Peran Kemenkumham dalam Pengesahan Kepengurusan Parpol
Selasa, 16 Maret 2021 - 06:30 WIB
Itulah mengapa dulu pada kasus PPP, Surat Keputusan (SK) Kemenkumham Nomor M.HH-07.AH.11.01 yang secara sepihak mengesahkan salah satu kepengurusan padahal secara internal konflik tersebut belum diputus oleh MP, SK tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan pengadilan memerintahkan agar sengketa kepengurusan tersebut untuk diselesaikan terlebih dulu oleh internal parpol.
Belajar dari kasus PPP tersebut, saat menerima permohonan pengesahan kepengurusan Partai Golkar yang mengalami dualisme antara Kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, Kemenkumham serta-merta menolaknya sebelum sengketa kepengurusan ini diselesaikan terlebih dulu melalui forum MP.
Keterlibatan Pengadilan
Ketika MP telah mengeluarkan putusan dan menetapkan pihak yang menang, Kemenkumham memang dapat secara langsung mengesahkan kepengurusan parpol tersebut. Namun, hal ini masih terbuka peluang bagi pihak-pihak yang merasa keberatan dengan keputusan Kemenkumam tersebut untuk menggugatnya di PTUN. Sementara ketidakpuasan atas putusan MP dapat digugat ke pengadilan negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UU Parpol yang menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan secara internal tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
Dengan demikian, penyelesaian atas sengketa internal kepengurusan parpol merupakan sebuah proses yang sangat panjang sebab hal tersebut harus melalui beberapa tahap penyelesaian, yaitu pertama-tama melalui MP dan jika tidak puas berlanjut ke pengadilan negeri yang putusan pengadilan negeri ini masih terbuka peluang untuk digugat di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Adapun kewenangan Kemenkumham sendiri bukan menjadi penentu akhir namun hanya bersifat menindaklanjuti putusan MP dan/atau putusan pengadilan.
Penataan Ke Depan
Sekalipun dalam negara demokrasi konflik merupakan hal yang lumrah sebagai konsekuensi dari dihargai dan diterimanya perbedaan pendapat, namun mencegahnya agar tidak terjadi merupakan pilihan yang terbaik. Karena fakta telah menunjukkan bahwa munculnya konflik menjadi salah satu pendorong rusaknya tatanan internal partai.
Padahal, parpol merupakan instrumen penting bagi tegaknya demokrasi perwakilan sehingga merawatnya agar dapat berfungsi dan bekerja dengan baik merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, hanya parpol yang sehat dan terinstitusionalisasi dengan baik yang mampu mengemban amanah sebagai pilar demokrasi.
Salah satu faktor yang menyebabkan begitu mudahnya timbul sengketa kepengurusan yang berujung pada munculnya dualisme kepemimpinan adalah tidak jelasnya aturan tentang pemilihan ketua umum parpol, termasuk ketidakjelasan mengenai penyelenggaraan KLB.
Undang-undang menyerahkan sepenuhnya hal tersebut untuk diatur dalam AD/ART masing-masing parpol sehingga hal ini dapat dengan mudah diubah dan dimanipulasi untuk kepentingan para elite partai. Hal ini terbukti dari saling tuduh antara kelompok AHY dan kubu Moeldoko bahwa masing-masing dari mereka dianggap telah merekayasa dan mengubah AD/ART partai.
Belajar dari kasus PPP tersebut, saat menerima permohonan pengesahan kepengurusan Partai Golkar yang mengalami dualisme antara Kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, Kemenkumham serta-merta menolaknya sebelum sengketa kepengurusan ini diselesaikan terlebih dulu melalui forum MP.
Keterlibatan Pengadilan
Ketika MP telah mengeluarkan putusan dan menetapkan pihak yang menang, Kemenkumham memang dapat secara langsung mengesahkan kepengurusan parpol tersebut. Namun, hal ini masih terbuka peluang bagi pihak-pihak yang merasa keberatan dengan keputusan Kemenkumam tersebut untuk menggugatnya di PTUN. Sementara ketidakpuasan atas putusan MP dapat digugat ke pengadilan negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UU Parpol yang menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan secara internal tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
Dengan demikian, penyelesaian atas sengketa internal kepengurusan parpol merupakan sebuah proses yang sangat panjang sebab hal tersebut harus melalui beberapa tahap penyelesaian, yaitu pertama-tama melalui MP dan jika tidak puas berlanjut ke pengadilan negeri yang putusan pengadilan negeri ini masih terbuka peluang untuk digugat di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Adapun kewenangan Kemenkumham sendiri bukan menjadi penentu akhir namun hanya bersifat menindaklanjuti putusan MP dan/atau putusan pengadilan.
Penataan Ke Depan
Sekalipun dalam negara demokrasi konflik merupakan hal yang lumrah sebagai konsekuensi dari dihargai dan diterimanya perbedaan pendapat, namun mencegahnya agar tidak terjadi merupakan pilihan yang terbaik. Karena fakta telah menunjukkan bahwa munculnya konflik menjadi salah satu pendorong rusaknya tatanan internal partai.
Padahal, parpol merupakan instrumen penting bagi tegaknya demokrasi perwakilan sehingga merawatnya agar dapat berfungsi dan bekerja dengan baik merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, hanya parpol yang sehat dan terinstitusionalisasi dengan baik yang mampu mengemban amanah sebagai pilar demokrasi.
Salah satu faktor yang menyebabkan begitu mudahnya timbul sengketa kepengurusan yang berujung pada munculnya dualisme kepemimpinan adalah tidak jelasnya aturan tentang pemilihan ketua umum parpol, termasuk ketidakjelasan mengenai penyelenggaraan KLB.
Undang-undang menyerahkan sepenuhnya hal tersebut untuk diatur dalam AD/ART masing-masing parpol sehingga hal ini dapat dengan mudah diubah dan dimanipulasi untuk kepentingan para elite partai. Hal ini terbukti dari saling tuduh antara kelompok AHY dan kubu Moeldoko bahwa masing-masing dari mereka dianggap telah merekayasa dan mengubah AD/ART partai.
Lihat Juga :
tulis komentar anda