Menyoal Cap Teroris terhadap OPM-TPNPB
Selasa, 27 April 2021 - 05:30 WIB
OPM-TPNPB bukanlah kelompok baru dalam perjalanan integrasi Papua ke Indonesia. Kelompok tersebut secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok prokemerdekaan Papua-Papua Barat.
Bagi mereka, tidak diberikannya ruang bagi orang asli Papua (OAP) untuk terlibat secara langsung dalam perjanjian New York 1962 ialah alas pijak yang melatarbelakangi pergerakan mereka hingga hari ini. Meskipun perjanjian tersebut kemudian melahirkan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, akan tetapi pepera tersebut dianggap telah diwarnai dengan intimidasi dan kekerasan yang menyebabkan gagalnya Papua menjadi satu entitas yang merdeka dan berdiri sendiri.
Sebaliknya di mata Indonesia, hasil pepera tersebut telah menjadi dasar yang kuat berintegrasinya Papua ke Indonesia dan hal tersebut telah final, sah, dan diakui oleh masyarakat internasional.
Dualisme pandangan dalam melihat sejarah integrasi Papua ke Indonesia tersebut ialah akar dari konflik vertikal yang terjadi antara OPM-TPNPB dan TNI-Polri dan secara tidak langsung menggambarkan bagaimana status atau siapa OPM-TPNPB tersebut.
Sejarah integrasi Papua versi OPM-TPNPB ini pada kenyataannya juga telah mengakar dan menyebar di antara masyarakat Papua dan melahirkan kelompok simpatisan atau pendukung (supporter).
Secara historis, penulis menilai bahwa “membingkai” OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris bukanlah satu pilihan terobosan yang tepat karena hal tersebut justru akan semakin “mengeraskan” perbedaan pemahaman dan pandangan dalam melihat sejarah integrasi Papua ke Indonesia.
Secara Ideologis
Sekali lagi, ketidaksepakatan terhadap cara dan proses integrasi Papua ke Indonesia menjadi faktor primer atau alasan utama yang mendasari gerakan OPM-TPNPB.
Keinginan untuk memerdekakan diri yang disebabkan karena ketidaksepakatan tersebut semakin bertambah kuat karena melihat kondisi faktual masyarakat Papua yang mengalami ketertinggalan dan ketidakadilan di pelbagai sektor, yaitu ekonomi, infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Benar bahwa “perjuangan” OPM-TPNPB terhadap hal tersebut dilakukan melalui pendekatan kekerasan bersenjata, akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan dasar untuk melabelkan mereka sebagai organisasi teroris.
Bagi mereka, tidak diberikannya ruang bagi orang asli Papua (OAP) untuk terlibat secara langsung dalam perjanjian New York 1962 ialah alas pijak yang melatarbelakangi pergerakan mereka hingga hari ini. Meskipun perjanjian tersebut kemudian melahirkan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, akan tetapi pepera tersebut dianggap telah diwarnai dengan intimidasi dan kekerasan yang menyebabkan gagalnya Papua menjadi satu entitas yang merdeka dan berdiri sendiri.
Sebaliknya di mata Indonesia, hasil pepera tersebut telah menjadi dasar yang kuat berintegrasinya Papua ke Indonesia dan hal tersebut telah final, sah, dan diakui oleh masyarakat internasional.
Dualisme pandangan dalam melihat sejarah integrasi Papua ke Indonesia tersebut ialah akar dari konflik vertikal yang terjadi antara OPM-TPNPB dan TNI-Polri dan secara tidak langsung menggambarkan bagaimana status atau siapa OPM-TPNPB tersebut.
Sejarah integrasi Papua versi OPM-TPNPB ini pada kenyataannya juga telah mengakar dan menyebar di antara masyarakat Papua dan melahirkan kelompok simpatisan atau pendukung (supporter).
Secara historis, penulis menilai bahwa “membingkai” OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris bukanlah satu pilihan terobosan yang tepat karena hal tersebut justru akan semakin “mengeraskan” perbedaan pemahaman dan pandangan dalam melihat sejarah integrasi Papua ke Indonesia.
Secara Ideologis
Sekali lagi, ketidaksepakatan terhadap cara dan proses integrasi Papua ke Indonesia menjadi faktor primer atau alasan utama yang mendasari gerakan OPM-TPNPB.
Keinginan untuk memerdekakan diri yang disebabkan karena ketidaksepakatan tersebut semakin bertambah kuat karena melihat kondisi faktual masyarakat Papua yang mengalami ketertinggalan dan ketidakadilan di pelbagai sektor, yaitu ekonomi, infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Benar bahwa “perjuangan” OPM-TPNPB terhadap hal tersebut dilakukan melalui pendekatan kekerasan bersenjata, akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan dasar untuk melabelkan mereka sebagai organisasi teroris.
tulis komentar anda