Pejabat PT Pelni Dicopot karena Pengajian, Fadli Zon: Bentuk Tindakan Islamophobia
Senin, 12 April 2021 - 06:18 WIB
Karena itu, Komisaris BUMN mestinya direkrut dari kalangan profesional, birokrat, atau orang-orang yang kompetensinya jelas bukan direkrut dari kalangan ‘buzzer’. Dia menyayangkan PT Pelni malah menjadi obyek perhatian publik bukan karena prestasi atau capaiannya tapi karena ada komisarisnya yang mengidap Islamophobia. Baca juga: Copot Pejabat karena Pengajian, MUI Minta Erick Thohir Tegur Komisaris Pelni
Dia menilai sikap fobia terhadap Islam biasanya diidap oleh orang-orang yang kemampuan literasinya miskin dan dangkal. Dia tidak memahami ajaran Islam atau dia tidak mengenal umat Islam dengan baik.
"Akibat dangkalnya pemahaman tersebut, dia jadi gampang memberikan stigma. Menurut saya, sangat berbahaya jika BUMN dihuni oleh pejabat-pejabat yg dangkal pemahaman kemasyarakatannya semacam itu," tuturnya.
Apalagi, kata Fadli, secara akademik sikap “radikal” bukanlah bentuk kejahatan. Intoleransi, serta terorisme memang adalah bentuk kejahatan. Tetapi, menyamakan “radikal” dengan “intoleransi”, atau “terorisme” jelas sebuah kesalahan. Dia menyebutnya sesat pikir.
Di Indonesia, lanjut dia, label radikal kini secara politis telah dikonotasikan kepada kalangan Islam. Sehingga, tuduhan itu umumnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, secara konsep sudah jelas keliru.
"Inilah yg membuat kenapa masyarakat Islam jadi sensitif jika mendengar tuduhan radikal. Sebab, di sisi lain, kelompok-kelompok yang sudah jelas memberontak, atau melakukan kekerasan bersenjata, malah diberi label eufimistik," tegasnya.
"Namun, ketika ada kelompok Islam menyerukan ajaran agamanya, seperti menyebut kata “jihad”, misalnya, stigma radikal langsung disematkan. Padahal, kata jihad sendiri memiliki makna yang luas," sambungnya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Fadli menilai pejabat publik mestinya berhati-hati dalam melontarkan pernyataan terkait soal keislaman. Kita tak ingin kembali lagi ke zaman yang tak bersahabat dengan Islam dan umat Islam.
"Menteri BUMN seharusnya memberikan pembinaan kepada para petinggi PT Pelni. Hak karyawan PT Pelni untuk beribadah atau melakukan kegiatan keagamaan, tak seharusnya diintervensi oleh direksi atau komisaris. Itu mengesankan tugas direksi dan komisaris BUMN jadi bersifat remeh-temeh belaka," tutupnya.
Dia menilai sikap fobia terhadap Islam biasanya diidap oleh orang-orang yang kemampuan literasinya miskin dan dangkal. Dia tidak memahami ajaran Islam atau dia tidak mengenal umat Islam dengan baik.
"Akibat dangkalnya pemahaman tersebut, dia jadi gampang memberikan stigma. Menurut saya, sangat berbahaya jika BUMN dihuni oleh pejabat-pejabat yg dangkal pemahaman kemasyarakatannya semacam itu," tuturnya.
Apalagi, kata Fadli, secara akademik sikap “radikal” bukanlah bentuk kejahatan. Intoleransi, serta terorisme memang adalah bentuk kejahatan. Tetapi, menyamakan “radikal” dengan “intoleransi”, atau “terorisme” jelas sebuah kesalahan. Dia menyebutnya sesat pikir.
Di Indonesia, lanjut dia, label radikal kini secara politis telah dikonotasikan kepada kalangan Islam. Sehingga, tuduhan itu umumnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, secara konsep sudah jelas keliru.
"Inilah yg membuat kenapa masyarakat Islam jadi sensitif jika mendengar tuduhan radikal. Sebab, di sisi lain, kelompok-kelompok yang sudah jelas memberontak, atau melakukan kekerasan bersenjata, malah diberi label eufimistik," tegasnya.
"Namun, ketika ada kelompok Islam menyerukan ajaran agamanya, seperti menyebut kata “jihad”, misalnya, stigma radikal langsung disematkan. Padahal, kata jihad sendiri memiliki makna yang luas," sambungnya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Fadli menilai pejabat publik mestinya berhati-hati dalam melontarkan pernyataan terkait soal keislaman. Kita tak ingin kembali lagi ke zaman yang tak bersahabat dengan Islam dan umat Islam.
"Menteri BUMN seharusnya memberikan pembinaan kepada para petinggi PT Pelni. Hak karyawan PT Pelni untuk beribadah atau melakukan kegiatan keagamaan, tak seharusnya diintervensi oleh direksi atau komisaris. Itu mengesankan tugas direksi dan komisaris BUMN jadi bersifat remeh-temeh belaka," tutupnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda