Muktamar Pemikiran untuk Menggapai Indonesia Emas
Senin, 05 April 2021 - 06:01 WIB
Kendati masih utuh secara administratif, kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara masih diganggu oleh riak-riak kecil yang jika dibiarkan justru menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak menjadi pemicu munculnya konflik sosial berskala besar yang dapat meruntuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekhawatiran ini beralasan karena di era global dan digital ini, Indonesia kebanjiran ideologi asing yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ideologi bangsa yang religious-sekuler, baik ideologi komunis yang sempat menorehkan tinta hitam sejarah Indonesia lantaran hendak menghapus dimensi religious kehidupan berbangsa dan bernegara maupun ideologis islamisme transnasional lantaran hendak menghapus dimensi sekuler-administratif kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hingga kini, keduanya terutama yang terakhir masih menjadi bahaya laten.
Tanpa menafikan kondisi bonus demografis yang terkesan bersifat ekonomis tadi, kondisi etis dan religious kehidupan berbangsa dan bernegara menurut hemat saya perlu menjadi perhatian bersama warga pergerakan, khususnya para dosen pergerakan yang senantiasa bertarung dalam wilayah wacana. Sebab, selain realitas (bonus demografis), wacana juga menjadi penentu stabilitas suatu kondisi, termasuk kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, NU khususnya dinilai mempunyai peran penting dan dinilai mampu membendung arus gerakan kedua ideologi asing tersebut. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga politis melalui perjuangan pembubaran partai politik komunisme, PKI, serta organisasi islamisme, HTI dan FPI. Begitu juga melalui wacana. Bahkan, di era digital ini, Kiai Said Aqil Siradj, selaku ketua umum PBNU, berkali-kali menyatakan dan mewajibkan warga NU berjihad wacana melalui media sosial lantaran media sosial ini dikuasai oleh mereka yang berideologi Islamisme.
Islamisme dinilai berbahaya dan kini masih menjadi bahaya laten karena mereka yang menganut ideologi transnasional ini tidak hanya menjadikan agama sebagai tameng kepentingannya yang bersifat politis, yakni mendirikan negara berbasis agama, tetapi juga untuk menghancurkan kehidupan berbangsa dan kemanusiaan. Bahkan, beberapa kelompok yang menganut ideologi ini seperti Salafisme dan Wahabisme, menurut Kiai Said Aqil Siradj, menjadi pintu masuk lahirnya terorisme yang tidak hanya dapat menghancurkan kehidupan berbangsa dan kemanusiaan, tetapi juga keberagamaan lantaran mereka selalu memberi label bidah, sesat, kafir, dan thaghut kepada pihak lain yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
Setelah labelling itu, mereka memberi penilaian hukum bahwa darah mereka yang diberi label negatif tadi adalah halal darahnya. Ketika penilaian hukum keluar, ketika itu juga, mereka merasa wajib mengambil tindakan hukum dan mengeksekusinya melalui pembunuhan, bahkan melalui bom bunuh diri. Pembunuhan melalui bom bunuh diri yang kini menjadi tren dunia terorisme itu tidak hanya dipahami sebagai perintah wajib menurut ajaran agama, tetapi juga dijadikan sarana utama untuk bertemu bidadari di surga kelak. Di sinilah nilai pentingnya jihad wacana bagi warna NU dan terutama kader Pergerakan melalui media sosial.
Tentu saja tidak sekadar berwacana dan berjihad media. Warga NU dan kader Pergerakan sejatinya mempunyai kualitas yang memadai dalam berjihad wacana. Di sinilah nilai pentingnya tema yang dipilih muktamar pemikiran, yakni “SDM Unggul Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”? Tema ini bernilai strategis. SDM para dosen PMII diharapkan unggul dalam semua bidang kehidupan sehingga mereka mampu menciptakan manusia Indonesia, terutama warga NU dan lebih khusus lagi kader Pergerakan yang juga unggul. Warga NU dan kader-kader Pergerakan harus dibentuk sedemikian rupa agar mereka mampu bersaing dengan pihak lain yang mungkin mempunyai keunggulan tertentu yang tidak kita miliki, dan meraih cita-cita Indonesia Emas, karena mereka menjadi bagian terbesar dari kondisi bonus demografis yang menjadi jembatan pendorong menuju Indonesia Emas.
Harapan itu penting karena warga NU menempati jumlah mayoritas di Indonesia, tetapi di saat yang sama minoritas dari segi pendidikan dan tentu saja pekerjaan. Jangan sampai, mereka menjadi manusia usia produktif yang paling banyak menganggurnya lantaran tidak mempunyai keunggulan. Sebab, jika itu terjadi, akan mengalami kerugian ganda. Selain tidak bisa menikmati kondisi Indonesia Emas, mereka juga bisa menjadi beban negara dan bangsa Indonesia. Di sinilah nilai pentingnya sesi terakhir dan utama dari muktamar pemikiran PMII, yakni musyawarah muktamirin tentang “Gagasan Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”. Musyawarah ini diharapkan mampu merumuskan poin-poin penting tentang “SDM Unggul Para Dosen PMII” sehingga para dosen PMII mampu menghantarkan bangsa Indonesia, khususnya warga Nahdliyin dan kader Pergerakan meraih cita-cita Indonesia Emas pada 2045.
Tanpa menafikan kondisi bonus demografis yang terkesan bersifat ekonomis tadi, kondisi etis dan religious kehidupan berbangsa dan bernegara menurut hemat saya perlu menjadi perhatian bersama warga pergerakan, khususnya para dosen pergerakan yang senantiasa bertarung dalam wilayah wacana. Sebab, selain realitas (bonus demografis), wacana juga menjadi penentu stabilitas suatu kondisi, termasuk kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, NU khususnya dinilai mempunyai peran penting dan dinilai mampu membendung arus gerakan kedua ideologi asing tersebut. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga politis melalui perjuangan pembubaran partai politik komunisme, PKI, serta organisasi islamisme, HTI dan FPI. Begitu juga melalui wacana. Bahkan, di era digital ini, Kiai Said Aqil Siradj, selaku ketua umum PBNU, berkali-kali menyatakan dan mewajibkan warga NU berjihad wacana melalui media sosial lantaran media sosial ini dikuasai oleh mereka yang berideologi Islamisme.
Islamisme dinilai berbahaya dan kini masih menjadi bahaya laten karena mereka yang menganut ideologi transnasional ini tidak hanya menjadikan agama sebagai tameng kepentingannya yang bersifat politis, yakni mendirikan negara berbasis agama, tetapi juga untuk menghancurkan kehidupan berbangsa dan kemanusiaan. Bahkan, beberapa kelompok yang menganut ideologi ini seperti Salafisme dan Wahabisme, menurut Kiai Said Aqil Siradj, menjadi pintu masuk lahirnya terorisme yang tidak hanya dapat menghancurkan kehidupan berbangsa dan kemanusiaan, tetapi juga keberagamaan lantaran mereka selalu memberi label bidah, sesat, kafir, dan thaghut kepada pihak lain yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
Setelah labelling itu, mereka memberi penilaian hukum bahwa darah mereka yang diberi label negatif tadi adalah halal darahnya. Ketika penilaian hukum keluar, ketika itu juga, mereka merasa wajib mengambil tindakan hukum dan mengeksekusinya melalui pembunuhan, bahkan melalui bom bunuh diri. Pembunuhan melalui bom bunuh diri yang kini menjadi tren dunia terorisme itu tidak hanya dipahami sebagai perintah wajib menurut ajaran agama, tetapi juga dijadikan sarana utama untuk bertemu bidadari di surga kelak. Di sinilah nilai pentingnya jihad wacana bagi warna NU dan terutama kader Pergerakan melalui media sosial.
Tentu saja tidak sekadar berwacana dan berjihad media. Warga NU dan kader Pergerakan sejatinya mempunyai kualitas yang memadai dalam berjihad wacana. Di sinilah nilai pentingnya tema yang dipilih muktamar pemikiran, yakni “SDM Unggul Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”? Tema ini bernilai strategis. SDM para dosen PMII diharapkan unggul dalam semua bidang kehidupan sehingga mereka mampu menciptakan manusia Indonesia, terutama warga NU dan lebih khusus lagi kader Pergerakan yang juga unggul. Warga NU dan kader-kader Pergerakan harus dibentuk sedemikian rupa agar mereka mampu bersaing dengan pihak lain yang mungkin mempunyai keunggulan tertentu yang tidak kita miliki, dan meraih cita-cita Indonesia Emas, karena mereka menjadi bagian terbesar dari kondisi bonus demografis yang menjadi jembatan pendorong menuju Indonesia Emas.
Harapan itu penting karena warga NU menempati jumlah mayoritas di Indonesia, tetapi di saat yang sama minoritas dari segi pendidikan dan tentu saja pekerjaan. Jangan sampai, mereka menjadi manusia usia produktif yang paling banyak menganggurnya lantaran tidak mempunyai keunggulan. Sebab, jika itu terjadi, akan mengalami kerugian ganda. Selain tidak bisa menikmati kondisi Indonesia Emas, mereka juga bisa menjadi beban negara dan bangsa Indonesia. Di sinilah nilai pentingnya sesi terakhir dan utama dari muktamar pemikiran PMII, yakni musyawarah muktamirin tentang “Gagasan Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”. Musyawarah ini diharapkan mampu merumuskan poin-poin penting tentang “SDM Unggul Para Dosen PMII” sehingga para dosen PMII mampu menghantarkan bangsa Indonesia, khususnya warga Nahdliyin dan kader Pergerakan meraih cita-cita Indonesia Emas pada 2045.
(war)
tulis komentar anda