Penyiaran Program Ramadan
Jum'at, 09 April 2021 - 04:30 WIB
Ketiga, harapan masyarakat (social expectation). Bagaimanapun, media tidak tumbuh di ruang hampa. Meskipun kerap kali penonton itu menjadi mayoritas diam, sesungguhnya mereka memiliki harapan tentang seperti apa seharusnya isi siaran diselenggarakan. Reaksi publik bisa tenang menerima, tetapi juga bisa tiba-tiba memunculkan ledakan jika media dianggap mencederai harapan mereka. Di tengah ketiga faktor itulah media berada. Fungsi media sebagai penyebar informasi dan pendidikan, kontrol sosial, serta hiburan harus dioptimalkan secara tepat guna dan berdaya guna.
Dimmick dan Rothenbuhler dalam bukunya The Theory of the Niche: Quantifying Among Media Industries (1984) dalam hal ini mengatakan, ada tiga sumber kehidupan bagi media, yakni content, capital, dan audiences. Dengan konten menarik, audiensi akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiensi yang menonton suatu program maka kian tinggi pula rating program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat memasang iklan pada program yang bersangkutan. Tapi, benarkah hanya itu? Tentu saja tidak. Media juga harus berpegang teguh pada peran tanggung jawab sosialnya untuk turut mewariskan nilai-nilai baik lintas generasi, menjadi media yang berkontribusi pada penguatan peradaban serta menjaga suasana kondusif di tengah gempuran informasi tak mendidik yang membeludak di berbagai kanal perbincangan warga seperti di media sosial.
Tausiah Perbaikan
Program siaran Ramadan tahun ini harus lebih baik secara kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat Indonesia saat ini memiliki begitu banyak masalah seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan lain-lain akibat pandemi Covid-19 yang melanda sejak setahun lalu. Berbagai tayangan siaran Ramadan, seyogianya diarahkan pada upaya menumbuhkan optimisme warga untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Sentuhan ajaran agama Islam yang akan dominan dalam beragam tayangan Ramadan harus menjadi katalisator perbaikan mental bangsa yang dilandasi pengetahuan agama. Tayangan harus taat dan patuh pada ketentuan UU No.32 Tahun 2002, Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia.
Seruan moral pun telah digaungkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Tausiah MUI tentang Penyiaran Program Ramadan yang dikeluarkan pada 9 Maret 2021. Ada beberapa poin penting dan menarik yang patut digarisbawahi agar siaran Ramadan tahun ini menjadi lebih baik lagi.
Pertama, isi siaran Ramadan tidak boleh mengandung muatan fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau berbohong. Kedua, tidak menonjolkan unsur kekerasan fisik maupun verbal, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Ketiga, tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan serta tidak memprovokasi timbulnya ujaran kebencian (hate speech). Keempat, menjauhkan diri dari memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama serta martabat warga Indonesia di tengah hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala regional maupun internasional. Kelima, tidak boleh menayangkan adegan yang menggambarkan aktivitas pornografi dan pornoaksi yang dapat mengganggu kekhusyukan orang yang beribadah puasa. Keenam, tidak mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tertentu seperti kelompok disabilitas, pengidap penyakit tertentu, atau karena pekerjaan maupun sifat kekurangan lainnya menjadi bahan olok-olok dan tertawaan dalam siaran.
Ketujuh, harus melakukan kontrol internal tentang isi siaran yang berpotensi mengganggu orang berpuasa seperti mengekspos konsumsi makanan, minuman, dan hedonisme secara berlebihan. Kedelapan, mendorong seluruh pengisi acara siaran untuk taat pada protokol kesehatan sehingga tayangan akan memberi teladan bagi masyarakat untuk bersama-sama mengatasi pandemi Covid-19. Kedelapan, seluruh busana pengisi acara siaran harus menghormati bulan Ramadan dengan menetapkan standar kepatutan yang bisa diterima. Kesembilan, menghormati waktu-waktu penting saat berpuasa di bulan Ramadan seperti waktu berbuka dan azan magrib serta waktu sahur, imsak, dan azan subuh. Kesepuluh, memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi narasumber tokoh agama yang kompeten dari sisi keilmuan Islam dan berwawasan Islam Wasathiyah dengan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Stasiun televisi sesungguhnya menggunakan frekuensi milik publik, oleh karenanya harus mempertimbangkan hak-hak publik. Salah satunya mendapatkan isi siaran Ramadan yang berkualitas dan menguatkan peradaban, bukan semata-mata hiburan, terlebih jika konstruksi realitas yang dibangunnya keluar dari takaran.
Dimmick dan Rothenbuhler dalam bukunya The Theory of the Niche: Quantifying Among Media Industries (1984) dalam hal ini mengatakan, ada tiga sumber kehidupan bagi media, yakni content, capital, dan audiences. Dengan konten menarik, audiensi akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiensi yang menonton suatu program maka kian tinggi pula rating program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat memasang iklan pada program yang bersangkutan. Tapi, benarkah hanya itu? Tentu saja tidak. Media juga harus berpegang teguh pada peran tanggung jawab sosialnya untuk turut mewariskan nilai-nilai baik lintas generasi, menjadi media yang berkontribusi pada penguatan peradaban serta menjaga suasana kondusif di tengah gempuran informasi tak mendidik yang membeludak di berbagai kanal perbincangan warga seperti di media sosial.
Tausiah Perbaikan
Program siaran Ramadan tahun ini harus lebih baik secara kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat Indonesia saat ini memiliki begitu banyak masalah seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan lain-lain akibat pandemi Covid-19 yang melanda sejak setahun lalu. Berbagai tayangan siaran Ramadan, seyogianya diarahkan pada upaya menumbuhkan optimisme warga untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Sentuhan ajaran agama Islam yang akan dominan dalam beragam tayangan Ramadan harus menjadi katalisator perbaikan mental bangsa yang dilandasi pengetahuan agama. Tayangan harus taat dan patuh pada ketentuan UU No.32 Tahun 2002, Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia.
Seruan moral pun telah digaungkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Tausiah MUI tentang Penyiaran Program Ramadan yang dikeluarkan pada 9 Maret 2021. Ada beberapa poin penting dan menarik yang patut digarisbawahi agar siaran Ramadan tahun ini menjadi lebih baik lagi.
Pertama, isi siaran Ramadan tidak boleh mengandung muatan fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau berbohong. Kedua, tidak menonjolkan unsur kekerasan fisik maupun verbal, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Ketiga, tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan serta tidak memprovokasi timbulnya ujaran kebencian (hate speech). Keempat, menjauhkan diri dari memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama serta martabat warga Indonesia di tengah hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala regional maupun internasional. Kelima, tidak boleh menayangkan adegan yang menggambarkan aktivitas pornografi dan pornoaksi yang dapat mengganggu kekhusyukan orang yang beribadah puasa. Keenam, tidak mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tertentu seperti kelompok disabilitas, pengidap penyakit tertentu, atau karena pekerjaan maupun sifat kekurangan lainnya menjadi bahan olok-olok dan tertawaan dalam siaran.
Ketujuh, harus melakukan kontrol internal tentang isi siaran yang berpotensi mengganggu orang berpuasa seperti mengekspos konsumsi makanan, minuman, dan hedonisme secara berlebihan. Kedelapan, mendorong seluruh pengisi acara siaran untuk taat pada protokol kesehatan sehingga tayangan akan memberi teladan bagi masyarakat untuk bersama-sama mengatasi pandemi Covid-19. Kedelapan, seluruh busana pengisi acara siaran harus menghormati bulan Ramadan dengan menetapkan standar kepatutan yang bisa diterima. Kesembilan, menghormati waktu-waktu penting saat berpuasa di bulan Ramadan seperti waktu berbuka dan azan magrib serta waktu sahur, imsak, dan azan subuh. Kesepuluh, memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi narasumber tokoh agama yang kompeten dari sisi keilmuan Islam dan berwawasan Islam Wasathiyah dengan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Stasiun televisi sesungguhnya menggunakan frekuensi milik publik, oleh karenanya harus mempertimbangkan hak-hak publik. Salah satunya mendapatkan isi siaran Ramadan yang berkualitas dan menguatkan peradaban, bukan semata-mata hiburan, terlebih jika konstruksi realitas yang dibangunnya keluar dari takaran.
(bmm)
tulis komentar anda