Soal Integritas KPK
Senin, 26 April 2021 - 06:15 WIB
Dr Rio Christiawan, SH, MHum, MKn
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
"Menyapu lantai yang kotor harus dengan sapu yang bersih." Ungkapan tersebut merupakan kalimat yang disampaikan Alm Hakim Agung Artidjo Alkostar, mantan hakim agung dan dewan pengawas KPK yang juga konsisten memberantas korupsi. Kondisi dalam tubuh KPK justru kontradiktif dengan ucapan tersebut mengingat masyarakat baru saja dikejutkan oleh penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada salah seorang oknum penyidik KPK berinisial SRP itu sendiri. Ihwal penetapan tersangka oleh KPK pada oknum penyidik KPK tersebut adalah oknum penyidik tersebut diduga kuat melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi terkait penyelidikan perkara yang sedang berlangsung. Oknum penyidik tersebut melakukan pemerasan kepada Wali Kota Tanjung Balai calon tersangka (yang saat ini sudah menjadi tersangka).
Oknum penyidik KPK tersebut diduga melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi pada proses penyelidikan dugaan tindak pada korupsi yang dilakukan walikota Tanjung Balai. Dengan janji penerimaan sejumlah uang yang disepakati, oknum penyidik tersebut diduga memberikan janji untuk menghentikan proses penyelidikan atau tidak meningkatkan pada status dari penyelidikan pada penyidikan. Pada akhirnya KPK menetapkan baik oknum penyidik maupun Wali Kota Tanjung Balai sebagai tersangka. Tindakan KPK tersebut patut diapresiasi meskipun saat ini mulai timbul keraguan pada masyarakat mengenai integritas KPK itu sendiri. Tindakan tegas KPK tersebut setidaknya dapat menjawab keraguan masyarakat belakangan ini terhadap integritas di tubuh KPK sendiri. Sebelumnya juga ramai diberitakan pencurian oleh oknum pegawai KPK yang menyebabkan hilangnya emas batangan yang merupakan barang sitaan KPK. Jika mengacu pada lahirnya KPK itu sendiri, KPK adalah lembaga yang dibentuk karena ada keraguan pada penegak hukum lain pada penanganan perkara korupsi.
Demikian juga KPK juga selama ini mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam berbagai survei lima tahun terakhir terkait kepercayaan publik, sehingga kondisi penyalahgunaan wewenang dan penerimaan gratifikasi oleh oknum penyidik KPK maupun kasus-kasus lainnya seperti pencurian barang sitaan menunjukkan bahwa KPK harus melakukan evaluasi terkait dengan mekanisme penangan perkara dan barang bukti. Jika peristiwa ini tidak menjadi momentum perbaikan menyeluruh KPK, kepercayaan masyarakat pada KPK akan luntur dan pada akhirnya esensi pembentukan KPK itu sendiri akan hilang. Perbaikan mekanisme penanganan perkara penting untuk segera dievaluasi agar tidak menimbulkan celah koruptif bagi para oknum.
Ironi
Memang menjadi ironi tersendiri ketika terjadi perbuatan korupsi di komisi yang bertugas memberantas korupsi itu sendiri. Jake Whall (2008) menguraikan tentang pentingnya integritas pada lembaga yang bertugas memberantas korupsi, bahwa sekecil apa pun tidak boleh terdapat celah koruptif pada lembaga antikorupsi itu, sebab jika terjadi perbuatan korupsi pada lembaga tersebut akan membentuk persepsi masyarakat bahwa pemberantasan korupsi itu tidak murni adanya.
Lebih lanjut Keanan Pit (2009) menjelaskan bahwa jika terjadi perbuatan koruptif pada lembaga anti korupsi maka hal tersebut akan sangat mengerikan mengingat lembaga anti korupsi selain memiliki kewenangan yang besar juga terkoneksi dengan kejahatan kerah putih (white collar crime ) karena para pelaku kejahatan korupsi merupakan mereka yang terpelajar, memiliki jabatan, memiliki pengaruh (kaum kerah putih). Kejahatan kerah putih seperti korupsi senantiasa memiliki pola bahwa pelaku akan melakukan tindakan koruptif (seperti gratifikasi) pada pihak lainnya untuk melanggengkan atau setidak-tidaknya menutupi perbuatan koruptifnya agar terhindar dari proses hukum.
Pola tersebut adalah pola yang persis sama terjadi pada tindakan koruptif oknum penyidik KPK SRP dan walikota Tanjung Balai yang keduanya saat ini ditetapkan sebagai tersangka di KPK. Akan sangat berbahaya jika lembaga yang bertugas memberantas korupsi justru terjadi tindakan koruptif, sebab para pelaku kejahatan korupsi yang merupakan kaum kerah putih tentu akan memandang situasi tersebut sebagai peluang untuk melanggengkan praktek tindakan koruptif yang pada akhirnya akan merugikan negara dan masyarakat.
Praktik sebagaimana diuraikan di atas jika tidak segera dihentikan akan membawa negara pada kondisi kleptokrasi, yakni kondisi di mana seluruh yang terlibat dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif serta fungsi-fungsi pengawasan terkontaminasi oleh tindakan koruptif yang pada akhirnya meletakkan masyarakat sebagai korban atas kondisi tersebut. Tentu harus dicari penyebab faktor yang memengaruhi tindakan koruptif yang terjadi di tubuh KPK. Tiga faktor yang harus digali dalam perspektif kriminologi adalah, pertama , apakah korupsi menjadi motivasi oknum tersebut untuk menjadi penyidik KPK; kedua , apakah motivasi korupsi timbul setelah menjadi bagian dari KPK, dan, ketiga , apakah motivasi korupsi timbul terkait dengan penanganan perkara tertentu.
Jika motivasi untuk korupsi sudah ada sejak ada pada saat sebelum menjadi bagian dari KPK, perlu dilakukan evaluasi pada proses rekrutmen dan seleksi khususnya pada bagian tes integritas dan pemeriksaan rekam jejak. Jika motivasi untuk korupsi itu ada pada saat setelah menjadi bagian dari KPK artinya memang perlu pembenahan sistem dan pengawasan internal KPK sehingga integritas para penegak hukum yang ada di dalamnya dapat dijaga. Terakhir jika motivasi korupsi itu timbul dan direalisasikan pada saat oknum penyidik tersebut menangani perkara tertentu maka perlu dilakukan evaluasi SOP penanganan perkara untuk menutup celah perbuatan koruptif pada penanganan perkara korupsi pada tiap penyelidikan, penyidikan , penuntutan hingga bagian lainnya secara menyeluruh (misalnya seperti manajemen penyimpanan barang bukti dan barang sitaan).
Ilmu kriminologi selalu memiliki prinsip trust is good but system is better . Kondisi ini perlu diimplementasikan di tubuh KPK, artinya dengan momentum terjadinya beberapa kasus belakangan ini, KPK harus mengevaluasi sistem dan mekanisme penanganan perkara, utamanya adalah pada bagian pengawasan. Penyimpangan akan selalu terjadi di mana terjadi kebebasan pelaksanaan tugas dan pengawasan dan pertanggung jawaban yang memadai. Kasus yang terjadi membuktikan bahwa masih ada celah koruptif di tubuh KPK sehingga tindakan nyata yang dapat menghapus keraguan publik pada KPK sekaligus mengembalikan kepercayaan publik adalah dengan melakukan evaluasi dan menerapkan hasil evaluasi tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pengawasan dan akuntabilitas penanganan perkara. KPK memang perlu waktu untuk kembali membuktikan pada publik bahwa KPK adalah lembaga antikorupsi yang dapat dipercaya dan memiliki akuntabilitas tinggi pada publik. Sebaliknya jika kasus-kasus yang terjadi hanya disikapi dengan retorika, kondisi yang terjadi merupakan awal dari petaka kleptokrasi yang membawa penderitaan pada masyarakat mengingat bagaimana mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor?
Lihat Juga: Kasus Pungli Rutan KPK, JPU Ungkap Besaran yang Diterima Terdakwa Per Bulan hingga Ancaman bagi Tahanan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
"Menyapu lantai yang kotor harus dengan sapu yang bersih." Ungkapan tersebut merupakan kalimat yang disampaikan Alm Hakim Agung Artidjo Alkostar, mantan hakim agung dan dewan pengawas KPK yang juga konsisten memberantas korupsi. Kondisi dalam tubuh KPK justru kontradiktif dengan ucapan tersebut mengingat masyarakat baru saja dikejutkan oleh penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada salah seorang oknum penyidik KPK berinisial SRP itu sendiri. Ihwal penetapan tersangka oleh KPK pada oknum penyidik KPK tersebut adalah oknum penyidik tersebut diduga kuat melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi terkait penyelidikan perkara yang sedang berlangsung. Oknum penyidik tersebut melakukan pemerasan kepada Wali Kota Tanjung Balai calon tersangka (yang saat ini sudah menjadi tersangka).
Oknum penyidik KPK tersebut diduga melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi pada proses penyelidikan dugaan tindak pada korupsi yang dilakukan walikota Tanjung Balai. Dengan janji penerimaan sejumlah uang yang disepakati, oknum penyidik tersebut diduga memberikan janji untuk menghentikan proses penyelidikan atau tidak meningkatkan pada status dari penyelidikan pada penyidikan. Pada akhirnya KPK menetapkan baik oknum penyidik maupun Wali Kota Tanjung Balai sebagai tersangka. Tindakan KPK tersebut patut diapresiasi meskipun saat ini mulai timbul keraguan pada masyarakat mengenai integritas KPK itu sendiri. Tindakan tegas KPK tersebut setidaknya dapat menjawab keraguan masyarakat belakangan ini terhadap integritas di tubuh KPK sendiri. Sebelumnya juga ramai diberitakan pencurian oleh oknum pegawai KPK yang menyebabkan hilangnya emas batangan yang merupakan barang sitaan KPK. Jika mengacu pada lahirnya KPK itu sendiri, KPK adalah lembaga yang dibentuk karena ada keraguan pada penegak hukum lain pada penanganan perkara korupsi.
Demikian juga KPK juga selama ini mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam berbagai survei lima tahun terakhir terkait kepercayaan publik, sehingga kondisi penyalahgunaan wewenang dan penerimaan gratifikasi oleh oknum penyidik KPK maupun kasus-kasus lainnya seperti pencurian barang sitaan menunjukkan bahwa KPK harus melakukan evaluasi terkait dengan mekanisme penangan perkara dan barang bukti. Jika peristiwa ini tidak menjadi momentum perbaikan menyeluruh KPK, kepercayaan masyarakat pada KPK akan luntur dan pada akhirnya esensi pembentukan KPK itu sendiri akan hilang. Perbaikan mekanisme penanganan perkara penting untuk segera dievaluasi agar tidak menimbulkan celah koruptif bagi para oknum.
Ironi
Memang menjadi ironi tersendiri ketika terjadi perbuatan korupsi di komisi yang bertugas memberantas korupsi itu sendiri. Jake Whall (2008) menguraikan tentang pentingnya integritas pada lembaga yang bertugas memberantas korupsi, bahwa sekecil apa pun tidak boleh terdapat celah koruptif pada lembaga antikorupsi itu, sebab jika terjadi perbuatan korupsi pada lembaga tersebut akan membentuk persepsi masyarakat bahwa pemberantasan korupsi itu tidak murni adanya.
Lebih lanjut Keanan Pit (2009) menjelaskan bahwa jika terjadi perbuatan koruptif pada lembaga anti korupsi maka hal tersebut akan sangat mengerikan mengingat lembaga anti korupsi selain memiliki kewenangan yang besar juga terkoneksi dengan kejahatan kerah putih (white collar crime ) karena para pelaku kejahatan korupsi merupakan mereka yang terpelajar, memiliki jabatan, memiliki pengaruh (kaum kerah putih). Kejahatan kerah putih seperti korupsi senantiasa memiliki pola bahwa pelaku akan melakukan tindakan koruptif (seperti gratifikasi) pada pihak lainnya untuk melanggengkan atau setidak-tidaknya menutupi perbuatan koruptifnya agar terhindar dari proses hukum.
Pola tersebut adalah pola yang persis sama terjadi pada tindakan koruptif oknum penyidik KPK SRP dan walikota Tanjung Balai yang keduanya saat ini ditetapkan sebagai tersangka di KPK. Akan sangat berbahaya jika lembaga yang bertugas memberantas korupsi justru terjadi tindakan koruptif, sebab para pelaku kejahatan korupsi yang merupakan kaum kerah putih tentu akan memandang situasi tersebut sebagai peluang untuk melanggengkan praktek tindakan koruptif yang pada akhirnya akan merugikan negara dan masyarakat.
Praktik sebagaimana diuraikan di atas jika tidak segera dihentikan akan membawa negara pada kondisi kleptokrasi, yakni kondisi di mana seluruh yang terlibat dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif serta fungsi-fungsi pengawasan terkontaminasi oleh tindakan koruptif yang pada akhirnya meletakkan masyarakat sebagai korban atas kondisi tersebut. Tentu harus dicari penyebab faktor yang memengaruhi tindakan koruptif yang terjadi di tubuh KPK. Tiga faktor yang harus digali dalam perspektif kriminologi adalah, pertama , apakah korupsi menjadi motivasi oknum tersebut untuk menjadi penyidik KPK; kedua , apakah motivasi korupsi timbul setelah menjadi bagian dari KPK, dan, ketiga , apakah motivasi korupsi timbul terkait dengan penanganan perkara tertentu.
Jika motivasi untuk korupsi sudah ada sejak ada pada saat sebelum menjadi bagian dari KPK, perlu dilakukan evaluasi pada proses rekrutmen dan seleksi khususnya pada bagian tes integritas dan pemeriksaan rekam jejak. Jika motivasi untuk korupsi itu ada pada saat setelah menjadi bagian dari KPK artinya memang perlu pembenahan sistem dan pengawasan internal KPK sehingga integritas para penegak hukum yang ada di dalamnya dapat dijaga. Terakhir jika motivasi korupsi itu timbul dan direalisasikan pada saat oknum penyidik tersebut menangani perkara tertentu maka perlu dilakukan evaluasi SOP penanganan perkara untuk menutup celah perbuatan koruptif pada penanganan perkara korupsi pada tiap penyelidikan, penyidikan , penuntutan hingga bagian lainnya secara menyeluruh (misalnya seperti manajemen penyimpanan barang bukti dan barang sitaan).
Ilmu kriminologi selalu memiliki prinsip trust is good but system is better . Kondisi ini perlu diimplementasikan di tubuh KPK, artinya dengan momentum terjadinya beberapa kasus belakangan ini, KPK harus mengevaluasi sistem dan mekanisme penanganan perkara, utamanya adalah pada bagian pengawasan. Penyimpangan akan selalu terjadi di mana terjadi kebebasan pelaksanaan tugas dan pengawasan dan pertanggung jawaban yang memadai. Kasus yang terjadi membuktikan bahwa masih ada celah koruptif di tubuh KPK sehingga tindakan nyata yang dapat menghapus keraguan publik pada KPK sekaligus mengembalikan kepercayaan publik adalah dengan melakukan evaluasi dan menerapkan hasil evaluasi tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pengawasan dan akuntabilitas penanganan perkara. KPK memang perlu waktu untuk kembali membuktikan pada publik bahwa KPK adalah lembaga antikorupsi yang dapat dipercaya dan memiliki akuntabilitas tinggi pada publik. Sebaliknya jika kasus-kasus yang terjadi hanya disikapi dengan retorika, kondisi yang terjadi merupakan awal dari petaka kleptokrasi yang membawa penderitaan pada masyarakat mengingat bagaimana mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor?
Lihat Juga: Kasus Pungli Rutan KPK, JPU Ungkap Besaran yang Diterima Terdakwa Per Bulan hingga Ancaman bagi Tahanan
(war)
tulis komentar anda