Muktamar Pemikiran untuk Menggapai Indonesia Emas

Senin, 05 April 2021 - 06:01 WIB
loading...
Muktamar Pemikiran untuk...
Muktamar Pemikiran untuk Menggapai Indonesia Emas
A A A
Oleh: Dr Aksin Wijaya*

Aktivis ISNU Ponorogo

Untuk pertama kalinya, alumni PMII yang terutama berprofesi sebagai dosen, baik di perguruan tinggi umum (PTN) maupun perguruan tinggi agama (PTKIN), baik negeri maupun swasta, mengadakan perhelatan akbar bernama “Muktamar Pemikiran Dosen Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” (PMII) yang bertempat di UIN Sayyid Ali Rahmatullah (UIN Satu) Tulungangung (5-7 April 2021).

Muktamar pemikiran ini mengambil tema besar “SDM Unggul Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”. Di dalamnya diadakan beragam kegiatan, mulai dari seminar nasional dengan mendatangkan para tokoh nasional PMII yang berada di berbagai wilayah profesi, blue print Indonesia Emas, diskusi karya pemikiran para intelektual PMII sendiri, dan yang paling akhir, yang menjadi puncak kegiatan adalah musyawarah muktamirin tentang “Gagasan Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”. Tulisan reflektif yang sederhana ini sebagai pengantar untuk acara pertama, yakni seminar nasional dengan pembicara Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj dengan tema “Indonesia Emas: Isu dan Tantangan Masa Kini”.

Indonesia Emas yang dipatok pada seratus tahun umur Indonesia sejak merdeka (1945-2045) merupakan sebuah cita-cita bersama bangsa Indonesia. Selain untuk menempat posisi yang sama dengan negara-negara maju lainnya, cita-cita itu juga diharapkan menjadikan Indonesia mampu bersaing dengan mereka dalam konteks menata dan mengendalikan kehidupan global, termasuk dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang ada di dalam negeri sendiri, baik kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, maupun kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama.

Sebagaimana kemerdekaan pada 1945, kondisi Indonesia Emas itu jangan semata-mata dipahami sebagai pemberian Allah, tetapi sebagai cita-cita luhur yang sejatinya diperjuangkan bersama-sama oleh seluruh anak bangsa. Sebagai sebuah cita-cita, tentu saja ada proses yang mengantarainya (sairurah) sehingga kondisi keberadaan kita sebagai bangsa saat ini (kainunah) mampu meraih cita-cita luhur tersebut, yakni menjadi Indonesia Emas (Shairurah).

Ada banyak kondisi yang menjadi perantara meraih cita-cita luhur tersebut, dan kondisi-kondisi itu bisa menjadi faktor pendorong, bisa juga menjadi faktor penghambat. Di antara kondisi itu adalah apa yang kini populer dengan sebutan bonus demografi, yakni suatu kondisi yang mempunyai nilai keuntungan lebih secara ekonomis khususnya karena jumlah usia produktif anak bangsa (antara umur 15-60 tahun) melebihi jumlah anak bangsa yang tidak produktif (umur sebelum 15 dan sesudah 60 tahun).

Kondisi bonus demografi bisa bermuatan ganda. Ia bisa menjadi pendorong tercapainya cita-cita Indonesia Emas jika jumlah usia produktif itu diiringi pula dengan kualitas pendidikan dan memadainya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Sebaliknya, ia bisa tidak mempunyai nilai apa-apa bahkan menjadi penghambat jika pendidikan mereka tidak berkualitas, disertai pula tidak memadainya lapangan pekerjaan. Jika kedua yang terjadi, akan lahir pengangguran manusia usia produktif yang terdidik, yang tentu saja menjadi penghambat bagi tercapainya cita-cita luhur tersebut. Aspek ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Kondisi lain yang juga bisa menjadi penghambat tercapainya cita-cita luhur di atas adalah kondisi bangsa yang masih belum kokoh secara etis dan religious. Etis dalam arti, kesepahaman bersama antara anak bangsa bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang senantiasa memperjuangkan kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia, bukan hanya sebagai bangsa “yang terbayangkan”; religious dalam arti, agama harus menjadi pijakan luhur dan perekat kehidupan berbangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, bukan justru sebagai pemecah belah mereka yang dipersatukan oleh ideologi Pancasila ini.

Kendati masih utuh secara administratif, kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara masih diganggu oleh riak-riak kecil yang jika dibiarkan justru menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak menjadi pemicu munculnya konflik sosial berskala besar yang dapat meruntuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekhawatiran ini beralasan karena di era global dan digital ini, Indonesia kebanjiran ideologi asing yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ideologi bangsa yang religious-sekuler, baik ideologi komunis yang sempat menorehkan tinta hitam sejarah Indonesia lantaran hendak menghapus dimensi religious kehidupan berbangsa dan bernegara maupun ideologis islamisme transnasional lantaran hendak menghapus dimensi sekuler-administratif kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hingga kini, keduanya terutama yang terakhir masih menjadi bahaya laten.

Tanpa menafikan kondisi bonus demografis yang terkesan bersifat ekonomis tadi, kondisi etis dan religious kehidupan berbangsa dan bernegara menurut hemat saya perlu menjadi perhatian bersama warga pergerakan, khususnya para dosen pergerakan yang senantiasa bertarung dalam wilayah wacana. Sebab, selain realitas (bonus demografis), wacana juga menjadi penentu stabilitas suatu kondisi, termasuk kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, NU khususnya dinilai mempunyai peran penting dan dinilai mampu membendung arus gerakan kedua ideologi asing tersebut. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga politis melalui perjuangan pembubaran partai politik komunisme, PKI, serta organisasi islamisme, HTI dan FPI. Begitu juga melalui wacana. Bahkan, di era digital ini, Kiai Said Aqil Siradj, selaku ketua umum PBNU, berkali-kali menyatakan dan mewajibkan warga NU berjihad wacana melalui media sosial lantaran media sosial ini dikuasai oleh mereka yang berideologi Islamisme.

Islamisme dinilai berbahaya dan kini masih menjadi bahaya laten karena mereka yang menganut ideologi transnasional ini tidak hanya menjadikan agama sebagai tameng kepentingannya yang bersifat politis, yakni mendirikan negara berbasis agama, tetapi juga untuk menghancurkan kehidupan berbangsa dan kemanusiaan. Bahkan, beberapa kelompok yang menganut ideologi ini seperti Salafisme dan Wahabisme, menurut Kiai Said Aqil Siradj, menjadi pintu masuk lahirnya terorisme yang tidak hanya dapat menghancurkan kehidupan berbangsa dan kemanusiaan, tetapi juga keberagamaan lantaran mereka selalu memberi label bidah, sesat, kafir, dan thaghut kepada pihak lain yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.

Setelah labelling itu, mereka memberi penilaian hukum bahwa darah mereka yang diberi label negatif tadi adalah halal darahnya. Ketika penilaian hukum keluar, ketika itu juga, mereka merasa wajib mengambil tindakan hukum dan mengeksekusinya melalui pembunuhan, bahkan melalui bom bunuh diri. Pembunuhan melalui bom bunuh diri yang kini menjadi tren dunia terorisme itu tidak hanya dipahami sebagai perintah wajib menurut ajaran agama, tetapi juga dijadikan sarana utama untuk bertemu bidadari di surga kelak. Di sinilah nilai pentingnya jihad wacana bagi warna NU dan terutama kader Pergerakan melalui media sosial.

Tentu saja tidak sekadar berwacana dan berjihad media. Warga NU dan kader Pergerakan sejatinya mempunyai kualitas yang memadai dalam berjihad wacana. Di sinilah nilai pentingnya tema yang dipilih muktamar pemikiran, yakni “SDM Unggul Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”? Tema ini bernilai strategis. SDM para dosen PMII diharapkan unggul dalam semua bidang kehidupan sehingga mereka mampu menciptakan manusia Indonesia, terutama warga NU dan lebih khusus lagi kader Pergerakan yang juga unggul. Warga NU dan kader-kader Pergerakan harus dibentuk sedemikian rupa agar mereka mampu bersaing dengan pihak lain yang mungkin mempunyai keunggulan tertentu yang tidak kita miliki, dan meraih cita-cita Indonesia Emas, karena mereka menjadi bagian terbesar dari kondisi bonus demografis yang menjadi jembatan pendorong menuju Indonesia Emas.

Harapan itu penting karena warga NU menempati jumlah mayoritas di Indonesia, tetapi di saat yang sama minoritas dari segi pendidikan dan tentu saja pekerjaan. Jangan sampai, mereka menjadi manusia usia produktif yang paling banyak menganggurnya lantaran tidak mempunyai keunggulan. Sebab, jika itu terjadi, akan mengalami kerugian ganda. Selain tidak bisa menikmati kondisi Indonesia Emas, mereka juga bisa menjadi beban negara dan bangsa Indonesia. Di sinilah nilai pentingnya sesi terakhir dan utama dari muktamar pemikiran PMII, yakni musyawarah muktamirin tentang “Gagasan Dosen PMII Menuju Indonesia Emas”. Musyawarah ini diharapkan mampu merumuskan poin-poin penting tentang “SDM Unggul Para Dosen PMII” sehingga para dosen PMII mampu menghantarkan bangsa Indonesia, khususnya warga Nahdliyin dan kader Pergerakan meraih cita-cita Indonesia Emas pada 2045.
(war)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2446 seconds (0.1#10.140)