Covid-19 Menggugah Kemandirian Nasional
Selasa, 19 Mei 2020 - 20:03 WIB
Mudi Kasmudi
Praktisi Energi, Industri, dan Pertambangan
PADA masa pandemi Covid-19 ini, Menteri Negara BUMN Erick Thohir sempat menyinggung ketergantungan Indonesia dengan bahan baku medis dan alat kesehatan (alkes) dari impor sangatlah besar sehingga menyebabkan kemunculan praktik mafia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, nilai impor bahan baku di bidang medis dan alkes sangat besar, totalnya sekitar USD1 miliar (Rp15 triliun), sedangkan industri farmasi masih mengandalkan 90% impor. Semoga apa yang menjadi kegelisahan menteri negara BUMN menjadi tantangan BUMN ke depan untuk melakukan substitusi impor.
Sekalipun pemerintah sudah memberlakukan peraturan tingkat komponen/kandungan dalam negeri (TKDN) untuk beberapa sektor industri, impor tetap saja masih tinggi. Berdasarkan data BPS selama kurun waktu 15 tahun (2004-2018), impor rata-rata per tahun didominasi impor bahan baku/penolong sebesar 75,28% per tahun, disusul impor barang modal sebesar 16,92% dan impor barang konsumsi sebesar 7,80%.
Total impor pada 2018 sebesar USD188,7 miliar, sedangkan pada 2019 sebesar USD171,3 miliar (Rp2.569 triliun). Nilainya ternyata lebih besar dari APBN 2019. (Baca juga: Erick Thohir Sebut Impor Alat Kesehatan Dikuasai Mafia )
Pandemi Covid-19 membatasi pergerakan barang dan jasa, berdampak pada krisis ekonomi dunia, dan hampir semua industri tertekan, tidak hanya industri besar, sampai UMKM pun terdampak berat. Pada situasi dan kondisi krisis, setiap negara diuji kekuatannya untuk mampu menjaga supply chain (rantai pasok) dari dalam negeri karena seluruh negara akan menjaga kebutuhannya masing-masing.
Krisis ekonomi saat ini berbeda dengan krisis Asia 1997/1998, di mana komoditas ekspor untung besar karena nilai tukar yang berlipat. Sementara krisis ekonomi saat ini ekspor tertekan karena negara lain juga sedang membatasi pergerakan barang dan jasa.
Menurut World Bank, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diprediksi akan terkontraksi ke minus -3,5% s/d 2,1%. Ketika krisis ekonomi 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok dari positif 6% menjadi negatif -12%.
Praktisi Energi, Industri, dan Pertambangan
PADA masa pandemi Covid-19 ini, Menteri Negara BUMN Erick Thohir sempat menyinggung ketergantungan Indonesia dengan bahan baku medis dan alat kesehatan (alkes) dari impor sangatlah besar sehingga menyebabkan kemunculan praktik mafia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, nilai impor bahan baku di bidang medis dan alkes sangat besar, totalnya sekitar USD1 miliar (Rp15 triliun), sedangkan industri farmasi masih mengandalkan 90% impor. Semoga apa yang menjadi kegelisahan menteri negara BUMN menjadi tantangan BUMN ke depan untuk melakukan substitusi impor.
Sekalipun pemerintah sudah memberlakukan peraturan tingkat komponen/kandungan dalam negeri (TKDN) untuk beberapa sektor industri, impor tetap saja masih tinggi. Berdasarkan data BPS selama kurun waktu 15 tahun (2004-2018), impor rata-rata per tahun didominasi impor bahan baku/penolong sebesar 75,28% per tahun, disusul impor barang modal sebesar 16,92% dan impor barang konsumsi sebesar 7,80%.
Total impor pada 2018 sebesar USD188,7 miliar, sedangkan pada 2019 sebesar USD171,3 miliar (Rp2.569 triliun). Nilainya ternyata lebih besar dari APBN 2019. (Baca juga: Erick Thohir Sebut Impor Alat Kesehatan Dikuasai Mafia )
Pandemi Covid-19 membatasi pergerakan barang dan jasa, berdampak pada krisis ekonomi dunia, dan hampir semua industri tertekan, tidak hanya industri besar, sampai UMKM pun terdampak berat. Pada situasi dan kondisi krisis, setiap negara diuji kekuatannya untuk mampu menjaga supply chain (rantai pasok) dari dalam negeri karena seluruh negara akan menjaga kebutuhannya masing-masing.
Krisis ekonomi saat ini berbeda dengan krisis Asia 1997/1998, di mana komoditas ekspor untung besar karena nilai tukar yang berlipat. Sementara krisis ekonomi saat ini ekspor tertekan karena negara lain juga sedang membatasi pergerakan barang dan jasa.
Menurut World Bank, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diprediksi akan terkontraksi ke minus -3,5% s/d 2,1%. Ketika krisis ekonomi 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok dari positif 6% menjadi negatif -12%.
tulis komentar anda