Pendidikan Nir Pancasila
Jum'at, 23 April 2021 - 05:30 WIB
Bramastia
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Magister Pendidikan Sains Pascasarjana FKIP UNS Surakarta
PASCATERBITNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) tertanggal 30 Maret 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Keberadaan PP yang kini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo serta diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tersebut menimbulkan banyak polemik dan kegaduhan publik.
Teriakan keras dari berbagai komponen masyarakat sangat wajar karena PP tersebut menghilangkan kata “Pancasila” dan "Bahasa Indonesia” sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Argumentasi Irasional
Dalam pandangan penulis, rasanya penting melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu tentang PP Nomor 57 Tahun 2021 sebelum dilakukan revisi. Langkah ini penting agar kebijakan atau proses legislasi yang dilakukan pemerintah tidak lagi dilakukan secara tergesa-gesa, mengabaikan prinsip kehati-hatian dan profesionalitas. Perlu dilakukan evaluasi untuk memastikan bahwa kesalahan tidak terjadi lagi dan siapa pun yang bertanggung jawab atas kesalahan harus diberi sanksi.
Artinya, bahwa persoalan pada PP Nomor 57 Tahun 2021 tidak hanya mispersepsi sebagaimana disampaikan Mendikbud, tetapi ada sebuah proses penyiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan UU. Ironisnya, proses yang salah dalam merumuskan kebijakan ini dibiarkan sampai ke meja Presiden dan bahkan lebih parah lagi sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan Menkumham. Lebih memalukan lagi, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib terjadi di tengah upaya pemerintah yang sedang gencar-gencarnya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme.
Barangkali pemegang kebijakan lupa bila pendidikan nasional suatu bangsa menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah cita-cita nasional. Kesalahan tersebut menempatkan kebijakan pendidikan mengakibatkan guncangan yang rentan mengoyak kebhinekaan. Keluarnya PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang cepat beredar di masyarakat luas telah menimbulkan pertanyaan berbagai kalangan. Bagaimana mungkin namanya Pancasila dapat lenyap tanpa alasan rasional?
Usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha dan solusi yang relevan dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu dicermati. Pasal 40 ayat (3) pada PP Nomor 57 Tahun 2021 yang menghilangkan keberadaan Pancasila (dan Bahasa Indonesia) dari kewajiban kurikulum pendidikan tinggi tentu melukai hati kalangan pendidikan. Adanya bukti konsideran dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 yang tidak merujuk prinsip lex specialis sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dalam Pasal 35 ayat (3) butir c jelas menyebut kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pancasila.
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Magister Pendidikan Sains Pascasarjana FKIP UNS Surakarta
PASCATERBITNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) tertanggal 30 Maret 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Keberadaan PP yang kini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo serta diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tersebut menimbulkan banyak polemik dan kegaduhan publik.
Teriakan keras dari berbagai komponen masyarakat sangat wajar karena PP tersebut menghilangkan kata “Pancasila” dan "Bahasa Indonesia” sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Argumentasi Irasional
Dalam pandangan penulis, rasanya penting melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu tentang PP Nomor 57 Tahun 2021 sebelum dilakukan revisi. Langkah ini penting agar kebijakan atau proses legislasi yang dilakukan pemerintah tidak lagi dilakukan secara tergesa-gesa, mengabaikan prinsip kehati-hatian dan profesionalitas. Perlu dilakukan evaluasi untuk memastikan bahwa kesalahan tidak terjadi lagi dan siapa pun yang bertanggung jawab atas kesalahan harus diberi sanksi.
Artinya, bahwa persoalan pada PP Nomor 57 Tahun 2021 tidak hanya mispersepsi sebagaimana disampaikan Mendikbud, tetapi ada sebuah proses penyiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan UU. Ironisnya, proses yang salah dalam merumuskan kebijakan ini dibiarkan sampai ke meja Presiden dan bahkan lebih parah lagi sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan Menkumham. Lebih memalukan lagi, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib terjadi di tengah upaya pemerintah yang sedang gencar-gencarnya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme.
Barangkali pemegang kebijakan lupa bila pendidikan nasional suatu bangsa menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah cita-cita nasional. Kesalahan tersebut menempatkan kebijakan pendidikan mengakibatkan guncangan yang rentan mengoyak kebhinekaan. Keluarnya PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang cepat beredar di masyarakat luas telah menimbulkan pertanyaan berbagai kalangan. Bagaimana mungkin namanya Pancasila dapat lenyap tanpa alasan rasional?
Usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha dan solusi yang relevan dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu dicermati. Pasal 40 ayat (3) pada PP Nomor 57 Tahun 2021 yang menghilangkan keberadaan Pancasila (dan Bahasa Indonesia) dari kewajiban kurikulum pendidikan tinggi tentu melukai hati kalangan pendidikan. Adanya bukti konsideran dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 yang tidak merujuk prinsip lex specialis sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dalam Pasal 35 ayat (3) butir c jelas menyebut kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pancasila.
tulis komentar anda