Penyiaran Program Ramadan

Jum'at, 09 April 2021 - 04:30 WIB
Gun Gun Heryanto (Foto: Istimewa)
Gun Gun Heryanto

Dosen UIN Jakarta, dan Wakil Ketua Komisi Infokom MUI

BULAN suci Ramadan 1442 H segera tiba. Momentum tahunan yang senantiasa ditunggu kehadirannya oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain menjalankan ibadah puasa selama sebulan lamanya, banyak ritual lain dan suasana psikologis umat Islam yang berubah dan menjadi karakter khas selama bulan Ramadan. Tentu, perlu suasana kondusif yang menunjang kekhusyukan ibadah umat Islam. Oleh karenanya, semua pihak harus menghormati dan turut mendukung kondisi nyaman, termasuk kalangan media penyiaran. Media massa memiliki peran dan fungsi strategis di tengah masyarakat, terlebih saat proses konsumsi publik terhadap tayangan program siaran Ramadan meningkat signifikan.

Peran Media

Media penyiaran memiliki kekuatan, terutama saat mereka memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan isi siarannya ke khalayak luas. Daya jangkaunya yang luas dan daya tarik audio visualnya membuat banyak masyarakat meluangkan waktu di tengah aktivitasnya sehari-hari, termasuk saat menjalankan ibadah puasa terlebih di musim pandemi Covid-19.



Data dari lembaga riset Nielsen yang dirilis Selasa (13/5/2020) menyebutkan bahwa sejak implementasi work from home (WFH) dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), jumlah pemirsa TV meningkat dengan rata-rata 12% lebih tinggi dari periode normal. Jumlah penonton di segmen kelas atas telah meningkat sebesar 14% dengan durasi menonton TV juga meningkat menjadi 5 jam 46 menit. Di bulan Ramadan tahun 1441 H/2020 M, penonton TV menunjukkan tren meningkat lebih tinggi. Jumlah pemirsa mencapai empat kali lebih banyak atau tumbuh 372%, terutama dari waktu sahur hingga pagi hari, yakni antara pukul 02.00 hingga 05.59 WIB.

Dari data tahun lalu tersebut tampak jelas bahwa era pandemi Covid-19 yang membuat orang banyak bekerja dari rumah sekaligus momentum puasa Ramadan membuat televisi menjadi media yang diakses secara intens oleh masyarakat di luar media sosial. Berbagai tayangan informasi seperti berita hingga program hiburan seperti sinetron, reality show, dan lain-lain menjadi menu yang selalu dihidangkan. Tak jarang dalam praktiknya media penyiaran kerap mengalami dilema peran, antara menghadirkan program siaran berkualitas dan sesuai ketentuan atau terjebak pada sekadar logika ekonomi kumulasi keuntungan.

Media penyiaran televisi sebagai industri padat modal tentu harus piawai mengayuh di tengah derasnya tiga kepentingan. Pertama, menyangkut kebutuhan pelanggan (customer requirements). Formula lama di pasar komersial adalah permintaan dan pasokan (demand-supply). Semakin tinggi permintaan, semakin mahal barang. Media kerap menyandarkan argumennya pada selera pasar bahwa membuat program apa pun menjadi sah, selama pasarnya ada dan menerima. Logika instrumentalistik inilah yang kerap membuat media terjerembab pada kubangan kepentingan pragmatis pasar. Dalam hal ini, penulis setuju dengan catatan kritis Pamella J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content, (1991), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture, media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis.

Kedua, lingkungan kompetitif (competitive environment). Struktur pasar industri media penyiaran di Indonesia saat ini kalau merujuk ke tulisannya Robert G Pickard, Media Economics: Concepts and Issues (1989), masuk ke tipologi oligopoli di mana para penjualnya hanya sedikit. Bukan berarti jumlah medianya sedikit, tetapi media-media bersangkutan mengalami konsentrasi kepemilikan pada beberapa grup besar. Hal ini menyebabkan media dituntut untuk kompetitif di tengah persaingan grup-grup media yang ada terutama dalam memanfaatkan momentum, termasuk tayangan selama Ramadan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More