Covid-19 Menggugah Kemandirian Nasional
Selasa, 19 Mei 2020 - 20:03 WIB
Sebaliknya, di negara Asia lain seperti China, pertumbuhan ekonominya tetap tinggi. Pada 1999 ekonomi China tetap tumbuh 7%, sampai pada 2010 menggusur Jepang menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia setelah AS.
Ekonomi China tahan terhadap krisis karena China mandiri dalam produksi bahan baku/penolong dan barang modal sehingga konsumsi domestik, investasi, dan belanja pemerintah dibelanjakan di dalam negerinya. Hal ini karena industri domestiknya mempunyai kemampuan teknologi untuk memproduksi sendiri seperti pembangkit listrik, pesawat, perkapalan, kereta api, automotif, elektronika, komputer, telekomunikasi, dan peralatan rumah tangga. (Baca juga: Jokowi: Sekarang Kelihatan Semua, 95% Bahan Baku Obat Ternyata Masih Impor )
Kita mempunyai BUMN besar beserta anak usahanya seperti PLN, Pertamina, Pupuk Indonesia, Semen Indonesia, Inalum, dan perusahaan tambang, Pelindo, Angkasa Pura, PTPN, dan BUMN lainnya, serta belanja pemerintah dari APBN, adalah pasar yang besar untuk produk-produk impor. Ketergantungan impor selama puluhan tahun menunjukkan industri nasional berdaya saing rendah dan mudah ditekan krisis.
Michael E Porter (1990) dalam The Competitive Advantage of Nations mengatakan, peningkatan ekspor yang dikarenakan biaya tenaga kerja murah dan nilai tukar melemah, sementara pada saat yang sama barang modal dan bahan/baku penolong impor, menunjukkan industrinya belum mempunyai daya saing. Ketergantungan impor yang tinggi, ketika krisis terjadi, akan menekan pertumbuhan ekonomi lebih dalam.
Menurut Habibie, impor adalah membayar jam kerja orang lain, di samping itu ketergantungan impor yang terus menerus, membuat negara kita sulit untuk keluar dari fenomena Middle Income Trap. Menurut Josef Schumpeter (1912) bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi dengan inovasi, di mana sistem inovasi nasional berjalan untuk kemandirian nasional, menekan ketergantungan impor dengan memproduksi di dalam negeri.
Becermin ke Negara Lain
Kemandirian memproduksi barang dengan daya saing tergantung kebijakan pemerintah, dalam penguasaan teknologi dan sistem inovasi. Karena itu, becerminlah kepada negara Asia lain seperti Jepang, Korea, dan China.
Jepang: Aktor di balik kemandirian industri dan teknologi Jepang di era modern adalah ministry of international trade and industry (MITI), dengan koordinasi, sinkronisasi, dan penugasan kepada raksasa industri (Zaibatsu/Keiretsu) seperti Mitsubishi, Sumitomo, Kawasaki, IHI, Toshiba, Sony, Hitachi, Matsushita, dan lainnya. Sebagai contoh antara 1970-1975, MITI mengumpulkan industri elektronika dan memberikan pendanaan dalam penguasaan teknologi integrated circuit (IC). Ketika kompetisi dengan produk Jepang, Amerika menjuluki sedang berhadapan dengan Japanese Incorporated, bukan berhadapan dengan satu industri.
Korea: Sea Jin Chang (2003) dalam bukunya memaparkan, industri Korea tidak terlepas dari peran lima konglomerat besar (Chaebol), yaitu Hyundai, Daewoo, SK, Samsung, dan LG. Kebijakan industrinya dikenal dengan “export first”, yaitu mengarahkan industrinya untuk orientasi ekspor. Kebijakan industrinya mendapat arahan langsung dari presiden.
Pada 1973 Presiden Park mencanangkan kebijakan Heavy and Chemical Industrialization (HCI) dengan target industri permesinan, perkapalan, listrik, baja, petrokimia, dan non-ferrous metal. Korea dalam waktu singkat menguasai industri dan teknologi, elektronika dan komunikasi, automotif, perkapalan dan industri berat lainnya.
Ekonomi China tahan terhadap krisis karena China mandiri dalam produksi bahan baku/penolong dan barang modal sehingga konsumsi domestik, investasi, dan belanja pemerintah dibelanjakan di dalam negerinya. Hal ini karena industri domestiknya mempunyai kemampuan teknologi untuk memproduksi sendiri seperti pembangkit listrik, pesawat, perkapalan, kereta api, automotif, elektronika, komputer, telekomunikasi, dan peralatan rumah tangga. (Baca juga: Jokowi: Sekarang Kelihatan Semua, 95% Bahan Baku Obat Ternyata Masih Impor )
Kita mempunyai BUMN besar beserta anak usahanya seperti PLN, Pertamina, Pupuk Indonesia, Semen Indonesia, Inalum, dan perusahaan tambang, Pelindo, Angkasa Pura, PTPN, dan BUMN lainnya, serta belanja pemerintah dari APBN, adalah pasar yang besar untuk produk-produk impor. Ketergantungan impor selama puluhan tahun menunjukkan industri nasional berdaya saing rendah dan mudah ditekan krisis.
Michael E Porter (1990) dalam The Competitive Advantage of Nations mengatakan, peningkatan ekspor yang dikarenakan biaya tenaga kerja murah dan nilai tukar melemah, sementara pada saat yang sama barang modal dan bahan/baku penolong impor, menunjukkan industrinya belum mempunyai daya saing. Ketergantungan impor yang tinggi, ketika krisis terjadi, akan menekan pertumbuhan ekonomi lebih dalam.
Menurut Habibie, impor adalah membayar jam kerja orang lain, di samping itu ketergantungan impor yang terus menerus, membuat negara kita sulit untuk keluar dari fenomena Middle Income Trap. Menurut Josef Schumpeter (1912) bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi dengan inovasi, di mana sistem inovasi nasional berjalan untuk kemandirian nasional, menekan ketergantungan impor dengan memproduksi di dalam negeri.
Becermin ke Negara Lain
Kemandirian memproduksi barang dengan daya saing tergantung kebijakan pemerintah, dalam penguasaan teknologi dan sistem inovasi. Karena itu, becerminlah kepada negara Asia lain seperti Jepang, Korea, dan China.
Jepang: Aktor di balik kemandirian industri dan teknologi Jepang di era modern adalah ministry of international trade and industry (MITI), dengan koordinasi, sinkronisasi, dan penugasan kepada raksasa industri (Zaibatsu/Keiretsu) seperti Mitsubishi, Sumitomo, Kawasaki, IHI, Toshiba, Sony, Hitachi, Matsushita, dan lainnya. Sebagai contoh antara 1970-1975, MITI mengumpulkan industri elektronika dan memberikan pendanaan dalam penguasaan teknologi integrated circuit (IC). Ketika kompetisi dengan produk Jepang, Amerika menjuluki sedang berhadapan dengan Japanese Incorporated, bukan berhadapan dengan satu industri.
Korea: Sea Jin Chang (2003) dalam bukunya memaparkan, industri Korea tidak terlepas dari peran lima konglomerat besar (Chaebol), yaitu Hyundai, Daewoo, SK, Samsung, dan LG. Kebijakan industrinya dikenal dengan “export first”, yaitu mengarahkan industrinya untuk orientasi ekspor. Kebijakan industrinya mendapat arahan langsung dari presiden.
Pada 1973 Presiden Park mencanangkan kebijakan Heavy and Chemical Industrialization (HCI) dengan target industri permesinan, perkapalan, listrik, baja, petrokimia, dan non-ferrous metal. Korea dalam waktu singkat menguasai industri dan teknologi, elektronika dan komunikasi, automotif, perkapalan dan industri berat lainnya.
tulis komentar anda