Ekspor Indonesia Sering Dikerjai
Jum'at, 12 Maret 2021 - 07:00 WIB
SEKTOR pertanian menjadi andalan selama masa pandemi Covid-19. Ketika sektor lain terpuruk, justru produksi dan ekspor sektor pertanian berjaya dalam periode 2019 hingga awal 2021. Publikasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data ekspor sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 14,03%. Kontributor tertinggi adalah subsektor tanaman pangan. Pada Januari 2021, BPS mencatat nilai ekspor Indonesia senilai USD15,30 miliar atau meningkat 12,24% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kontribusi ekspor sektor pertanian mengalami kenaikan 13,91%.
Walau kabar ekspor sektor pertanian cukup menggembirakan, hal itu tak luput dari sejumlah persoalan serius yang mengganjal. Salah satu ekspor komoditi pangan yang disorot belakangan ini adalah ekspor pisang. Pemerintah dalam hal ini Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki membeberkan bahwa ekspor pisang tidak bisa dimaksimalkan, terutama untuk tujuan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, karena terhambat puluhan sertifikasi. Urusan sertifikat yang jumlahnya mencapai 21 jenis sebenarnya tidak terkait dengan kualitas komoditas ekspor, melainkan hanya bertujuan mempersulit barang Indonesia masuk ke pasar negara tujuan tersebut. Dan, beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengungkap sejumlah negara, termasuk negara tetangga, secara terang-terangan menghambat ekspor Indonesia.
Terlepas dari persoalan sertifikasi yang dinilai menjadi ganjalan ekspor pisang ke berbagai negara, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia (AESBI) Hasan Johnny menyebut sejumlah kendala internal justru menjadi pangkal persoalan sebelum memasuki pasar ekspor. Setidaknya terdapat empat kategori yang menyulitkan ekspor buah dari Indonesia. Masalah tersebut terkait dengan kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan komitmen. Selama ini, berdasarkan versi AESBI, kualitas dan kuantitas produk buah-buahan, termasuk pisang, masih sangat kurang. Memang, bisa melakukan ekspor, tetapi belum bisa kontinu, kualitas dan kuantitas tak bisa dijamin sehingga sulit memberi komitmen. Padahal, harga tidak menjadi masalah bagi pembeli di luar negeri.
Selama ini, sebagaimana diungkapkan Hasan Johnny, eksportir pisang untuk kapasitas besar baru satu perusahaan yang telah merambah sejumlah negara secara kontinu. Selebihnya, sejumlah perusahaan yang berskala kecil-kecil dan aktivitas ekspornya belum bisa dilakukan secara terus-menerus. Perusahaan yang fokus pada ekspor pisang itu telah menembus pasar China, Jepang, dan sejumlah negara lainnya. Sementara itu, untuk pasar AS dan Eropa memang tidak terlalu dilirik oleh eksportir buah. Pasalnya, ada kesulitan tersendiri mengirim buah ke AS dan Eropa, selain karena jarak yang terlalu jauh.
Seberapa besar kemampuan Indonesia menghasilkan pisang? Berdasarkan data yang disajikan BPS, Indonesia mampu memproduksi pisang sebanyak 7.280.658 ton pisang pada 2019 lalu. Dari total produksi pisang tersebut, sebanyak 22.745 ton dilempar ke pasar ekspor dengan nilai transaksi sebesar USD11,34 juta atau setara dengan Rp158,76 miliar pada kurs Rp14.000 per dolar AS. Adapun ekspor terbesar masuk pasar China dengan volume sebanyak 9.523 ton, lalu pasar negeri jiran Malaysia yang menyerap ekspor pisang sebanyak 6.300 ton, serta Jepang yang menampung sebanyak 2.817 ton. Selebihnya, ekspor pisang Indonesia tersebar ke berbagai negara.
Memang, persoalan ekspor Indonesia tidak hanya terkendala dari sisi internal, tetapi juga banyak juga disebabkan dari sisi eksternal. Belum lama ini, Mendag Muhammad Lutfi mengungkapkan bahwa gangguan dari luar terhadap aktivitas ekspor bukanlah sekadar isapan jempol belaka. Contoh kasus terbaru adalah Filipina yang menerbitkan kebijakan safeguard berupa bea masuk tindakan pengamanan perdagangan sementara sejak 5 Januari lalu. Kebijakan Pemerintah Filipina itu dimaksudkan melindungi produk lokal dari serbuan impor produk serupa yang dinilai mengancam industri dalam negeri. Sekadar informasi, Filipina salah satu negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia terutama ekspor automotif. Di sisi lain, ada nilai positifnya sebagai bukti bahwa produk yang dihasilkan Indonesia mampu bersaing di luar negeri.
Bagaimana jalan keluarnya agar produk ekspor Indonesia ke depan tidak dikerjai oleh negara lain? Kuncinya, menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Indonesia perlu bergabung pada sejumlah perjanjian perdagangan bebas untuk menghindari hambatan perdagangan mendadak seperti yang dilakukan Filipina. Boleh saja, asal jangan pasar Indonesia yang gemuk ini justru menjadi tujuan ekspor utama dari negara lain.
Walau kabar ekspor sektor pertanian cukup menggembirakan, hal itu tak luput dari sejumlah persoalan serius yang mengganjal. Salah satu ekspor komoditi pangan yang disorot belakangan ini adalah ekspor pisang. Pemerintah dalam hal ini Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki membeberkan bahwa ekspor pisang tidak bisa dimaksimalkan, terutama untuk tujuan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, karena terhambat puluhan sertifikasi. Urusan sertifikat yang jumlahnya mencapai 21 jenis sebenarnya tidak terkait dengan kualitas komoditas ekspor, melainkan hanya bertujuan mempersulit barang Indonesia masuk ke pasar negara tujuan tersebut. Dan, beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengungkap sejumlah negara, termasuk negara tetangga, secara terang-terangan menghambat ekspor Indonesia.
Terlepas dari persoalan sertifikasi yang dinilai menjadi ganjalan ekspor pisang ke berbagai negara, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia (AESBI) Hasan Johnny menyebut sejumlah kendala internal justru menjadi pangkal persoalan sebelum memasuki pasar ekspor. Setidaknya terdapat empat kategori yang menyulitkan ekspor buah dari Indonesia. Masalah tersebut terkait dengan kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan komitmen. Selama ini, berdasarkan versi AESBI, kualitas dan kuantitas produk buah-buahan, termasuk pisang, masih sangat kurang. Memang, bisa melakukan ekspor, tetapi belum bisa kontinu, kualitas dan kuantitas tak bisa dijamin sehingga sulit memberi komitmen. Padahal, harga tidak menjadi masalah bagi pembeli di luar negeri.
Selama ini, sebagaimana diungkapkan Hasan Johnny, eksportir pisang untuk kapasitas besar baru satu perusahaan yang telah merambah sejumlah negara secara kontinu. Selebihnya, sejumlah perusahaan yang berskala kecil-kecil dan aktivitas ekspornya belum bisa dilakukan secara terus-menerus. Perusahaan yang fokus pada ekspor pisang itu telah menembus pasar China, Jepang, dan sejumlah negara lainnya. Sementara itu, untuk pasar AS dan Eropa memang tidak terlalu dilirik oleh eksportir buah. Pasalnya, ada kesulitan tersendiri mengirim buah ke AS dan Eropa, selain karena jarak yang terlalu jauh.
Seberapa besar kemampuan Indonesia menghasilkan pisang? Berdasarkan data yang disajikan BPS, Indonesia mampu memproduksi pisang sebanyak 7.280.658 ton pisang pada 2019 lalu. Dari total produksi pisang tersebut, sebanyak 22.745 ton dilempar ke pasar ekspor dengan nilai transaksi sebesar USD11,34 juta atau setara dengan Rp158,76 miliar pada kurs Rp14.000 per dolar AS. Adapun ekspor terbesar masuk pasar China dengan volume sebanyak 9.523 ton, lalu pasar negeri jiran Malaysia yang menyerap ekspor pisang sebanyak 6.300 ton, serta Jepang yang menampung sebanyak 2.817 ton. Selebihnya, ekspor pisang Indonesia tersebar ke berbagai negara.
Memang, persoalan ekspor Indonesia tidak hanya terkendala dari sisi internal, tetapi juga banyak juga disebabkan dari sisi eksternal. Belum lama ini, Mendag Muhammad Lutfi mengungkapkan bahwa gangguan dari luar terhadap aktivitas ekspor bukanlah sekadar isapan jempol belaka. Contoh kasus terbaru adalah Filipina yang menerbitkan kebijakan safeguard berupa bea masuk tindakan pengamanan perdagangan sementara sejak 5 Januari lalu. Kebijakan Pemerintah Filipina itu dimaksudkan melindungi produk lokal dari serbuan impor produk serupa yang dinilai mengancam industri dalam negeri. Sekadar informasi, Filipina salah satu negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia terutama ekspor automotif. Di sisi lain, ada nilai positifnya sebagai bukti bahwa produk yang dihasilkan Indonesia mampu bersaing di luar negeri.
Bagaimana jalan keluarnya agar produk ekspor Indonesia ke depan tidak dikerjai oleh negara lain? Kuncinya, menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Indonesia perlu bergabung pada sejumlah perjanjian perdagangan bebas untuk menghindari hambatan perdagangan mendadak seperti yang dilakukan Filipina. Boleh saja, asal jangan pasar Indonesia yang gemuk ini justru menjadi tujuan ekspor utama dari negara lain.
(bmm)
tulis komentar anda