Peran Kemenkumham dalam Pengesahan Kepengurusan Parpol

Selasa, 16 Maret 2021 - 06:30 WIB
loading...
Peran Kemenkumham dalam Pengesahan Kepengurusan Parpol
Jamaludin Ghafur (Foto: Istimewa)
A A A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

STRUKTUR Kepengurusan Partai Demokrat (PD) hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Sumatera Utara yang menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum telah secara resmi didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Dengan demikian, saat ini terdapat dualisme kepemimpinan antara faksi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan faksi Moeldoko.

Kewenangan Kemenkumham untuk mengesahkan kepengurusan partai politik (parpol) merupakan perintah dari Pasal 23 UU Parpol yang menyatakan: susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan parpol tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru. Susunan kepengurusan baru parpol akan ditetapkan dengan keputusan menteri paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.

Kewenangan Kemenkumham dalam hal memberi legalitas kepengurusan parpol tersebut telah memunculkan beragam kekhawatiran di tengah-tengah publik—terlebih pada kubu AHY—karena secara kalkulasi politik kepengurusan kubu Moeldoko memiliki kans lebih besar untuk diakui lantaran ia adalah bagian dari pemerintah—saat ini memegang posisi sebagai kepala Staf Kepresidenan (KSP).

Keraguan, bahkan ketidakpercayaan, pada sebagian masyarakat bahwa pemerintah dapat bersikap netral, objektif, dan adil dalam menyelesaikan masalah dualisme kepemimpinan ini tentu dapat dipahami. Berdasarkan fakta sejarah, ada kecenderungan bagi pemerintah untuk hanya mengakui kepengurusan parpol yang tidak bersikap oposisi dan kritis pada kekuasaan. Hal ini misalnya terjadi pada konflik dualisme kepengurusan yang menimpa PPP dan Partai Golkar pada 2014. Saat itu, Menkumham lebih berpihak pada kubu yang secara tegas menyatakan dukungan dan menjadi bagian dari mitra koalisi pemerintahan.

Aturan Hukum Pengesahan Kepengurusan Parpol
Namun, jika ditinjau dari perspektif legal-formal, kekhawatiran tersebut di atas agak berlebihan karena kewenangan atributif menkumham untuk mengesahkan perubahan kepengurusan parpol hanya dapat dilakukan dalam keadaan normal atau tidak terdapat konflik. Jika ada perselisihan, menkumham tidak boleh menerbitkan keputusan pencatatan perubahan pengurus parpol tersebut sampai perselisihannya diselesaikan terlebih dulu oleh mahkamah partai (MP).

Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 32 UU Parpol yang memerintahkan agar setiap sengketa internal parpol termasuk sengketa kepengurusan harus pertama-tama diselesaikan secara internal melalui suatu mahkamah partai politik atau sebutan lain. Dengan demikian, dasar bagi Kemenkumham untuk mengesahkan salah satu dari dua kepengurusan pada parpol yang mengalami sengketa harus mengacu pada putusan MP. Kemenkumham tidak boleh secara aktif mengambil keputusan sepihak berdasarkan subjektivitasnya pribadi, tetapi harus bersikap pasif dalam arti hanya memberi legalitas atau pengesahan kepada pengurus yang sah berdasarkan putusan MP.

Itulah mengapa dulu pada kasus PPP, Surat Keputusan (SK) Kemenkumham Nomor M.HH-07.AH.11.01 yang secara sepihak mengesahkan salah satu kepengurusan padahal secara internal konflik tersebut belum diputus oleh MP, SK tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan pengadilan memerintahkan agar sengketa kepengurusan tersebut untuk diselesaikan terlebih dulu oleh internal parpol.

Belajar dari kasus PPP tersebut, saat menerima permohonan pengesahan kepengurusan Partai Golkar yang mengalami dualisme antara Kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, Kemenkumham serta-merta menolaknya sebelum sengketa kepengurusan ini diselesaikan terlebih dulu melalui forum MP.

Keterlibatan Pengadilan
Ketika MP telah mengeluarkan putusan dan menetapkan pihak yang menang, Kemenkumham memang dapat secara langsung mengesahkan kepengurusan parpol tersebut. Namun, hal ini masih terbuka peluang bagi pihak-pihak yang merasa keberatan dengan keputusan Kemenkumam tersebut untuk menggugatnya di PTUN. Sementara ketidakpuasan atas putusan MP dapat digugat ke pengadilan negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UU Parpol yang menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan secara internal tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.

Dengan demikian, penyelesaian atas sengketa internal kepengurusan parpol merupakan sebuah proses yang sangat panjang sebab hal tersebut harus melalui beberapa tahap penyelesaian, yaitu pertama-tama melalui MP dan jika tidak puas berlanjut ke pengadilan negeri yang putusan pengadilan negeri ini masih terbuka peluang untuk digugat di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Adapun kewenangan Kemenkumham sendiri bukan menjadi penentu akhir namun hanya bersifat menindaklanjuti putusan MP dan/atau putusan pengadilan.

Penataan Ke Depan
Sekalipun dalam negara demokrasi konflik merupakan hal yang lumrah sebagai konsekuensi dari dihargai dan diterimanya perbedaan pendapat, namun mencegahnya agar tidak terjadi merupakan pilihan yang terbaik. Karena fakta telah menunjukkan bahwa munculnya konflik menjadi salah satu pendorong rusaknya tatanan internal partai.

Padahal, parpol merupakan instrumen penting bagi tegaknya demokrasi perwakilan sehingga merawatnya agar dapat berfungsi dan bekerja dengan baik merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, hanya parpol yang sehat dan terinstitusionalisasi dengan baik yang mampu mengemban amanah sebagai pilar demokrasi.

Salah satu faktor yang menyebabkan begitu mudahnya timbul sengketa kepengurusan yang berujung pada munculnya dualisme kepemimpinan adalah tidak jelasnya aturan tentang pemilihan ketua umum parpol, termasuk ketidakjelasan mengenai penyelenggaraan KLB.

Undang-undang menyerahkan sepenuhnya hal tersebut untuk diatur dalam AD/ART masing-masing parpol sehingga hal ini dapat dengan mudah diubah dan dimanipulasi untuk kepentingan para elite partai. Hal ini terbukti dari saling tuduh antara kelompok AHY dan kubu Moeldoko bahwa masing-masing dari mereka dianggap telah merekayasa dan mengubah AD/ART partai.

Keputusan pembentuk undang-undang yang menyerahkan urusan suksesi kepemimpinan untuk diatur oleh internal parpol menunjukkan bahwa parpol masih diposisikan sebagai organisasi privat sehingga pemerintah merasa tidak memiliki justifikasi untuk ikut campur mengatur urusan internal parpol. Sikap demikian tentu saja keliru besar karena sudah sejak lama parpol oleh para ahli ketatanegaraan diposisikan sebagai badan hukum publik (public utilities) karena parpol sekalipun didirikan oleh perseorangan, tetapi fungsi dan perannya sangat berkaitan dengan kepentingan publik secara luas.

Karena itu, di beberapa negara demokrasi maju, negara mengatur parpol baik untuk urusan eksternal maupun urusan internalnya. Bahkan, pengaturan tentang parpol bukan hanya diatur di dalam undang-undang, tetapi keberadaannya secara eksplisit diatur langsung dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi negara.

Adanya peraturan yang jelas, tegas dan rinci dalam undang-undang mengenai suksesi kepemimpinan dalam parpol diharapkan akan mengurangi dan bahkan mencegah munculnya kudeta kepemimpinan dalam parpol secara inkonstitusional oleh aktor kekuasaan yang hal ini dapat merusak tatanan pemerintahan yang demokratis berdasarkan hukum.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1639 seconds (0.1#10.140)