Generasi Milenial Melek Pasar Modal
Jum'at, 26 Februari 2021 - 05:05 WIB
DI KALANGAN kaum muda atau lebih akrab di telinga dengan sebutan anak milenial, ada kecenderungan memilih pasar modal sebagai salah satu instrumen investasi terbaik saat ini. Faktanya, data terbaru yang dirilis Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan jumlah investor ritel, khususnya dari kalangan kaum milenial meningkat sejak tahun lalu. Tercatat, investor usia muda menembus angka 1.393.014 atau sekitar 75% dari total investor domestik per 29 Januari 2021.
Hanya saja, di balik maraknya kaum milenial yang mulai menjajal investasi di pasar modal diwarnai sejumlah cerita pilu karena kurangnya pengetahuan seputar bagaimana sebaiknya berinvestasi di pasar modal. Misalnya, sumber dana yang dimainkan di pasar saham berasal dari pinjaman online (pinjol). Tentu langkah tersebut sangat berisiko karena muncul dua risiko baru. Bermain saham itu berisiko tinggi, ditambah dengan risiko bunga dari pinjol yang sangat tinggi.
Pelaku pasar modal pemula yang menggunakan “uang panas”, seperti pinjol, bahkan modal untuk nikah, menunjukkan minimnya edukasi. Hanya didasari modal nekat. Meminjam istilah Founder WH Project, William Hartanto, bahwa mereka yang menggunakan uang panas dalam bermain saham adalah fenomena lupa diri. Di satu sisi, minat kalangan milenial berinvestasi di pasar modal yang besar adalah sebuah kabar baik. Namun, di sisi lain ternyata juga melahirkan efek samping karena dana yang diputar termasuk tidak aman. Setidaknya, terlihat dari sejumlah keluhan investor baru yang terpublikasi lewat media sosial. Fenomena lupa diri memang penyakit bagi investor baru.
Menyinggung soal uang panas yang dimainkan kaum milenial di pasar saham, manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) selalu mengingatkan agar investor tetap berhati-hati. Diakui oleh Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi bahwa penggunaan “uang panas” adalah fenomena yang tidak baik. Harus dipahami betul bahwa berinvestasi di pasar saham selain berpotensi mendatangkan keuntungan tetapi juga mengandung risiko kerugian. Pihak BEI mengimbau kepada investor milenial tidak menggunakan dana dari pinjaman untuk membeli saham.
Selain itu, investor pemula jangan mengorek dana kebutuhan sehari-hari, dana darurat, serta dana kebutuhan jangka pendek untuk diputar di pasar saham. Dan, investor milenial wajib memisahkan anggaran investasi dan dana operasional. Sejumlah rambu-rambu dasar di pasar saham harus dipahami, mulai dari penentuan batas investasi, hingga memahami tujuan dari investasi. Setelah itu, bagaimana mengasah keterampilan berinvestasi dengan memanfaatkan analisis dari profesional. Lalu jangan ketinggalan update berita terkini seputar pasar modal. Jangan percaya mentah-mentah rekomendasi saham dari influencers.
Menarik dicermati, sepanjang pandemi Covid-19 ternyata telah memicu pertumbuhan investor pasar modal di Indonesia. Saat ini investor pasar modal menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, berdasarkan data publikasi BEI total investor pasar modal sudah mencapai sebanyak 3.532.519 per 19 November 2020. Angka itu menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan sekitar 42,19% dari sebanyak 2.484.354 investor pada periode 2019 lalu. Dan, investor BEI sekarang didominasi generasi milenial. Padahal, lima tahun lalu jumlah investor pasar modal baru mencapai 800 ribu.
Adapun penghimpunan dana di pasar modal tercatat Rp118,7 triliun pada tahun lalu. Bersumber dari 169 penawaran umum (PU) di bursa meliputi initial public offering (IPO), penawaran umum terbatas (PUT), penerbitan surat utang. Tercatat 51 perusahaan melakukan IPO dengan nilai emisi Rp6,07 triliun, termasuk pencapaian tertinggi di kawasan ASEAN. Lalu dari PUT terkumpul Rp20,27 triliun, penerbitan dari efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) Rp3,57 triliun. Selanjutnya, penawaran umum berkelanjutan (PUB) EBUS tahap I mencapai sebesar Rp30,5 triliun dan tahap II senilai Rp58,3 triliun. Namun demikian penghimpunan dana tersebut mengalami penurunan hingga 28,93% dibandingkan periode 2019 yang mencapai Rp167 triliun.
Kembali pada kecenderungan kaum milenial yang mulai menjajal pasar modal sebagai sarana berinvestasi yang baik, sebenarnya tidak terlepas dari perkembangan teknologi. Tengok saja, untuk bertransaksi di pasar modal, entah itu saham, obligasi (surat utang) dan reksa dana dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi. Dan, semakin lancar menyusul pembukaan rekening perbankan yang juga bisa secara online. Lalu, kontribusi dari media sosial yang sedang booming membahas rekomendasi saham jadi pemicu tersendiri masuknya generasi milenial di pasar modal.
Semuanya itu positif untuk menambah jumlah investor di pasar modal, hanya saja harus dibarengi dengan edukasi yang benar, seperti sumber dana yang dipakai jangan dari uang panas atau berisiko. Sebab, berinvestasi di pasar modal, terutama saham, selain berpotensi beri keuntungan besar, juga bisa mendatangkan kerugian yang dalam kalau tidak paham alias kurang edukasi.
Hanya saja, di balik maraknya kaum milenial yang mulai menjajal investasi di pasar modal diwarnai sejumlah cerita pilu karena kurangnya pengetahuan seputar bagaimana sebaiknya berinvestasi di pasar modal. Misalnya, sumber dana yang dimainkan di pasar saham berasal dari pinjaman online (pinjol). Tentu langkah tersebut sangat berisiko karena muncul dua risiko baru. Bermain saham itu berisiko tinggi, ditambah dengan risiko bunga dari pinjol yang sangat tinggi.
Pelaku pasar modal pemula yang menggunakan “uang panas”, seperti pinjol, bahkan modal untuk nikah, menunjukkan minimnya edukasi. Hanya didasari modal nekat. Meminjam istilah Founder WH Project, William Hartanto, bahwa mereka yang menggunakan uang panas dalam bermain saham adalah fenomena lupa diri. Di satu sisi, minat kalangan milenial berinvestasi di pasar modal yang besar adalah sebuah kabar baik. Namun, di sisi lain ternyata juga melahirkan efek samping karena dana yang diputar termasuk tidak aman. Setidaknya, terlihat dari sejumlah keluhan investor baru yang terpublikasi lewat media sosial. Fenomena lupa diri memang penyakit bagi investor baru.
Menyinggung soal uang panas yang dimainkan kaum milenial di pasar saham, manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) selalu mengingatkan agar investor tetap berhati-hati. Diakui oleh Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi bahwa penggunaan “uang panas” adalah fenomena yang tidak baik. Harus dipahami betul bahwa berinvestasi di pasar saham selain berpotensi mendatangkan keuntungan tetapi juga mengandung risiko kerugian. Pihak BEI mengimbau kepada investor milenial tidak menggunakan dana dari pinjaman untuk membeli saham.
Selain itu, investor pemula jangan mengorek dana kebutuhan sehari-hari, dana darurat, serta dana kebutuhan jangka pendek untuk diputar di pasar saham. Dan, investor milenial wajib memisahkan anggaran investasi dan dana operasional. Sejumlah rambu-rambu dasar di pasar saham harus dipahami, mulai dari penentuan batas investasi, hingga memahami tujuan dari investasi. Setelah itu, bagaimana mengasah keterampilan berinvestasi dengan memanfaatkan analisis dari profesional. Lalu jangan ketinggalan update berita terkini seputar pasar modal. Jangan percaya mentah-mentah rekomendasi saham dari influencers.
Menarik dicermati, sepanjang pandemi Covid-19 ternyata telah memicu pertumbuhan investor pasar modal di Indonesia. Saat ini investor pasar modal menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, berdasarkan data publikasi BEI total investor pasar modal sudah mencapai sebanyak 3.532.519 per 19 November 2020. Angka itu menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan sekitar 42,19% dari sebanyak 2.484.354 investor pada periode 2019 lalu. Dan, investor BEI sekarang didominasi generasi milenial. Padahal, lima tahun lalu jumlah investor pasar modal baru mencapai 800 ribu.
Adapun penghimpunan dana di pasar modal tercatat Rp118,7 triliun pada tahun lalu. Bersumber dari 169 penawaran umum (PU) di bursa meliputi initial public offering (IPO), penawaran umum terbatas (PUT), penerbitan surat utang. Tercatat 51 perusahaan melakukan IPO dengan nilai emisi Rp6,07 triliun, termasuk pencapaian tertinggi di kawasan ASEAN. Lalu dari PUT terkumpul Rp20,27 triliun, penerbitan dari efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) Rp3,57 triliun. Selanjutnya, penawaran umum berkelanjutan (PUB) EBUS tahap I mencapai sebesar Rp30,5 triliun dan tahap II senilai Rp58,3 triliun. Namun demikian penghimpunan dana tersebut mengalami penurunan hingga 28,93% dibandingkan periode 2019 yang mencapai Rp167 triliun.
Kembali pada kecenderungan kaum milenial yang mulai menjajal pasar modal sebagai sarana berinvestasi yang baik, sebenarnya tidak terlepas dari perkembangan teknologi. Tengok saja, untuk bertransaksi di pasar modal, entah itu saham, obligasi (surat utang) dan reksa dana dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi. Dan, semakin lancar menyusul pembukaan rekening perbankan yang juga bisa secara online. Lalu, kontribusi dari media sosial yang sedang booming membahas rekomendasi saham jadi pemicu tersendiri masuknya generasi milenial di pasar modal.
Semuanya itu positif untuk menambah jumlah investor di pasar modal, hanya saja harus dibarengi dengan edukasi yang benar, seperti sumber dana yang dipakai jangan dari uang panas atau berisiko. Sebab, berinvestasi di pasar modal, terutama saham, selain berpotensi beri keuntungan besar, juga bisa mendatangkan kerugian yang dalam kalau tidak paham alias kurang edukasi.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda