk dapat membenarkan (menjustifikasi) kekerasan.
Perbedaan ideologi yang signifikan antara OPM-TPNPB dengan organisasi yang memang sudah diakui sebagai organisasi teroris oleh masyarakat internasional dan Indonesia sendiri menjadi titik yang krusial dan secara tidak langsung juga menjawab bahwa OPM-TPNPB tidak tepat disebut sebagai organisasi teroris. Karena sekali lagi, gerakan OPM-TPNPB tidak didasarkan pada ideologi yang serupa dengan aksi terorisme mainstream, tetapi lebih disebabkan oleh faktor primer yang telah penulis sebutkan tadi.
Dengan begitu, penulis menilai bahwa perbedaan perspektif dalam melihat inti masalah yaitu sejarah integrasi dan status politik Papua harus terus diupayakan melalui pendekatan dialog, komunikasi, dan sosialisasi yang intensif dalam rangka meluruskan perbedaan perspektif tersebut.
Secara Yuridis
Menjadikan OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris justru akan menegaskan bagaimana luasnya definisi tersebut dapat diterapkan. Dan, itu tentu saja berseberangan dengan prinsip hukum Lex Stricta dan juga Lex Certa yang mengharuskan perumusan delik dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan dapat dimaknai sangat luas.
Kalau kemudian definisi terorisme tersebut secara terus menerus dipahami secara tekstual, maka akan menimbulkan implikasi dan konsekuensi secara teoritis dan praktis di kemudian hari, yaitu akan membuka peluang bahwa tidak hanya OPM-TPNPB saja yang bisa disebut sebagai organisasi teroris. Karena sangat potensial definisi tersebut bisa ditafsirkan lagi berdasarkan keinginan atau subjektivitas negara yang memiliki kewenangan dan instrumen hukum pidana di kemudian hari.
Selanjutnya kalau kemudian OPM-TPNPB ditetapkan sebagai organisasi teroris, maka warga sipil yang memiliki pemahaman dan pandangan serta tuntutan yang serupa dengan OPM-TPNPB bisa dianggap sebagai bagian dari teroris atau bahkan menjadi terduga teroris.
Padahal, bisa saja pandangan atau tuntutan tersebut merupakan tuntutan objektif yang didasarkan pada realitas dan kondisi faktual di lapangan dan merupakan aspirasi politik dan keinginan murni (genuine will) masyarakat Papua. Sehingga, hal tersebut justru dapat mereduksi kebebasan berpendapat masyarakat Papua.
tulis komentar anda