Gerakan Sekolah Menyenangkan: Bullying Menurun, Siswa Lebih Disiplin

Senin, 01 Maret 2021 - 06:05 WIB
loading...
Gerakan Sekolah Menyenangkan: Bullying Menurun, Siswa Lebih Disiplin
Pembelajaran yang menyenangkan dengan konsep well-being mampu menurunkan praktik bullying di sekolah. (Ilustrasi: SINDOnews/Win Cahyono)
A A A
Khoiry Nuria Widyaningrum miris ketika suatu hari melihat ada siswa yang mem-bully teman sekelasnya. Peristiwa itu bahkan terjadi lebih dari sekali. Dari kejadian tersebut, guru SD Negeri Jetisharjo, Sleman, DIY ini tergerak melakukan perubahan di sekolahnya. Dia ingin agar siswa-siswanya memiliki sikap positif, termasuk bagaimana menghargai orang lain.

Peristiwa bullying di sekolah tersebut terjadi sekitar dua tahun silam. Saat itu Khoiry baru saja pindah mengajar ke sekolah yang terletak di pinggiran Sleman tersebut. Bukan hanya bullying. Kebiasaan lain yang ditemui di sekolah itu adalah sebagian siswa sering terlambat masuk sekolah di pagi hari. Dalam sehari, empat hingga lima siswa masuk kelas ketika pelajaran sudah dimulai.

“Tapi, semua perlahan berubah setelah kami menerapkan konsep Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Anak-anak akhirnya sadar sendiri dan tidak lagi melakukan hal-hal yang tidak baik,” ujar Khoiry kepada KORAN SINDO, Sabtu (27/2).

Baca Juga: ( Psikolog: Pandemi Titik Balik Ubah Arah Pendidikan )

Khoiry mengenal GSM pada 2017 saat masih menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah swasta di Sleman. Dia langsung tertarik menerapkan konsep pendidikan ini di sekolahnya. Khoiry sejak awal meyakini bahwa tujuan utama pendidikan memang buka pada nilai akademik semata, tapi bagaimana melakukan transfer value kepada anak-anak.

Sebelumnya dia merasa hanya menjalani rutinitas sebagai guru, yakni memberikan pelajaran, ujian, memberi nilai, dan memberi ulangan berapa kali dalam setahun. Intinya, dia merasa sistem pendidikan hanya mengejar prestasi.

“Konsep GSM ini setelah saya dalami seperti menjawab pertanyaan batin saya ketika terpanggil menjadi guru. Saya lebih merasa jadi lebih bermakna. Saya lebih bisa merefleksi diri, melihat murid bukan objek, tapi subjek dari pendidikan,” ujarnya.

Khoiry mengaku menemukan banyak hal positif setelah menerapkan konsep GSM di sekolahnya pada 2019. Pertama, penurunan angka bullying siswa yang awalnya cukup tinggi. Kedua, kedisiplinan siswa juga membaik.

Mengangkat Derajat Sekolah Pinggiran
GSM diinisiasi oleh Muhammad Nur Rizal, dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai founder dan Novi Poespita Candra, dosen Fakultas Psikologi UGM sebagai co founder.

Rizal mengatakan, dia berpihak pada sekolah-sekolah yang terpinggirkan dan termarginalkan karena gelisah dengan gap yang tinggi antara sekolah favorit dan sekolah nonfavorit. Selain itu, gelisah dengan arah pendidikan yang selama ini masih berorientasi pada akademik, sedangkan itu sudah tidak relevan lagi di masa depan.

“Agar terjadi perubahan yang masif di akar rumput GSM menggunakan semangat berubah, berbagi dan berkolaborasi, agar sekolah yang sudah berubah juga bersedia untuk membagikan dan berkolaborasi dengan sekolah lain,” kata Rizal, Sabtu (27/2).

Novi Candra menambahkan, GSM merupakan gerakan akar rumput yang bertujuan merevolusi paradigma pendidikan ke personalisasi well being. Hal yang paling memprihatinkan pada pendidikan Indonesia, menurut dia, adalah masalah kesenjangan pendidikan. “Karena itu, kami tergerak mengubah ekosistem pada sekolah tertinggal. Kami ingin dia sama baiknya dengan sekolah yang sudah baik,” ujarnya.

Baca Juga: ( Persiapkan SDM Unggul, Kemenhub Kini Punya Program Studi Magister Terapan )

Tapi, yang berbeda, pada sekolah favorit standar kualitas dilihat pada nilai akademiknya, sedangkan sekolah GSM ukurannya kualitas dilihat pada kemampuan membangun ekosistem agar anak-anak menjadi pembelajar mandiri dan berkarakter kuat. Dengan konsep GSM, sekolah-sekolah pinggiran kemudian dibina dengan mengubah ekosistemnya. Ini dimulai dengan melakukan workshop terhadap guru-guru.

Novi menyebut empat area yang diubah pada sekolah pinggiran. Pertama, menciptakan lingkungan lebih positif dan etis. Misalnya, layout sekolah dibuat berbeda. “Susunan bangku tidak harus biasa, bisa melingkar, bisa model U, bahkan anak boleh belajar di bawah atau di luar kelas. Sebelum pandemi, konsep kami memang sudah learning from everywhere,” jelasnya.

Perubahan area kedua, yakni pembelajaran yang relevan dan kontekstual. Novi menyebut pembelajaran di sekolah umumnya hanya text book, dan tidak punya kemerdekaan untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang sesuai konteksnya.

Perubahan area ketiga, yakni school connectedness. Kurikulum yang dibuat tidak boleh terpisah dengan masyarakat. “Pendidikan anak-anak harus melibatkan guru dan orang tua serta masyarakat. Konsep ini sebenarnya sudah ada, tapi biasanya dipakai pada sekolah private yang bayarnya mahal. Sedangkan kami mengajarkan ini di sekolah kampung, sekolah pinggiran,” ujarnya.

Perubahan area keempat, yakni penumbuhan karakter anak. Melalui GSM, salah satu yang diasah adalah pola pikir anak-anak misalnya siswa rutin diajak membahas value dari sebuah kebaikan. Misalnya, dalam hal sampah, anak-anak tidak sekadar diminta membuang pada tempatnya, lalu selesai.

“Kami mendiskusikan mengapa kita harus membuang sampah pada tempatnya, mengapa sampah harus diolah, apa manfaatnya, semua itu didiskusikan. Jadi, penumbuhan karakter anak terjadi akibat dari proses hasil pikir,” jelasnya.

Novi menambahkan, hasil penelitiannya menunjukkan 61% problem pembelajaran disebabkan rendahnya motivasi anak. Ironisnya, kurikulum sekarang masih cukup gagal untuk menumbuhkan motivasi agar anak-anak punya kesadaran untuk mau belajar sendiri. “Mengapa gagal karena ekosistem tidak dibangun. Nah, GSM sebenarnya ada di itu, ingin membangun ekosistem pendidikan agar anak mau belajar mandiri,” katanya.

Novi juga mengharapkan agar pendidikan Indonesia ke depan tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan pemenuhan tenaga kerja, tapi lebih dari itu pendidikan adalah sebuah jalan membangun peradaban sebuah bangsa. “Dan, peradaban sebuah bangsa hanya bisa dibangun dari kemanusiaan yang dikenalkan melalui pendidikan yang memanusiakan,” tandasnya.

faorick pakpahan/bakti munir
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2121 seconds (0.1#10.140)