Negara Safe Haven Bikin Koruptor Anteng

Jum'at, 23 April 2021 - 06:23 WIB
Cayman Islands, yang dekat dengan Kuba menjadi pusat kerahasiaan keuangan karena memiliki lebih dari 100.000 perusahaan yang sangat kontras dengan jumlah penduduknya. Cayman Islands memang menarik perhatian dari pemilik uang haram di seluruh dunia. Negara itu tidak memberlakukan pajak bagi korporasi.

Bahkan, warga atau wisatawan pun tidak diberlakukan pajak. “Cayman merupakan pusat keuangan internasional,” bela Perdana Menteri Cayman Islands, Alden McLaughlin. Dia mengatakan, Cayman Islands terus berusaha memperbaiki citranya bersaing dengan pusat keuangan lainnya seperti Swiss, Hong Kong, Luxembourg, Delaware, hingga London.

Peningkatan AS sebagai safe haven karena beberapa negara bagian seperti New Hampshire mengizinkan mendirikan yayasan pribadi tanpa perlu mengumumkan laporan keuangan. “Kerahasiaan keuangan menjadi masalah besar di AS karena mengizinkan kejahatan dan perdagangan manusia hingga korupsi baik di dalam negeri dan luar,” kata Clark Gascoigne, diretur eksekutif koalisi Financial Accountability and Corporate Transparency (FACT).

Sedangkan Tax Justice Network menempatkan Swiss pada posisi ketiga karena memiliki reformasi kerahasiaan bank hanya diterapkan ke negara kaya dibandingkan negara miskin. Citra Swiss memang terus membaik karena berusaha membuat kebijakan untuk mendukung transparansi. "Serangkaian reformasi yang dilakukan banyak negara membuat kerahasiaan keuangan semakin menurun," kata Liz Nelson, direktur Tax Justice Network.

Selain isu ekstradisi, upaya perampasan aset juga menjadi agenda penting pemerintah Indonesia. Selama ini, ketika proses ekstradisi terhalang, maka perburuan aset di luar negeri pun akan mengalami banyak tantangan.

Khusus dengan Singapura, Indonesia sebenarnya telah merintis perjanjian ekstradisi sejak 1972. Namun, pembahasannya baru dimulai pada 2004 lalu. Pembahasan rancangan perjanjian ekstradisi pun cukup alot baik di dalam negeri atau pun saat pertemuan bilateral, sehingga kedua negara baru menandatanganinya pada 27 April 2007 di Bali.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Eddy Pratomo mengatakan perundingan perjanjian ekstradisi dengan Singapura dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri. Sedangkan untuk Defense Cooperation Agreement (DCA) dilakukan oleh Kementerian Pertahanan. Antara ektradisi dan isu pertahanan merupakan dua isu berbeda.

Mantan diplomat di New York, Jenewa, London dan Berlin itu berpendapat bahwa perjanjian ekstradisi dibuat sedemikian rupa sehingga isinya mengatur beberapa klausul elemen-elemen yang bisa menjangkau dana-dana BLBI di Singapura saat itu. Bahkan sampai sekarang perjanjian tersebut berlaku mundur (retroaktif) sekitar 10 tahun. Dia mengakui pelaksanaan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura terkendala karena Singapura juga meminta soal DCA.

Dia menuturkan, DPR mungkin akan meratifikasi perjanjian ekstradisi jika hal itu berdiri sendiri. Namun karena dibarengi dengan perjanjian pertahanan, maka DPR melihat kekhawatiran dari aspek yuridis. “Karena khawatir diajukan bersama (dengan DCA) sehingga DPR memiliki analisis yuridis politis yang agak berbeda,” ungkapnya.

Kendati demikian, Eddy melihat hubungan bilateral Indonesia-Singapura tidak terganggu dengan kendala tersebut. Dia juga menegaskan bahwa prinsip dasar dalam perundingan ekstradisi telah disepakati oleh kedua negara pada tingkat eksekutif.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More