Gerakan Sekolah Menyenangkan: Bullying Menurun, Siswa Lebih Disiplin
Senin, 01 Maret 2021 - 06:05 WIB
GSM diinisiasi oleh Muhammad Nur Rizal, dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai founder dan Novi Poespita Candra, dosen Fakultas Psikologi UGM sebagai co founder.
Rizal mengatakan, dia berpihak pada sekolah-sekolah yang terpinggirkan dan termarginalkan karena gelisah dengan gap yang tinggi antara sekolah favorit dan sekolah nonfavorit. Selain itu, gelisah dengan arah pendidikan yang selama ini masih berorientasi pada akademik, sedangkan itu sudah tidak relevan lagi di masa depan.
“Agar terjadi perubahan yang masif di akar rumput GSM menggunakan semangat berubah, berbagi dan berkolaborasi, agar sekolah yang sudah berubah juga bersedia untuk membagikan dan berkolaborasi dengan sekolah lain,” kata Rizal, Sabtu (27/2).
Novi Candra menambahkan, GSM merupakan gerakan akar rumput yang bertujuan merevolusi paradigma pendidikan ke personalisasi well being. Hal yang paling memprihatinkan pada pendidikan Indonesia, menurut dia, adalah masalah kesenjangan pendidikan. “Karena itu, kami tergerak mengubah ekosistem pada sekolah tertinggal. Kami ingin dia sama baiknya dengan sekolah yang sudah baik,” ujarnya.
Baca Juga: ( Persiapkan SDM Unggul, Kemenhub Kini Punya Program Studi Magister Terapan )
Tapi, yang berbeda, pada sekolah favorit standar kualitas dilihat pada nilai akademiknya, sedangkan sekolah GSM ukurannya kualitas dilihat pada kemampuan membangun ekosistem agar anak-anak menjadi pembelajar mandiri dan berkarakter kuat. Dengan konsep GSM, sekolah-sekolah pinggiran kemudian dibina dengan mengubah ekosistemnya. Ini dimulai dengan melakukan workshop terhadap guru-guru.
Novi menyebut empat area yang diubah pada sekolah pinggiran. Pertama, menciptakan lingkungan lebih positif dan etis. Misalnya, layout sekolah dibuat berbeda. “Susunan bangku tidak harus biasa, bisa melingkar, bisa model U, bahkan anak boleh belajar di bawah atau di luar kelas. Sebelum pandemi, konsep kami memang sudah learning from everywhere,” jelasnya.
Perubahan area kedua, yakni pembelajaran yang relevan dan kontekstual. Novi menyebut pembelajaran di sekolah umumnya hanya text book, dan tidak punya kemerdekaan untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang sesuai konteksnya.
Perubahan area ketiga, yakni school connectedness. Kurikulum yang dibuat tidak boleh terpisah dengan masyarakat. “Pendidikan anak-anak harus melibatkan guru dan orang tua serta masyarakat. Konsep ini sebenarnya sudah ada, tapi biasanya dipakai pada sekolah private yang bayarnya mahal. Sedangkan kami mengajarkan ini di sekolah kampung, sekolah pinggiran,” ujarnya.
Perubahan area keempat, yakni penumbuhan karakter anak. Melalui GSM, salah satu yang diasah adalah pola pikir anak-anak misalnya siswa rutin diajak membahas value dari sebuah kebaikan. Misalnya, dalam hal sampah, anak-anak tidak sekadar diminta membuang pada tempatnya, lalu selesai.
Rizal mengatakan, dia berpihak pada sekolah-sekolah yang terpinggirkan dan termarginalkan karena gelisah dengan gap yang tinggi antara sekolah favorit dan sekolah nonfavorit. Selain itu, gelisah dengan arah pendidikan yang selama ini masih berorientasi pada akademik, sedangkan itu sudah tidak relevan lagi di masa depan.
“Agar terjadi perubahan yang masif di akar rumput GSM menggunakan semangat berubah, berbagi dan berkolaborasi, agar sekolah yang sudah berubah juga bersedia untuk membagikan dan berkolaborasi dengan sekolah lain,” kata Rizal, Sabtu (27/2).
Novi Candra menambahkan, GSM merupakan gerakan akar rumput yang bertujuan merevolusi paradigma pendidikan ke personalisasi well being. Hal yang paling memprihatinkan pada pendidikan Indonesia, menurut dia, adalah masalah kesenjangan pendidikan. “Karena itu, kami tergerak mengubah ekosistem pada sekolah tertinggal. Kami ingin dia sama baiknya dengan sekolah yang sudah baik,” ujarnya.
Baca Juga: ( Persiapkan SDM Unggul, Kemenhub Kini Punya Program Studi Magister Terapan )
Tapi, yang berbeda, pada sekolah favorit standar kualitas dilihat pada nilai akademiknya, sedangkan sekolah GSM ukurannya kualitas dilihat pada kemampuan membangun ekosistem agar anak-anak menjadi pembelajar mandiri dan berkarakter kuat. Dengan konsep GSM, sekolah-sekolah pinggiran kemudian dibina dengan mengubah ekosistemnya. Ini dimulai dengan melakukan workshop terhadap guru-guru.
Novi menyebut empat area yang diubah pada sekolah pinggiran. Pertama, menciptakan lingkungan lebih positif dan etis. Misalnya, layout sekolah dibuat berbeda. “Susunan bangku tidak harus biasa, bisa melingkar, bisa model U, bahkan anak boleh belajar di bawah atau di luar kelas. Sebelum pandemi, konsep kami memang sudah learning from everywhere,” jelasnya.
Perubahan area kedua, yakni pembelajaran yang relevan dan kontekstual. Novi menyebut pembelajaran di sekolah umumnya hanya text book, dan tidak punya kemerdekaan untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang sesuai konteksnya.
Perubahan area ketiga, yakni school connectedness. Kurikulum yang dibuat tidak boleh terpisah dengan masyarakat. “Pendidikan anak-anak harus melibatkan guru dan orang tua serta masyarakat. Konsep ini sebenarnya sudah ada, tapi biasanya dipakai pada sekolah private yang bayarnya mahal. Sedangkan kami mengajarkan ini di sekolah kampung, sekolah pinggiran,” ujarnya.
Perubahan area keempat, yakni penumbuhan karakter anak. Melalui GSM, salah satu yang diasah adalah pola pikir anak-anak misalnya siswa rutin diajak membahas value dari sebuah kebaikan. Misalnya, dalam hal sampah, anak-anak tidak sekadar diminta membuang pada tempatnya, lalu selesai.
tulis komentar anda